“Sekarang, Bung. Sekarang! Malam ini juga!” kata
Chaerul Saleh kepada Bung Karno. ”Kita harus segera
merebut kekuasaan!” tukas Sukarni Kartodiwirjo berapi-api. ”Kami
sudah siap mempertaruhkan jiwa kami!” seru para pemuda di rumah Bung Karno di
Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Para pemuda, termasuk
Wikana, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan
Sudiro datang ke rumah Bung Karno pada 15 Agustus 1945 pukul
22. Mereka mendesak Soekarno agar segera merumuskan naskah
proklamasi begitu Jepang dikalahkan Sekutu pada 14 Agustus 1945. Tapi Bung
Karno menolak keinginan mereka. Ia dan Bung Hatta ingin proklamasi dilakukan
melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di mana Bung Karno menjadi
Ketua. Para pemuda bersikeras agar Bung Karno segera
memproklamasikan kemerdekaan. Menurut mereka, PPKI buatan Jepang. Mereka
tidak ingin Bung Karno dan Bung Hatta terpengaruh Jepang dan tidak ingin
kemerdekaan RI seolah-olah hadiah dari Jepang.
Mereka lalu membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke
rumah Djiaw Kie Siong, seorang tentara PETA, di Rengasdengklok, Karawang, pada 16 Agustus 1945 pukul 3
dinihari, untuk merumuskan naskah proklamasi. Rengasdengklok dinilai aman,
sedangkan di Jakarta para tentara Jepang bersiaga penuh. Fatmawati dan Guntur
Soekarnoputra yang masih bayi ikut ke Rengasdengklok. Mereka dijemput
Sukarni dan Winoto Danuasmoro dengan mobil Fiat hitam kecil. Di
dalam mobil sudah ada Bung Hatta.
Pada 16 Agustus 1945 tengah malam Ahmad Soebardjo menjemput
Bung Karno dan Bung Hatta di Rengasdengklok. Sesampainya di Jakarta mereka
disediakan tempat berkumpul di Jalan Meiji Dori (kini Jalan Imam Bonjol Nomor
1), di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. Hubungan para nasionalis dekat
dengan Maeda, Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat
Jepang. Ada 29 orang yang berkumpul di rumah
Maeda pada malam itu. Mereka adalah Ir.Soekarno, Drs.
Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantoro (Mas Suwardi Soerjaningrat), Mr. Iwa
Kusumasumantri, Mr. Teuku Mohammad Hassan, Otto Iskandar Dinata, R.Soepomo,
B.M. Diah, Sukarni, Chaerul Saleh, dan beberapa tokoh
lainnya.
Selama mereka berunding merumuskan naskah proklamasi, Maeda naik ke lantai atas rumahnya. Usai menulis naskah proklamasi bersama Mohammad Hatta dan Achmad Soebardjo, Soekarno membacakannya di hadapan para peserta rapat yang berkumpul di ruang tamu. Rapat baru selesai pada 17 Agustus 1945 pukul 3.00 dini hari, tanggal 9 Ramadhan.
Setelah mendapat persetujuan dari semua hadirin, Bung Karno segera meminta Mohamad Ibnoe Sajoeti Melik mengetik naskah proklamasi. Sajoeti mengetik naskah ditemani wartawan Boerhanoeddin Mohammad Diah. Tiga kata dari konsep naskah proklamasi yang ditulis tangan oleh Bung Karno diketik Sajoeti dengan beberapa perubahan kata. Kata ‘tempoh’ diubah menjadi ‘tempo’, kata ‘Wakil-wakil bangsa Indonesia’ diubah menjadi ‘Atas nama bangsa Indonesia’. Begitu pula dalam penulisan '17-8-'05' menjadi 'hari 17 boelan 8 tahoen 05'. Tulisan tangan asli Bung Karno kemudian dibuang di tempat sampah oleh Sajoeti tapi dipungut oleh B.M. Diah, penyiar radio Hosokyoku yang juga wartawan Asia Raja.
Begitu naskah proklamasi selesai diketik, Soekarno dan Mohammad Hatta segera menandatanganinya di atas piano. Bung Hatta berpesan kepada para pemuda yang bekerja di kantor-kantor berita agar menyebarkan berita kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia.
Hari Jumat, pukul 05.00
pagi, pada 17 Agustus 1945, mereka keluar dari rumah Maeda dengan bangga karena teks Proklamasi selesai ditulis.
Pukul 8, dua jam sebelum upacara pembacaan teks Proklamasi, Bung Karno masih berbaring di kamarnya. Ia minum obat kemudian tidur lagi. Pukul 9 ia terbangun. “Saya greges (tak enak badan),” katanya. Ia kemudian berpakaian rapi, memakai kemeja dan celana putih. Bung Hatta dan beberapa orang sudah menunggunya. Fatmawati sudah menyiapkan bendera merah putih.
Pada 17 Agustus 1945 pukul 10 Bung Karno, Bung Hatta, dan para pemuda berkumpul di halaman depan rumah Bung Karno. Latief Hendraningrat menjadi pemimpin upacara bendera. Mereka mendengarkan Bung Karno membaca teks proklamasi dengan hikmad, terharu, dan bangga. Beberapa orang menangis terharu. Lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman dinyanyikan dengan semangat meski tanpa iringan musik. Sang Saka Merah putih dinaikkan untuk pertama kalinya, di tiang bambu. Setelah upacara yang singkat itu Bung Karno kembali ke kamar tidurnya. Tubuhnya masih demam. Tapi ia sangat bangga. Sebuah negara baru telah dilahirkan. Pagi itu Indonesia merdeka. Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!