Seandainya Dadik, adikku, masih hidup pada 3 Oktober 2020 ia berusia tepat 55 tahun. Tapi sembilan bulan yang lalu, diiringi azan subuh 30 Januari 2020, ia dipanggil pulang oleh Yang Maha Pengasih. Ia sudah bebas dari sakit paru dan ginjal setelah dua malam dirawat intensif di rumah sakit Duren Sawit, Jakarta. Tak perlu lagi ia dipindahkan ke rumah sakit lain untuk pemasangan ventilator yang membantu pernapasannya. Paru kirinya mengecil hingga tinggal 60 persen, oksigen tak banyak lagi beredar di tubuhnya yang berakibat ia kehilangan kesadaran pada hari ke-dua di rumah sakit.
Ketika baru masuk ke UGD, pada 28 Januari siang, ia masih
mengenaliku dan tampak senang melihat aku datang. Ia meminta minum dariku dan aku masih sempat meminta maaf kepadanya:
“Maaf ya, Dik. Sebagai kakak, aku gak bisa membahagiakan Dadik.” Ia tersenyum. Setelah ia dipindahkan dari UGD ke ICU, aku pulang tanpa pamit kepadanya sebab kupikir hanya dokter yang diizinkan masuk ke ruangan itu. Lagi pula aku akan datang lagi ke rumah sakit esok hari. Ternyata keesokan paginya ia sudah tak mengenaliku, tak menyadari kehadiranku, sampai ia pergi dan tak pernah kembali.
Kepergiannya membuatku mengingat kembali adik ke-dua ini.
Ketika ia berusia tiga tahun Ibu memberinya obat cacing. Setelah itu ia BAB dan
seluruh kotoran yang keluar berupa gumpalan cacing pita. Ia tampak pucat
dan kaget melihat gumpalan cacing pipih dan putih dan beberapa tampak masih hidup. Aku
juga heran. Dadik tampak sehat, badannya tidak kurus, meski ia tidak bisa dibilang bocah montok.
Pada waktu masih kecil ia sering mengalami step (stuip), penyakit kejang. Setiap kejang-kejang bola matanya terbalik, bagian hitamnya melihat ke atas, sehingga hampir seluruh bola matanya terlihat putih. Untuk menjaga agar lidahnya tak putus digigitnya
setiap step, Ibu membungkus gagang
sendok makan dengan serbet dan memasukkannya ke mulut Dadik. Ketika aku berusia
sekitar enam tahun, aku berada di sisi Dadik yang berbaring lemas di tempat
tidur. Tiba-tiba ia terserang step, bola matanya terbalik, dan lidahnya digigit
kuat. Aku berteriak memanggil Ibu yang sedang mencuci baju. “Ibu, Dadik
step!!!” Ibu segera datang dengan sendok berbungkus serbet, memasukkan gagang
sendok ke mulut Dadik, kemudian melanjutkan mencuci baju. Aku terdiam di tempat
tidur, menemani Dadik dengan cemas.
Pada sekitar 1969 keluarga kami pindah dari rumah di
Jalan Kramat VIII (kini Jalan Jambrut) di dekat Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, ke kampung
Kemandoran di Jakarta Selatan. Suasana masih sepi, jalan belum beraspal di
Kemandoran. “Di sini gak enak. Bau sapi.” Itu komentar Dadik ketika kami baru pindah
rumah. Suasana kota berubah menjadi suasana
kampung. Di Kemandoran inilah kami
hidup sampai dewasa bersama para warga yang sebagian besar etnis Betawi. Kami mengalami masa proyek Muhammad Husni Thamrin yang
diadakan Gubernur Ali Sadikin yang mengaspal semua jalan di kampung-kampung di
Jakarta pada 1975. Dadik juga pernah mengirim surat kepada Gubernur ketika sekolahnya, SD Tarakanita III, yang baru didirikan dibakar massa karena sentimen agama. Gubernur membalas suratnya yang isinya menyemangati Dadik agar giat belajar. Beliau berjanji akan tetap membangun sekolah itu di tempat yang sama di Kemandoran.
Setiap Bapak akan berangkat ke kantor, beliau mencium kening
Dadik yang pada waktu itu masih menjadi
anak bungsu. Pada suatu hari aku melihat Dadik duduk beberapa jam di depan
rumah dengan wajah sedih. Ia tidak mau masuk ke rumah. “Dadik belum dicium
Bapak,” katanya. Rupanya Bapak lupa menciumnya dan Dadik menunggu sampai beliau pulang dari kantor. Pernah juga aku
melihat Dadik berlari mengejar Bapak yang sudah beberapa puluh meter meninggalkan
rumah untuk pergi ke kantor. “Dadik belum dicium!” katanya sambil menangis.
Bapak lalu mencium keningnya dan Dadik pulang dengan senang.
Sejak kecil sampai remaja Dadik adalah anak yang periang.
Bersama Tulus, temannya sejak di bangku SMP, ia menjadi pelawak. Bahkan sempat
pentas lawak di sebuah acara di Jakarta Fair. Setelah lulus dari SMA 6,
Jakarta, ia kuliah di Fakutas Perikanan Universitas Diponegoro. Aku tak begitu
mengamati lagi perkembangan jiwanya. Sependek yang aku tahu, ia tak lagi periang
seperti dulu. Emosinya tidak stabil, mudah cemas, mudah marah. Setelah menjadi
sarjana Perikanan ia bekerja di sebuah tambak yang luas milik sebuah perusahaan
di Lampung. Rupanya ia tidak bahagia bekerja di sana dan semakin tidak bisa
menguasai emosinya. Jiwanya guncang. Namun ia masih punya perasaan kasih sayang. Dalam keadaan hujan ia pergi naik motor untuk membeli setangkai mawar merah untuk Ibu dengan kartu kecil berisi ucapan selamat ulang tahun. “Selamat ulang
tahun ya, Bu,” katanya sambil memberikan mawar dan kartu itu kepada Ibu yang duduk di
teras depan. Ibu menerima mawar dan kartu itu, satu detik kemudian Ibu mengembalikannya kepada Dadik. “Terima kasih. Tarok aja
di dalam.” Dadik tertegun lalu membawanya ke dalam
rumah.
Ia pernah menganjurkanku pergi mencari obat alternatif
ketika ia mendengar bahwa suamiku akan
dioperasi karena ada batu di ginjalnya. Ia mengantarku untuk mendapatkan ramuan herbal ke Sawangan, Bogor, yang jaraknya sangat jauh dari Kemandoran. Sekitar tiga jam kami menunggu di Sawangan untuk bisa memperoleh obat itu. Ia menunggu dengan
sabar tanpa mengeluh. Ia juga mengantarku
mencari pompa air di Jalan Panglima Polim untuk dipasang di
rumahku di Ciputat. “Beli di Ciputat aja.
Di sana pasti lebih murah,” katanya. Ia lalu mengantarku ke Ciputat yang
jaraknya jauh dari Panglima Polim dan macet. Benar yang dikatakan Dadik. Harga
pompa air di Ciputat jauh lebih murah daripada di Jalan Panglima Polim. Dadik juga selalu mendampingiku di dalam mobil pada waktu aku belum lancar menyetir. Kami sering mengantar Arya, keponakan kami yang masih balita, bermain di Taman Ria di sebelah gedung TVRI. Pernah juga kami mengantar Arya ke Taman Impian Jaya Ancol.
Yang sangat mengesankan, Dadik mau mengantarku ke
Jember untuk menjemput Wiwin, kakak sulung kami, di sana. Pada akhir 1990-an
belum ada jalan tol Trans Jawa. Perjalanan dengan bus dari terminal Lebak Bulus ke
Surabaya membutuhkan waktu sekitar 20 jam dilanjutkan dua jam perjalanan dari Surabaya
ke Jember. Kami hanya sekitar satu jam di Jember, kemudian kembali
ke Jakarta bersama Wiwin dengan bus. Perjalanan yang melelahkan tapi Dadik tak
mengeluh.
