Pakubuwono II bersama adiknya, Pangeran Mangkubumi, bersekutu dengan Belanda untuk menyingkirkan Pangeran Aryo Mangkunegoro, ayah Raden Mas Said. Setelah Pakubuwono II wafat perseteruan dilanjutkan keturunan mereka, yaitu Pakubuwono III lawan Raden Mas Said.
Belanda ikut campur dalam masalah-masalah keluarga kerajaan demi kepentingan Belanda. Pada 13 Februari 1755 dibuat Perjanjian Giyanti yang memecah wilayah kerajaan Mataram Islam menjadi dua: Pakubuwono III mendapat bagian wilayah timur dengan ibu kota Surakarta dengan sebutan Keraton Kasunanan Surakarta dan Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I mendapat wilayah barat dengan Kasultanan Ngayogyakarta.
Pada 24 Februari 1757 di desa Tunggon terjadi perdamaian Pakubuwono III dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa. Perdamaian dua saudara sepupu itu mengakhiri pemberontakan RM Said melawan kerajaan Mataram Islam sejak beribukota di Kartasura sampai pindah ke Surakarta.
Setelah perdamaian itu Raden Mas Said yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro I berkuasa di Pura atau Istana Mangkunegaran. Jarak istana Mangkunegaran sekitar satu kilometer dari Keraton Kasunanan Surakarta dengan Susuhunan (Sunan) Pakubuwono III sebagai rajanya.
Kedudukan Mangkunegoro I di bawah Pakubuwono III. Oleh karena itu Mangkunegoro I wajib melakukan audiensi (pisowanan) kepada Pakubuwono III sebagai tanda kepatuhan. Audiensi dilakukan setiap Senin, Kamis, dan Sabtu. Beberapa ketentuan juga membatasi kewenangan Mangkunegoro I, di antaranya:
1. Tidak boleh duduk di atas dhampar, tahta kursi kebesaran.
2. Mangkunegaran tidak boleh memiliki siti hinggil, yaitu bagian depan bangunan kompleks keraton yang tanahnya lebih tinggi dari bagian lain. Tempat ini adalah ruang tunggu bagi mereka yang ingin menghadap raja.
4. Mangkunegoro tidak berwenang untuk memutuskan hukuman mati.