Steve adalah kakak kelasku di FISIP UI. Ia angkatan 1979
sementara aku angkatan 1980. Meski
berbeda angkatan namun ada beberapa mata kuliah yang kami ikuti bersama, karena
perkuliahan bersistem kredit memungkinkan untuk itu. Para dosen di Jurusan Ilmu
Komunikasi FISIP UI sering memberikan tugas menulis makalah kepada kami. Para
mahasiswa di dalam satu kelas dibagi menjadi beberapa group oleh dosen. Setiap
group menulis satu makalah dengan topik yang berkaitan dengan mata kuliah yag
diajarkan oleh dosen. Saya beberapa kali dalam satu group dengan Steve. Leadership-nya, usianya, pengetahuannya
yang luas, dan angkatannya yang lebih senior, membuat Steve selalu menjadi
ketua kelompok. Ia bisa memberi masukan-masukan yang berbobot bagi makalah yang
akan kami tulis. Setiap diskusi ia selalu mau mendengarkan pendapat orang lain.
Di dalam diskusi-diskusi itu Steve halus dalam memilih kata, namun tetap tegas.
Ia juga humoris. Tapi ia sangat serius menulis skripsinya. Saya mendengarkan
bagaimana ia menjawab semua pertanyaan dari dosen penguji skripsi dengan
cerdas. Ia mendapatkan nilai terbaik dari semua skripsi yang pernah diuji di
fakultas itu.
Setelah kami lulus dari FISIP UI, bertahun-tahun aku tak pernah mendengar kabarnya. Belakangan kutahu bahwa Steve menjadi pendeta sejak muda dan aktif di kegiatan lintas agama antarnegara. Kami bertemu kembali di dunia maya, di media sosial Facebook. Jempol dan komennya sering hadir di postingan-postinganku. Sebaliknya aku juga memberikan jempol dan komen di postingan-postingannya. Komen-komennya sering lucu, kami saling becanda dan akrab di dunia maya, meski tak pernah bertemu di dunia nyata. Facebook membuat ia lebih akrab denganku daripada dengan suamiku padahal ia adalah teman seangkatan suamiku di FISIP UI. Teguh Poeradisastra memang tidak aktif membaca Facebook.
Pada suatu hari pada 2018 Stephen memberitahuku bahwa ia menjadi salah satu kontributor dalam buku Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia. “Ada tulisan saya di buku itu. Apakah kamu tertarik untuk membacanya?” tulisnya melalui Messenger. Tentu aku mau membeli dan membaca buku itu. Bukan saja karena Steve yang menjadi salah satu penulisnya, melainkan masalah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa menarik perhatianku. Apalagi ayah mertuaku gigih memperjuangkan agar etnis Tionghoa dianggap sebagai salah satu etnis dari ratusan etnis yang ada di negara kita. Prof. Saleh Iskandar Poeradisastra, ayah mertuaku, memiliki banyak sahabat yang berasal dari etnis Tionghoa. Meski berbeda warna kulit, suku, dan agama, persahabatan mereka sangat dipenuhi kasih sayang sebagai sesama manusia. Kakak iparku, Slamet Poeradisastra, menikah dengan perempuan Tionghoa tidak menjadi masalah di dalam keluarga kami. Meski ayah mertuaku sudah meninggal, para sahabat beliau tetap penuh perhatian dan menjalin hubungan dengan kami.
Menyedihkan menjadi Tionghoa di Indonesia. Ketika buku Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia yang
dikirim oleh Steve sampai di tanganku, aku langsung membacanya. Yang
pertama kubaca adalah Kata Pengantar yang ditulis oleh Anita Wahid, putri
Presiden Abdurahman Wahid. Tulisan Anita Wahid menganjurkan agar manusia jangan
menghakimi orang lain berdasarkan suku, agama, pendidikan, dan negara. Sebab
semua suku, semua agama, semua tingkat pendidikan, dan semua negara
masing-masing memiliki orang baik dan orang jahat. Aku sependapat dengan Anita
Wahid. Tulisannya kemudian aku tik dan kuposting di Facebook. Ternyata
tulisan itu viral, banyak di-share di
Facebook dan di What’s App Groups. Itu membuktikan bahwa masih banyak orang
yang ingin rasisme dikikis habis.
Aku kemudian membaca halaman 14 buku itu yang memuat
tulisan Stephen Suleeman. Judulnya Apa
Arti Sebuah Nama? Tulisan yang menyentuh. Meski sastrawan William
Shakespeare dalam drama Romeo and Juliet
menyebutkan "A rose by any other
name would smell as sweet", tidak sederhana dan semanis itu soal nama
bagi Tionghoa di Indonesia. Nama asli Stephen adalah Lee Heng Ek, namun politik
Orde Lama membuatnya harus berganti nama menjadi Stephen. “Asingnya nama saya
sering menimbulkan kesulitan ketika saya menelepon seseorang dan harus
menjelaskan nama saya. Saya perlu berulang-ulang menyebutkan nama saya, meski
pihak di seberang sana tetap tidak bisa menangkapnya dengan jelas. Hal ini
mendorong saya untuk mencarikan nama-nama yang mudah disebutkan oleh lidah
Indonesia ketika anak-anak saya lahir,” tulis Stephen dalam buku itu. Kedua
anaknya dari perkawinannya dengan Dini Kusnadi diberinya nama Hortensia
Margarita Esperanza dan Lavender Serena Constanza. Steve dan Dini menikah pada Senin, 8 Agustus 1988, dua hari setelah pernikahanku dengan Teguh Poeradisastra.
Pada akhir 2020 aku meminta Steve untuk menulis tentang
pengalaman pribadinya dalam toleransi beragama. Keesokan harinya ia sudah
mengirimkan tulisannya sekitar 12 halaman dengan isi yang berbobot, tata bahasa yang baik, dan enak
dibaca. Buku antologi berjudul Berbeda Jalan, Satu Tujuan terbit pada Februari
2021. Ia sangat mendukungku untuk penerbitan buku itu. Kini ia telah tiada. Seorang sahabat telah
pergi. Damailah di surga, Steve. Semoga kita bisa berjumpa lagi di sana. Amin.