Sesungguhnya Dadik adalah orang yang murah hati, royal. Sayangnya ia tak memiliki uang untuk memuaskan jiwa dermawannya. Meski demikian ia selalu mau memberi tenaga dan waktunya untuk orang lain. Ia pernah merayakan ulang tahunnya di Bakmi GM, Pondok Indah Mall. Aku lupa tahun berapa. Ia meminta kado dalam bentuk uang kepadaku kemudian uang itu dipakainya untuk menraktir saudara-saudaranya di Bakmi GM.
Pada suatu hari ia berkata kepadaku: “Bapak, Ibu, semua kakak dan
adik pernah ke luar negeri. Cuma Dadik
yang belum pernah. Dadik pingin pergi ke luar negeri.”
“Boleh. Tapi ke Singapore aja ya.”
“Ya,” katanya senang.
Ia bersemangat mengurus paspor. Aku, suami, dan Dadik pergi
ke Singapura meski hanya menginap di tempat sederhana, bukan di hotel, di asrama YMCA (Young Men’s Christian Association). Asrama ini boleh
diinapi oleh orang di luar YMCA. Letaknya dekat dari Orchard Road. Kami melancong ke pulau Sentosa. Dadik sangat senang dan
mencoba banyak hiburan di sana. Ia hanya terlihat bosan di pulau itu
ketika menunggu suamiku yang asyik memotret berbagai kupu-kupu. Cukup lama kami
di peternakan kupu-kupu karena suamiku kerap menunggu momen terbaik untuk
memotret kupu-kupu yang hinggap di bunga.
Menjelang pulang ke Jakarta kami jalan-jalan di Orchard
Road. Dadik membeli kartupos bergambar Merlion, lambang negara Singapura. Ia
langsung menulis di kartupos dan akan segera mengirimkannya untuk temannya karena itulah hari terakhir kami di Singapura. Sayangnya pada hari
Minggu kantor pos tutup. Seorang pria Singapura yang baik hati menawarkan diri
untuk mengirimkan kartupos itu keesokan harinya. Dadik dengan gembira
menyerahkan kartupos kepadanya.
Beberapa tahun kemudian aku jarang bertemu dengannya, jarang
pula berkomunikasi. Aku jarang datang ke rumah orangtuaku di Kemandoran. Bahkan
aku tak menelepon Dadik ketika ia berulang tahun. Itu aku sesali sekarang. Dadik semakin lama terlihat semakin tertekan. Ia depresi.Wajahnya tampak selalu tegang.
Urat-urat di pelipisnya terlihat menonjol, bola matanya tampak selalu agak
melotot. Ia mondar-mandir di dalam rumah dan menjadi pecandu rokok. Pada suatu hari ia mengeluh kepada Ibu
dengan wajah lelah dan mata merah: “Bu, Dadik stress.” Ibu menjawab: “Kalau
stress, ya minum obat. Ini diminum!” Obat berhamburan di lantai dan sebagian
masuk ke bawah kulkas. Dadik berlutut dan tangannya berusaha mengambil obat yang berserakan di kolong kulkas. Sangat memilukan.
Aku memahami Dadik tak bahagia hidup di dunia. Meski sedih aku mengikhlaskan kepergiannya ke alam baka. Mungkin ini yang terbaik untuk ketenangan jiwanya di sana. “Selamat jalan, Dik. Kau tak mendapatkan kebahagiaan di dunia, tak meraih apa yang kau cita-citakan, tak memiliki apa yang kau ingin miliki, tak mampu memberi apa yang ingin kau beri, terpisahkan dari keluarga selama dua tahun terakhir hidupmu. Tapi aku berdoa semoga kau mendapatkan kedamaian abadi di sisi Allah. Ampunilah semua kesalahannya ya, Allah. Berilah
ia kasih sayangMu sebanyak pasir di lautan, sebanyak bintang di langit. Amin."