Setiap Kamis saya datang ke rumah Pramoedya Ananta Toer
pada waktu ia masih tinggal di Utan Kayu, Jakarta. Itu sekitar tahun 1997. Saya
datang untuk mewawancarai penulis kelas dunia itu setiap pukul 14 – 16, setelah ia tidur siang. Pak
Pram yang lahir di Blora pada 6 Februari 1925 rutin tidur siang.
Pak Pram menjawab semua pertanyaan saya dengan baik, fokus,
dan mendalam. Kegiatan interview ini saya lakukan untuk membantu teman saya,
Sanjay Perera, yang sedang mengambil program doktoralnya di National University
of Singapore (NUS). Sanjay mengirim pertanyaan-pertanyaan melalui email kepada
saya dan saya mengajukan semua pertanyaannya kepada Pak Pram. Semua jawaban Pak
Pram kemudian saya kirim melalui email kepada Sanjay, mantan jurnalis The Straits
Times. Sayangnya ketika interview baru
dilakukan delapan kali, Pak Pram pindah rumah ke Bogor. Saya tak punya
kemauan untuk mewawancarainya di Bogor.
Saya mengenal Sanjay pada September 1996 ketika kami
sama-sama diundang oleh Colombo Hilton Srilanka untuk meliput berbagai
destinasi wisata di negara itu. Ia adalah pria keturunan India yang tinggal di
Singapura dan sangat mengagumi Pak Pram. “Pak Pram is my hero,” katanya. Baginya,
Pak Pram adalah tokoh pejuang yang melawan kediktatoran pemerintah Orde Baru. Untuk
menyiapkan disertasinya Sanjay membaca karya-karya Pramoedya, antara lain yang diterjemahkan oleh
John McGlynn, pria Amerika yang menjadi salah satu pendiri Yayasan Lontar di
Indonesia. McGlynn yang memiliki nama pena Willem Samuels sudah menerjemahkan beberapa
karya penulis Indonesia.
Karya-karya Pramoedya diterjemahkan ke dalam 40 bahasa. Ia
menulis novel-novelnya pada waktu ia ditahan di pulau Buru pada 1969 sampai 1979. Sebelumnya ia ditahan di penjara
Salemba (13 Oktober 1965 – Juli 1969) dan di pulau Nusakambangan (Juli 1969 -
16 Agustus 1969). Dari semua novel Pramoedya Ananta Toer, Sanjay paling suka
yang berjudul The Mute’s Soliloquy (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu). Novel itu
menceritakan pengalaman memilukan Pak Pram dan para tahanan politik lainnya di
Pulau Buru. Banyak di antara mereka yang mati kelaparan, menderita penyakit
beri-beri, diperintah kerja paksa menanam pohon dan mengolah sawah, disuruh menggali
makamnya sendiri sebelum ditembak di tepi liang kuburnya. Yang sangat menyedihkan,
banyak diantara para tapol yang dituduh sebagai anggota PKI tanpa dibuktikan di
pengadilan apakah benar mereka adalah PKI.
Novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langka, dan
Rumah Kaca adalah tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer yang dilarang beredar
pada zaman Orde Baru. Sanjay geram pada pemerintah Orba yang melarang peredaran
buku-buku itu. Ketika mendengar berita bahwa Presiden Suharto lengser pada 21
Mei 1998, ia segera menelpon saya untuk mengucapkan selamat karena Indonesia
punya Presiden baru.
Saya pernah membaca novel Bumi Manusia, tapi yang paling mengesankan
bagi saya adalah Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Sejak alinea pertama Nyanyi Sunyi
sungguh menyentuh. Pak Pram menceritakan bagaimana ia harus berpisah dengan
anak perempuannya, sebab ia dipindah dari penjara Salemba ke pulau
Nusakambangan. Ini sedikit cuplikan tulisan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang
ditujukan Pak Pram kepada anaknya:
“Tentu saja kau tahu, tak ada keberatan padaku kau memilih
seorang suami untuk dirimu sendiri. Juga aku percaya, kau akan tetap ingat
pesanku pada calon suamimu sebelum kau menikah di depanku: Anak ini, anakku
yang pertama, anak yang aku sayangi. Dahulu neneknya berharap ia jadi dokter,
ternyata ia akan menjabat jadi istrimu. Jadi setelah nanti sebentar kalian
menikah, jangan sekali-sekali anakku dilarang atau dihalangi kalau ia mau
meneruskan pelajarannya. Kedua, tidak aku izinkan anakku dipukul atau disakiti.
Ketiga, anak ini kau pinta padaku untuk diperistri secara baik-baik, kalau
karena sesuatu hal kau tidak menyukainya lagi, kembalikan pula ia secara
baik-baik padaku...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar