Pada zaman
Orde Baru tidak ada media massa yang berani mengritik Presiden Suharto. Bahkan
tulisan yang isinya kritik halus atau sindiran hampir tidak ada media massa
yang berani memuatnya. Kalau tulisan berisi kritik terhadap Pemerintah muncul
di majalah dan koran, maka media yang memuatnya akan dicabut Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers-nya. Kalau SIUPP sudah dicabut atau dibredel, maka semua karyawan di perusahaan pers itu akan kehilangan pekerjaan.
Pada zaman
Orba Menteri Penerangan Harmoko banyak membredel surat kabar dan majalah
beroplah besar, di antaranya harian Indonesia Raya, Sinar Harapan, Media
Indonesia, majalah Tempo, majalah Editor, tabloid Prioritas, tabloid Detik. Kebebasan
Pers hampir tidak ada pada zaman itu. TVRI adalah satu-satunya stasiun televisi
dan itu dipakai sebagai corong suara Pemerintah. Setiap kegiatan Presiden
Suharto wajib diliput TVRI dan dimuat di halaman pertama koran-koran, termasuk
Kompas. Tidak ada media massa yang berani menolak kewajiban meliput acara
Presiden Suharto. Kalau menolak akan mendapat peringatan keras dari Departemen
Penerangan.
Harian Kompas beroplah terbanyak di Indonesia ini memiliki
banyak pegawai yang mata pencahariannya tergantung pada keberlangsungan
terbitnya koran ini. Agen dan loper koran pun mendapat keuntungan dari
penerbitan harian ini. Ini membuat harian yang lahir pada 28 Juni 1965 ini semakin
berhati-hati dalam tulisannya. Tapi bukan berarti koran Kompas bungkam terhadap
sepak terjang Pemerintah. Harian ini tetap menyampaikan kritiknya melalui karya-karya
karikatur Gerardus Mayola Sudarta berjudul Oom Pasikom yang terbit seminggu
sekali.
Oom Pasikom merupakan pengulangan berkali-kali dari nama
surat kabar Kompas: Si Kompas, Si Kompas, hingga ditemukan penggalan Pasikom. Oom Pasikom digambar oleh G.M Sudarta
sebagai figur yang selalu berjas dengan tambalan pada bagian sikut, bertopi,
dan berwajah bulat.
Karikatur Oom
Pasikom mengritik dengan gambar yang lucu, tapi sindirannya tetap tajam menyengat. Banyak kritik disampaikan G.M
Sudarta melalui Oom Pasikom yang sulit bagi Pemerintah Orba untuk
membredel harian Kompas karena kritiknya
berupa sindiran berbentuk gambar yang lucu. “Dengan kartun kita berteriak dalam bisikan bahwa ada yang
perlu diperbaiki sebelum kita terlambat.” Itu kutipan Prof Yasuo Yoshitomi,
guru besar Kyoto Seiko University yang dianut G.M Sudarta.
Karikaturis
yang lebih suka disebut kartunis ini bekerja di harian Kompas sejak 1967. Ia lahir di Klaten pada 20 Septermber 1945 dan
meninggal pada 30 Juni 2018. Selain menggambar Oom Pasikom, ia juga melukis
dengan cat minyak di atas kanvas. Wanita berambut panjang yang sering
dijadikannya model lukisan kemudian dinikahinya. Pasangan ini memperoleh anak
kembar. "Istri saya selalu mengeringkan rambut panjangnya dengan asap wangi dari rempah yang dibakar," cerita G.M Sudarta kepada saya pada 1995. Dari istri sebelumnya pria yang selalu berbusana serba hitam ini tidak
mendapatkan keturunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar