Kata 'lurik' berasal dari akar kata rik dalam bahasa Jawa yang
artinya garis atau parit, dimaknai
sebagai pagar atau pelindung bagi pemakainya. “Motif lurik tradisional memiliki
makna yang mengandung petuah, cita-cita atau harapan pemakainya. Kain lurik sederhana
dalam penampilan namun sarat dengan makna.,” tulis Nian S.Djoemena dalam buku
Lurik, Garis-garis Bertuah. Selendang atau kemben Liwatan, misalnya, digunakan pada
upacara tingkeban dengan harapan agar ibu dan anak terhindar dari marabahaya dan
penyakit. Lurik dengan corak Tuluh Watu diartikan sebagai batu yang bersinar
dan dianggap sebagai penolak bala. Ragam hias lurik ini digunakan pada upacara
ruwatan anak dan pelengkap sesajen upacara labuhan.
Jarit (sarung) Tumbar Pecah digunakan pada upacara tingkeban
dengan harapan agar proses kelahiran berjalan lancar, ibu dan anak selamat,
anak kelak menjadi berguna dan harum namanya. Diibaratkan semudah memecah
ketumbar dan seharum namanya.
Dengklung diartikan sebagai orang yang sudah sangat tua dan
tidak berdaya karena usia, namun sarat dengan kebijaksanaan. Merupakan lurik
tolak bala dan digunakan untuk berbagai upacara, sesajen, dan tumbal. Lurik Dengklung
digunakan juga pada upacara siraman pengantin, belek kebo, dan dodol dawet pada
upacara pernikahan adat Jawa.
Lurik Yuyu Sekandang melambangkan rezeki yang berlimpah.
Sementara lurik Kluwung (pelangi) dianggap sebagai keajaiban alam dan tanda
kebesaran Allah. Ragam hias Kluwung dianggap sakral dan dapat menolak bala, digunakan
pada upacara mitoni (tujuh bulan kehamilan)
agar anak yang akan dilahirkan terhindar dari bahaya. Kain ini juga
diletakkan di bawah bantal pengantin agar kedua mempelai terhindar dari segala
macam marabahaya serta serasi seperti
pelangi.
Gedog Madu digunakan dalam upacara tingkeban dan mitoni
dengan harapan bayi yang dikandung memiliki sifat seperti madu, manis, dan
berguna untuk kesehatan. Digunakan juga untuk upacara siraman agar calon
pengantin menjadi cantik dan memiliki masa depan semanis madu. Sementara ragam
hias Lompong Keli (daun keladi yang hanyut dibawa air) merupakan perumpamaan
hati yang galau. Lurik ini untuk dikenakan oleh pria.
Kumbokarno adalah nama tokoh raksasa dalam pewayangan yang
berjiwa satria, pembela kebenaran, berani, tegas, dan kuat. Lurik ini untuk
laki-laki. Ragam hias Loro Pat (dua empat) memiliki jumlah lajur berbeda dalam
satuan kelompok tetapi warnanya sama. Sementara Telu Pat (tiga empat) memiliki
tujuh lajur, terdiri atas satu satuan empat lajur dan tiga lajur. Menurut
kepercayaan Jawa, angka tujuh merupakan angka keramat, melambangkan kehidupan, dan kemakmuran. Konon ragam hias ini diciptakan Sri Sultan Hamengku Buwana I.
Sulur Ringin Ijo (akar beringin). Akar beringin tumbuh dari atas ke bawah
mencapai tanah yang dapat menopang pohon itu. Pohon ini lambang kehidupan
langgeng. Sementara ragam hias Klenting Kuning berwarna hijau kuning. Diambil
dari cerita rakyat Ande Ande Lumut yang merupakan tokoh gadis teladan, berakhlak
luhur, tidak mudah dirayu.
Udan Liris (hujan gerimis) melambangkan kesuburan dan
kesejahteraan. Ini salah satu ragam hias yang digunakan penguasa di Jawa Tengah
dengan harapan agar si pemakai diberkati Yang Maha Kuasa untuk membawa
kesejahteraan bagi para pengikutnya. Sementara ragam hias Gambang Suling
diambil dari salah satu gending Jawa yang bernada optimis, sejalan dengan sifat
yang diharapkan dari seorang pria. Lurik ini dikenakan oleh laki-laki. Sedangkan
Sembodro adalah tokoh pewayangan yang cantik,
penyabar, dan setia meski dimadu oleh Arjuna.
Sapit urang berarti jepit udang. Ungkapan simbolis sebuah
siasat perang di mana musuh dikepung dari samping, kekuatan komando menyerang
berada di tengah-tengah. Sementara motif
Kembang Gedang berarti bunga pohon pisang. Motif Merang Kecer (batang
padi yang tercecer) dibuat dari benang
lungsi putih. Dom Kecer (jarum yang tercecer)
merupakan variasi hias Dom Dlesep (jarum masuk). Saya belum mendapatkan
informasi untuk upacara apa saja semua ragam hias ini digunakan.
Kain lurik diperoleh melalui proses penenunan benang yang
diolah menjadi sehelai kain katun. Tenun lurik
dapat terlihat pada salah satu relief Candi Borobudur yang menggambarkan
orang sedang menenun dengan alat tenun. Pada prasasti Erlangga dari Jawa Timur
pada 1033 menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah satu nama kain lurik. Pada
masa kerajaan Majapahit lurik sudah dikenal sebagai karya tenun. Dari cerita
Wayang Beber dapat dilihat seorang kstaria melamar seorang putri Raja dengan
alat tenun sebagai mas kawinnya.
Kain tenun yang berasal dari daerah pedesaan di Jawa Tengah
ini memiliki motif garis-garis, namun motif kotak-kotak dapat digolongkan
sebagai lurik. Pada mulanya lurik dibuat dalam bentuk sehelai selendang yang
digunakan sebagai kemben (penutup dada wanita). Juga digunakan sebagai alat
pengikat sesuatu yang digendong di tubuh. Kemudian lahirlah sebutan lurik
gendong.
Pada awalnya motif lurik sangat sederhana, dibuat dalam
warna terbatas yaitu hitam, putih atau kombinasi antar keduanya. Kemudian kain
lurik berkembang tidak hanya menjadi milik rakyat melainkan juga dipakai di
lingkungan keraton. Motif keraton memiliki corak tersendiri. Ketika menghadiri
pisowanan (menghadap Raja) para abdi dalem memakai baju dengan motif telu-pat. Pakaian dengan motif ini disebut
baju peranakan. Orang yang bukan dari kalangan keraton tidak boleh memakai baju
ini. Prajurit Jogokaryan memakai motif Jogokaryo, prajurit mantrirejon
memakai motif mantrirejo. Begitu pula prajurit Patangpuluhan memakai motif
patang puluh.
Kain lurik dipakai
oleh hampir semua orang sebagai busana sehari-hari. Untuk wanita dibuat kebaya
dan jarit (kain untuk menutup bagian tubuh dari pinggang ke bawah). Juga
digunakan sebagai bahan busana pria yang disebut beskap (Solo) atau surjan
(Yogyakarta). Meski motif lurik hanya berupa garis-garis namun variasinya
sangat banyak. Ada corak Klenting Kuning, Sodo Sakler, Lasem, Tuluh Watu,
Lompong Keli, Kinanti, Kembang Telo, Kembang Mindi, Melati Secontong, Ketan Ireng,
Ketan Salak, Kembang Bayam, Jaran Dawuk, Kijing Miring, Kunang Sekebon, dan
sebagainya.
Dalam perkembangannya diciptakan motif-motif lurik baru
seperti Yuyu Sekandang, Sulur Ringin, Lintang Kumelap, Polos Abang, Polos Putih,
dan lain-lain. Juga ada beberapa motif lain seperti Ketan Ireng, Gadung Mlati,
Tumenggungan, dan Bribil. Motif paling mutakhir adalah motif Udan Liris (hujan
gerimis), Dam Mimi, dan Galer.
(Dari berbagai sumber)