Di pengasingannya di Bengkulu Soekarno dianggap sebagai
orang cerdik pandai. Orang datang minta nasihat kepadanya. “Ada kerbau milik
seorang Marhaen yang dituntut oleh seorang pegawai. Ia hampir putus asa karena baginya
kerbau itu sangat besar artinya. Ia datang kepadaku dan menganggapku seperti
dukun,” cerita Soekarno kepada Cindy Adam, penulis biografinya. Soekarno
menasihati sang Marhaen: “Ajukan persoalan ini ke pengadilan. Aku akan
mendoakan.” Tiga hari kemudian kerbau itu kembali.
“Saya sudah tujuh bulan tidak haid,” kata seorang perempuan
yang datang menangis ketika menemui Soekarno.
“Apa yang dapat saya lakukan? Saya bukan dokter,” jawab
Soekarno.
“Bapak menolong semua orang. Bapak adalah juru selamat kami.
Saya percaya kepada Bapak. Saya merasa sangat sakit. Tolonglah, tolonglah,
tolonglah saya.”
Perempuan itu sangat percaya kepada Soekarno. “Aku tidak
dapat berbuat sesuatu yang akan mengecewakannya. Karena itu kubacakan untuknya
surah pertama dari Alquran ditambah dengan doa yang maksudnya sama dengan Bapak
kami yang ada di surga,” cerita Soekarno. Perempuan itu kemudian sembuh.
Tetangga Soekarno, seorang pemerah susu, sangat membutuhkan
uang. Ia yakin dengan mengemukakan masalahnya kepada Soekarno, masalahnya
dapat diselesaikan. Ia benar. Soekarno keluar dan menggadaikan bajunya untuk
memberikan tiga rupiah enam puluh sen yang dibutuhkan tetangganya. “Di mata orang kampung
yang bersahaja, aku lambat laun dianggap seperti dewa. Apa yang ditunjukkan
Fatmawati kepadaku adalah pemujaan kepahlawanan. Umurku lebih dua puluh tahun
darinya. Ia memanggilku Bapak, demikian untuk seterusnya.”
Di rumah Soekarno bersama Inggit Garnasih di Bengkulu ada
radio di kamar belakang. Pada suatu malam teman-teman mereka mendengarkan radio
di rumah itu. Fatmawati juga datang untuk mendengarkan, duduk di tempat kosong
di sebelah Soekarno di atas divan. Malam itu juga Inggit menyatakan kepada
Soekarno: “Aku merasakan ada percintaan sedang menyala di rumah ini. Jangan
coba-coba menyembunyikannya. Seseorang tidak bisa berbohong dengan sorot matanya
yang menyinar kalau ada orang lain mendekat. Menurut adat kita, perempuan tidak
begitu rapat kepada laki-laki. Anak-anak gadis, menurut kebiasaan lebih dekat
kepada Ibu, bukan kepada Bapak.”
Tahun berganti tahun. Fatmawati tumbuh menjadi gadis cantik.
Umurnya 17 tahun sementara Inggit sudah mendekati usia 53 tahun. “Aku masih
muda, kuat, dan sedang berada pada usia yang utama dalam kehidupan. Pada suatu
pagi aku terbangun dengan keringat dingin. Aku menyadari bahwa aku kehilangan
Fatmawati, aku membutuhkannya,” tutur Soekarno.
Hubungan Inggit dan Soekarno menjadi tegang. “Aku tidak tahu
apa yang harus kuperbuat. Oleh karena
itu aku mencari keasyikan dengan bekerja. Aku mengerjakan rencana rumah untuk
rakyat. Aku mengajar guru-guru Muhammadiyah. Aku mengorganisir Seminar
Alim-Ulama Antar-Pulau Sumatera- Jawa dan berhasil mengemukakan kepada mereka
rencana memodernkan Islam.”
Soekarno juga menyibukkan diri dengan menulis artikel.
Karena ia dilarang menulis oleh pemerintah Hindia Belanda, ia memakai nama
samaran Guntur atau Abdurrachman. Masalah muncul karena ia tidak mengetik. Torehan
tulisan tangannya mudah dibaca dan sudah diketahui banyak orang. Ia berusaha
mengubahnya sedikit tapi ternyata masih terlihat bentuk-bentuk huruf yang sama.
“Karena itu aku mengubahnya sama sekali. Aku menulis dengan huruf-huruf cetak
atau menulisnya dengan tangan kiri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar