Setelah menikah dengan Hartini, Soekarno menikah lagi dengan lima perempuan. |
Istana Cipanas |
Saya dijemput orang kepercayaan Bung Karno dengan mobil di
Salatiga kemudian ke Semarang. Dari sana kami berdua naik pesawat Garuda menuju
Jakarta. Dari bandara Kemayoran dengan mobil kami menuju istana Cipanas lewat
Bogor. Kami tiba di kawasan istana Cipanas di kala surya senja mulai
menyelimuti lingkungan yang asri dan teduh itu. Dedaunan dan dahan pepohonan
seakan-akan melambai-lambai ramah menyambut saya. Suasana sangat hening. Selain
desiran angin sore yang terdengar kini hanyalah debaran jantung saya. Ketika
turun dari mobil yang terdengar hanya bunyi langkah kaki dan gesekan kain batik
saya.
Sore itu muncul sosok yang sangat dicintai rakyat
senusantara. Saya disambut Bung Karno di halaman belakang istana Cipanas. Dengan
senyum hangatnya yang menawan beliau menyalami saya yang mengenakan kebaya
hitam kembang-kembang. Sambil tetap memegang tangan saya, beliau berucap: “Do
you always have a cold hand?” Saya tak mampu berkata-kata, kecuali tersenyum.
Saya begitu gugup. Setiap gerakan saya seakan-akan diawasinya dengan sangat
cermat.
Saya tak tahu berapa orang yang tinggal di istana. Yang
jelas, mereka hanya muncul bila diperlukan. Itu pun hanya petugas tertentu.
Sahabat Bung Karno yang tadi mengantarkan saya tanpa terasa tiba-tiba
menghilang entah ke mana. Di halaman belakang istana Cipanas dengan diselimuti
udara sejuk yang dibungkus temaram rembang petang, saya diliputi perasaan tak
percaya. Saya kini duduk berdua dengan orang nomor satu di Indonesia: Presiden
Soekarno...
Dua tahun kemudian...
Pada waktu itu saya sudah rutin sekali sebulan datang ke
Cipanas. Sahabat Bung Karno mendampingi saya ke istana hanya sampai lima kali
pertemuan. Pada suatu senja, ketika sedang bercengkerama dengan Bung Karno,
tiba-tiba kedua tangan saya dipegang erat. Derai tawa saya mendadak terhenti
ketika melihat wajahnya yang menjadi serius, menatap saya dalam-dalam.
Terdengar suara beratnya: “Kan niet zo door gaan, Tin. Tidak bisa keadaan ini
dibiarkan berjalan seperti ini.” Beliau
tak mau berzinah, merasa bertanggungjawab untuk segera menikahi saya. “Ik ga
jou trouwen, Tin,” katanya. Mendengar lamaran itu saya bagaikan terbangun dari
mimpi. Sejenak saya tak dapat berkata apa pun. “Bapak kan sudah punya istri.
Tempat saya bagaimana? Ibu Fat bagaimana? Rakyat bagaimana?” (Ibu Fatmawati
adalah istri Bung Karno ketika itu).
Tiba-tiba tangan saya
kembali dingin. Tubuh saya bergetar. Walaupun ada rasa bahagia, tetapi
sepertinya dikalahkan oleh rasa takut. Masih menggenggam kedua tangan saya, ia
menatap wajah saya yang masih bingung. “Saya sudah pikirkan semua itu, Tin,”
katanya. Saya tertunduk dengan perasaan tak menentu, tak pernah mengira begitu
besar kesungguhannya kepada saya. “Ibu Fat tetap The First Lady dan kau adalah
istri saya yang sah. Jij bent mijn wettige vrouw. Tempatmu di istana Bogor, Ibu
Fat di istana Negara. Soal pembagian waktu akan saya atur. Jumat sore sampai
Senin pagi, saya di Bogor bersamamu, Tin.” Kini saya sadar bahwa keinginan
beliau bukanlah keputusan yang tergesa-gesa. Beliau selalu memikirkan sesuatu
dengan baik sebelum mengambil keputusan.
Tapi apa yang disampaikannya masih belum cukup bagi saya.
Dengan cemas dan ingin menangis, saya katakan: “Bapak kan Presiden. Bagaimana
dengan kelima anak saya? Bagaimana saya harus menghadapinya? Saya harus bilang
apa?” Beliau langsung memeluk saya. Lalu menatap saya dengan lembut. “Bawalah
mereka kemari. I will love them as my children.” Secara refleks saya mencium
tangannya berulang-ulang. Tapi perasaan saya masih tak menentu. Saya minta waktu
untuk berpikir lagi.
Ternyata orangtua saya tak setuju. Mereka berkali-kali
menasehati. “Nduk, dimadu itu berat, meski dengan raja sekali pun. Apakah kau
kuat? Dan terlebih lagi, berarti kau mengambil suami orang. Hukum karma itu
berlaku, nduk. Ingat, siapa yang mengambil akan diambil pula. Pikirkan secara
matang dulu. Namun semua terserah padamu, karena kau yang akan menjalankannya.”
Ketika saya kembali ke Cipanas, Bung Karno terus mendesak.
Sekali lagi saya ke Ponorogo untuk minta izin dan doa restu dari orangtua.
“Orangtua hanya bisa memberi doa restu, tetapi tanggung jawab ada padamu,” kata
mereka.
7 Juli 1954 pada pagi yang cerah saya menikah dengan Ir.
Soekarno di istana Cipanas dengan penghulu dari Cipanas. Yang hadir antara lain
Kepala Rumah Tangga Istana Pak Mangil Martowidjojo, Haji Osman dan istrinya,
juga staf sekaligus sahabat Bung Karno yang selama ini menjadi penghubung kami.
Pada upacara akad nikah itu Bung Karno mengenakan uniform coklat muda,
sementara saya berkebaya brokat hijau. Cincin emas kami berbentuk polos. Pada
kemudian hari saya menyadari bahwa beliau tak pernah mengenakan cincin kawin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar