Minggu, 29 Maret 2020

Kain Lurik yang Sarat Makna


Kata 'lurik' berasal dari akar kata rik dalam bahasa Jawa yang artinya garis atau parit,  dimaknai sebagai pagar atau pelindung bagi pemakainya. “Motif lurik tradisional memiliki makna yang mengandung petuah, cita-cita atau harapan pemakainya. Kain lurik sederhana dalam penampilan namun sarat dengan makna.,” tulis Nian S.Djoemena dalam buku Lurik, Garis-garis Bertuah. Selendang atau kemben Liwatan, misalnya, digunakan pada upacara tingkeban dengan harapan agar ibu dan anak terhindar dari marabahaya dan penyakit. Lurik dengan corak Tuluh Watu diartikan sebagai batu yang bersinar dan dianggap sebagai penolak bala. Ragam hias lurik ini digunakan pada upacara ruwatan anak dan pelengkap sesajen upacara labuhan.

Jarit (sarung) Tumbar Pecah digunakan pada upacara tingkeban dengan harapan agar proses kelahiran berjalan lancar, ibu dan anak selamat, anak kelak menjadi berguna dan harum namanya. Diibaratkan semudah memecah ketumbar dan seharum namanya.

Dengklung diartikan sebagai orang yang sudah sangat tua dan tidak berdaya karena usia, namun sarat dengan kebijaksanaan. Merupakan lurik tolak bala dan digunakan untuk berbagai upacara, sesajen, dan tumbal. Lurik Dengklung digunakan juga pada upacara siraman pengantin, belek kebo, dan dodol dawet pada upacara pernikahan adat Jawa.


Lurik Yuyu Sekandang melambangkan rezeki yang berlimpah. Sementara lurik Kluwung (pelangi) dianggap sebagai keajaiban alam dan tanda kebesaran Allah. Ragam hias Kluwung dianggap sakral dan dapat menolak bala, digunakan pada upacara mitoni (tujuh bulan kehamilan)  agar anak yang akan dilahirkan terhindar dari bahaya. Kain ini juga diletakkan di bawah bantal pengantin agar kedua mempelai terhindar dari segala macam marabahaya serta  serasi seperti pelangi.

Gedog Madu digunakan dalam upacara tingkeban dan mitoni dengan harapan bayi yang dikandung memiliki sifat seperti madu, manis, dan berguna untuk kesehatan. Digunakan juga untuk upacara siraman agar calon pengantin menjadi cantik dan memiliki masa depan semanis madu. Sementara ragam hias Lompong Keli (daun keladi yang hanyut dibawa air) merupakan perumpamaan hati yang galau. Lurik ini untuk dikenakan oleh pria.


Kumbokarno adalah nama tokoh raksasa dalam pewayangan yang berjiwa satria, pembela kebenaran, berani, tegas, dan kuat. Lurik ini untuk laki-laki. Ragam hias Loro Pat (dua empat) memiliki jumlah lajur berbeda dalam satuan kelompok tetapi warnanya sama. Sementara Telu Pat (tiga empat) memiliki tujuh lajur, terdiri atas satu satuan empat lajur dan tiga lajur. Menurut kepercayaan Jawa, angka tujuh merupakan angka keramat, melambangkan kehidupan, dan kemakmuran. Konon ragam hias ini diciptakan Sri Sultan Hamengku Buwana I.

Sulur Ringin Ijo (akar beringin).  Akar beringin tumbuh dari atas ke bawah mencapai tanah yang dapat menopang pohon itu. Pohon ini lambang kehidupan langgeng. Sementara ragam hias Klenting Kuning berwarna hijau kuning. Diambil dari cerita rakyat Ande Ande Lumut yang merupakan tokoh gadis teladan, berakhlak luhur, tidak mudah dirayu.

Udan Liris (hujan gerimis) melambangkan kesuburan dan kesejahteraan. Ini salah satu ragam hias yang digunakan penguasa di Jawa Tengah dengan harapan agar si pemakai diberkati Yang Maha Kuasa untuk membawa kesejahteraan bagi para pengikutnya. Sementara ragam hias Gambang Suling diambil dari salah satu gending Jawa yang bernada optimis, sejalan dengan sifat yang diharapkan dari seorang pria. Lurik ini dikenakan oleh laki-laki. Sedangkan Sembodro adalah tokoh pewayangan yang cantik,  penyabar, dan setia meski dimadu oleh Arjuna.

Sapit urang berarti jepit udang. Ungkapan simbolis sebuah siasat perang di mana musuh dikepung dari samping, kekuatan komando menyerang berada di tengah-tengah. Sementara motif  Kembang Gedang berarti bunga pohon pisang. Motif Merang Kecer (batang padi yang tercecer)  dibuat dari benang lungsi putih.  Dom Kecer (jarum yang tercecer) merupakan variasi hias Dom Dlesep (jarum masuk). Saya belum mendapatkan informasi untuk upacara apa saja semua ragam hias ini digunakan.

Kain lurik diperoleh melalui proses penenunan benang yang diolah menjadi sehelai kain katun. Tenun lurik  dapat terlihat pada salah satu relief Candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang menenun dengan alat tenun. Pada prasasti Erlangga dari Jawa Timur pada 1033 menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah satu nama kain lurik. Pada masa kerajaan Majapahit lurik sudah dikenal sebagai karya tenun. Dari cerita Wayang Beber dapat dilihat seorang kstaria melamar seorang putri Raja dengan alat tenun sebagai mas kawinnya.

Kain tenun yang berasal dari daerah pedesaan di Jawa Tengah ini memiliki motif garis-garis, namun motif kotak-kotak dapat digolongkan sebagai lurik. Pada mulanya lurik dibuat dalam bentuk sehelai selendang yang digunakan sebagai kemben (penutup dada wanita). Juga digunakan sebagai alat pengikat sesuatu yang digendong di tubuh. Kemudian lahirlah sebutan lurik gendong.

Pada awalnya motif lurik sangat sederhana, dibuat dalam warna terbatas yaitu hitam, putih atau kombinasi antar keduanya. Kemudian kain lurik berkembang tidak hanya menjadi milik rakyat melainkan juga dipakai di lingkungan keraton. Motif keraton memiliki corak tersendiri. Ketika menghadiri pisowanan (menghadap Raja) para abdi dalem memakai baju dengan motif  telu-pat. Pakaian dengan motif ini disebut baju peranakan. Orang yang bukan dari kalangan keraton tidak boleh memakai baju ini. Prajurit Jogokaryan memakai motif Jogokaryo, prajurit mantrirejon memakai motif mantrirejo. Begitu pula prajurit Patangpuluhan memakai motif patang puluh. 

 
Kain lurik  dipakai oleh hampir semua orang sebagai busana sehari-hari. Untuk wanita dibuat kebaya dan jarit (kain untuk menutup bagian tubuh dari pinggang ke bawah). Juga digunakan sebagai bahan busana pria yang disebut beskap (Solo) atau surjan (Yogyakarta). Meski motif lurik hanya berupa garis-garis namun variasinya sangat banyak. Ada corak Klenting Kuning, Sodo Sakler, Lasem, Tuluh Watu, Lompong Keli, Kinanti, Kembang Telo, Kembang Mindi, Melati Secontong, Ketan Ireng, Ketan Salak, Kembang Bayam, Jaran Dawuk, Kijing Miring, Kunang Sekebon, dan sebagainya.

Dalam perkembangannya diciptakan motif-motif lurik baru seperti Yuyu Sekandang, Sulur Ringin, Lintang Kumelap, Polos Abang, Polos Putih, dan lain-lain. Juga ada beberapa motif lain seperti Ketan Ireng, Gadung Mlati, Tumenggungan, dan Bribil. Motif paling mutakhir adalah motif Udan Liris (hujan gerimis), Dam Mimi, dan Galer.




(Dari berbagai sumber)