Sama seperti keturunan China, orang-orang Arab juga telah ratusan tahun datang ke nusantara terutama untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam. Pada mulanya banyak dari mereka kawin dengan wanita pribumi dan melebur sebagai penduduk Indonesia. Baru pada abad 19 mereka mulai berdatangan dalam jumlah lebih banyak terutama setelah pembukaan Terusan Suez pada 1869. Pada umumnya mereka datang dari Hadhramaut, Yaman Selatan, yang dilintasi oleh pelayaran dari Eropa ke Indonesia melalui Suez. Mereka disebut orang Hadhrami. Ada juga yang datang dari jalur koloni Inggris yaitu melalui Aden ke Singapura kemudian ke Jakarta.
Jumat, 27 November 2020
Orang-orang Arab di Jakarta
Sabtu, 21 November 2020
Boven Digul
Jumat, 06 November 2020
Kisah Eksil di Praha
Martin Aleida, penulis buku Tanah Air yang Hilang, bersama Soegeng Soejono, eksil di Ceko. |
Soejono Soegeng Pangestu berangkat ke
Cekoslowakia pada 10 September 1963 untuk kuliah di sana. Setahun belajar
bahasa Ceko, ia mulai kuliah ilmu Ekonomi di Praha, ibu kota Cekoslowakia (kini
pecah menjadi dua negara). Banyak mahasiswa Indonesia di sana. Di jurusan
Ekonomi hanya batu loncatannya. Ia kemudian diterima di Charles University di
Praha jurusan Pedagogi dan Psikologi Anak. Pada 1965 terjadi peristiwa Gerakan
30 September di tanah airnya. Dua minggu kemudian para mahasiswa di-screening
satu per satu di KBRI. Pertanyaannya cuma satu: “Apakah Saudara setuju dengan
Orde Baru atau tidak?”
Soejono mengambil sikap seperti itu karena ia yakin jalan dan tujuannya benar. Yang setuju dengan Orde Baru tidak mendapat masalah, sedangkan semua yang tak setuju minta suaka politik. Permintaan suaka politik mereka diterima. Mereka diurus Palang Merah Ceko. Mereka diberi rumah. Setelah selesai kuliah diberi pekerjaan. “Tapi istri harus cari sendiri. Hehehe...,” cerita Soejono kepada Martin Aleida yang menuliskan kisah hidupnya dan kisah 18 eksil lainnya di buku Tanah Air yang Hilang.
Soejono diterima sebagai ahli Pedagogi. Setelah lulus, ia tak bisa pulang ke Indonesia. Ia melanjutkan kuliah Kultur Politik dan Media Massa di Praha. Ia tak mau berutang kepada negaranya, tetapi ilmu dan pengalaman hidupnya tak dapat dimanfaatkannya untuk memberi kontribusi kepada Indonesia di mana ia berutang budi. “Itu membuat saya sedih. Saya tetap merasa berutang budi kepada Indonesia. Karena itu apa saja yang dapat membangkitkan gairah mengenai Indonesia, saya bantu. Saya membantu berbagai kegiatan di KBRI. Juga kepada orang-orang Indonesia yang datang ke Ceko. Saya ikut membantu hubungan baik Indonesia dan Ceko. Selain itu saya menjadi dosen Bahasa dan Budaya Indonesia,” cerita Soejono.
Orang-orang Ceko yang ingin belajar bahasa Indonesia berguru kepada Soejono gratis. Siapa saja yang tertarik pada Indonesia dibantu Soejono gratis. “Yang saya inginkan dari mereka cuma satu, supaya kita menjadi sahabat yang kekal. Itu lebih penting daripada uang.”
Minggu, 01 November 2020
Tanah Air yang Hilang
Banyak orang Indonesia yang dikirim untuk belajar di luar negeri tapi tak diizinkan kembali ke tanah airnya setelah peristiwa 30 September 1965. Pada awal 1960-an Presiden Soekarno memberi kesempatan kepada warga negara Indonesia untuk belajar ke luar negeri, menimba ilmu untuk dibawa pulang ke tanah air. Mereka yang berada di negara-negara komunis seperti Uni Soviet (kini Russia), China, Yugoslavia (kini pecah menjadi lima negara), dan Chekoslovakia (kini pecah menjadi dua negara) dilarang pulang ke tanah airnya setelah Presiden Soekarno lengser. Mereka berkelana menyeberangi berbagai batas negara dalam ketakutan, tanpa paspor, untuk menghindari pengejaran yang dilancarkan oleh sebuah rezim yang 32 tahun bertahta. Mereka terpaksa kehilangan tanah air karena paspor mereka dicabut pemerintah Orba sehingga mereka harus mencari tanah air baru, haknya atas sebuah tanah air Indonesia telah dirampas. Meminta suaka dari negara-negara Eropa terutama Belanda, Jerman, Prancis, Ceko, Swedia, dan Bulgaria, mereka kemudian menjadi warga negara di sana.
sampai akhir hayatnya. Anaknya menceritakan kepada Martin bahwa ia bersama saudara-saudaranya terpaksa menjadi pengamen di metro untuk membantu orang tua mereka. Ada pula insinyur kimia yang menjadi kuli semen di Uni Soviet, juga ada insinyur hidroteknik yang menjadi tukang las di Prancis. “Berita tentang Indonesia terus kami ikuti setiap hari. Malah lebih banyak kami ikuti berita tentang Indonesia daripada Prancis. Kami tinggal di Prancis tapi perasaan kami seperti di Indonesia,” cerita seorang narasumber. “Kami tak punya kewarganegaraan. Inilah nasib yang tak kami duga. Padahal posisi kami jelas. Kami setia dan cinta tanah air. Kami ingin pulang untuk menyumbangkan sesuai kemampuan kami masing-masing bagi kemajuan Indonesia,”cerita narasumber lain mengenai masa lalunya.