Tan Malaka menghasilkan 26 buku, memiliki 23 nama samaran di
berbagai negara, pernah memasuki 13 penjara. Buku-bukunya yang sangat terkenal
diantaranya adalah Massa Aksi, Dari Penjara ke Penjara, dan Madilog
(Materialisme, Dialektika, dan Logika).
Ia menguasai delapan bahasa (Minang, Indonesia, Belanda, Rusia, Jerman,
Inggris, Mandarin, Tagalog). “Ingatlah, dari dalam kubur suara saya akan lebih
keras daripada di atas bumi.” Itu salah satu ucapan Tan Malaka yang terkenal.
Ucapan itu terbukti benar. Salah seorang ‘penyambung lidahnya’ adalah Harry
A.Poeze, sejarawan berkebangsaan Belanda.
Sejarawan ini meneliti sosok Tan Malaka selama 40 tahun. “Tan Malaka adalah Che Guevara Asia,” kata
Poeze.
|
Saya berdiskusi dnegan Prof. Harry Poeze |
Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia pada Juni
1927. Melalui buku Madilog (1942) ia berupaya mencerdaskan bangsa, menyiapkan
Indonesia merdeka. Pada 14 Agustus 1945 ia mendorong para pemuda untuk
secepatnya meminta Bung Karno dan Bung Hatta agar memproklamasikan kemerdekaan.
Usia Tan Malaka 48 tahun pada waktu itu. Para pemuda berusia 30an seperti Wikana, Iwa Kusumasomantri,
Djojopranoto, Sudiro dan beberapa
yang lain kemudian datang ke rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56
(kini Jalan Proklamasi) pada 15 Agustus 1945. Mereka mendesak Bung Karno untuk
segera memproklamasikan kemerdekaan.
|
Saya bersama Prof. Zulhasril Nasir |
Pada 16 Agustus 1945 dini hari mereka membawa Bung Karno dan
Bung Hatta ke Rengasdengklok, Karawang,
untuk merumuskan naskah proklamasi. Rengasdengklok relatif aman
dibandingkan Jakarta yang penuh tentara Jepang. Rapat di Rengasdengklok dilanjutkan pada 16 Agustus malam sampai 17 Agustus dini hari
di rumah Laksamana Tadashi Maeda (di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta). Di rumah
Maeda naskah proklamasi berhasil dirumuskan pada 17 Agustus 1945 dini hari, bulan Ramadhan. Pada pukul 10 naskah itu dibacakan Bung Karno di halaman rumahnya di Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Meski proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan, kekuasaan
Jepang masih ada, larangan-larangan masih berlaku. Masuknya pasukan Angkatan
Laut Sektutu melalui Tanjung Priok pada 9 September 1945 membuat situasi tidak
menentu, seolah-olah negara kita masih milik Sekutu. Negara Indonesia belum
menjadi negara berdaulat meski Kabinet sudah dibentuk.
Tan Malaka
menggerakkan pemuda untuk memaksa Presiden Soekarno berpidato di lapangan IKADA
(di timur Monumen Nasional). Rapat raksasa pada 19 September 1945 ini
penting untuk legitimasi politik,
menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia telah merdeka. Para pemuda
pejuang dan semua elemen masyarakat
bertekad maju dengan risiko apa pun. Mereka datang ke lapangan IKADA dari
Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Banten dengan para pemimpin masing-masing. Meski
hanya dengan bambu runcing, golok, dan keris ribuan rakyat bersatu di lapangan
IKADA bersiap menghadapi para tentara Jepang yang siap dengan bayonet terhunus.
Peran Laskar Rakyat Jakarta, Pemuda Menteng 31 (kini Gedung Joang), dan pemuda
Prapatan 10 sangat penting untuk menggerakkan massa ke lapangan IKADA. Presiden Soekarno kemudian muncul, hanya
berpidato lima menit: meminta massa untuk kembali ke tempat masing-masing.
Meski demikian, rapat akbar ini sudah menunjukkan bahwa rakyat menghormati
kepemimpinan revolusi nasional, rakyat setia pada pemimpinnya, dan massa aksi
merupakan alat revolusi yang penting.
Sebelas hari setelah peristiwa IKADA, 30 September 1945,
Presiden Soekarno memberikan Testamen Politik kepada Tan Malaka sebagai ahli
waris revolusi bila terjadi sesuatu pada Soekarno-Hatta. Testamen Politik ini
diberikan karena Presiden Soekarno mengakui kepiawaian Tan Malaka, sebaliknya
Tan Malaka juga mengakui kepemimpinan Presiden Soekarno.
Poeze
datang dari Belanda untuk menjadi pembicara pada acara Dialog Kebangsaan di
Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, pada 18 September 2016. Prof. Zulhasril Nasir, dosen FISIP UI, yang menulis buku ‘Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan
Singapura’ juga menjadi pembicara pada acara itu.