Gubernur Ali Sadikin menceritakan sejarah TIM dan DKJ dalam
biografinya yang ditulis oleh Ramadhan
K.H:
Pada suatu pagi datang Ilen Surianegara. Istrinya, Tating, kenalan baik istri saya.
Ilen datang bersama dua seniman lainnya, Ajip Rosidi dan Ramadhan K.H. yang
baru saya kenal. Mereka membawa gulungan kertas. Ternyata kertas itu
mencantumkan satu bagan mengenai apa yang dicita-citakan oleh para seniman.
Kata mereka, itu konsep dari pelukis Oesman Effendi. Saya bertanya ke mana
seniman-seniman yang dulu suka berkumpul di Senen.
“Mereka sudah tidak berkumpul lagi,” jawab Ajip. Padahal
kesempatan berkumpul itu mereka butuhkan. Tapi bagaimana? Di mana?
Kami lalu membicarakan mengenai kebutuhan untuk menghidupkan
kesenian di tengah kesibukan ibu kota yang mulai gemuruh dengan pembangunan,
industri, perdagangan, pariwisata. Saya bisa memahami kebutuhan seniman. Di
luar negeri pun kesenian diberi kesempatan untuk hidup dan berkembang. Tidak
baik sebuah kota jika hanya diliputi kesibukan kehidupan industri, perdagangan,
dan jasa. Kehidupan kota akan gersang jika rohani tidak dikembangkan. Kesenian mesti
hidup, tumbuh, dan berkembang.
Saya mengajak para seniman Jakarta untuk berkumpul dan
berbicara. Terserah para seniman untuk membentuk satu lembaga jika memang
mereka menginginkannya. Saya cuma akan memberi jalan kepada mereka. Artinya, Gubernur
akan memberikan fasilitas, akan memberikan bantuan biaya. Tapi Gubernur tidak
akan ikut campur dalam masalah keseniannya. Soal artistik, biarlah seniman
membereskan dan menilainya sendiri. Pemerintah tidak boleh ikut campur menentukan.
Biarlah para seniman itu bebas. Biar mereka merdeka mencipta. Biar mereka
berkembang dengan segala khayal dan angan-angannya.
Para seniman kemudian membentuk formatur, antara lain
Mochtar Lubis, Asrul Sani, Usmar Ismail, Gayus Siagian, Jayakusuma, Pirngadi, Zulharmans,
untuk menyusun Dewan Kesenian Jakarta. Pada 7 Juni 1968 saya melantik Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) terdiri atas 25 orang. Ketuanya Trisno Sumardjo. Para seniman sendiri yang memilih para
anggota DKJ. Saya tidak ikut campur. Saya
tantang para seniman itu. Saya cambuk mereka. Saya dorong mereka untuk mengisi
kebebasan mereka. Sampai akhir jabatan saya, saya konsekuen, pemerintah tidak
ikut campur soal konsep kesenian. Pemerintah hanya menyediakan dana. Di luar
itu para seniman sendiri yang harus mengatur dan mengisi kegiatan kesenian itu.
Saya suka berdebat dengan seniman, seperti dengan Wahyu Sihombing atau Ajip
Rosidi, tapi saya tak pernah memaksakan kehendak saya.
Menurut saya, tidak semua kegiatan mesti menghasilkan uang
melainkan ada juga kegiatan atau lembaga yang memang tidak akan bisa menghasilkan uang tapi penting
untuk dibina dan diberi dana. Prinsipnya, pihak yang bisa menghasilkan uang agar
membina lembaga atau kegiatan yang tidak bisa menghasilkan uang tapi penting untuk
dibina. Di dalam kehidupan masyarakat tidak semua sektor harus bisa
menghasilkan uang. Ada sektor-sektor yang tidak bisa menghasilkan uang tapi
penting untuk dibina, karena nyata merupakan kebutuhan dalam masyarakat. Seni
perlu dibangun untuk memajukan bangsa. Kemajuan bangsa tidak cukup hanya dengan
segi fisiknya, melainkan juga cukup dengan segi rohaniahnya, termasuk seni.
Saya kemudian membangun Pusat Kesenian Jakarta yang kemudian
dinamakan Taman Ismail Marzuki untuk penghargaan kepada almarhum Ismail
Marzuki, putra Betawi, komponis, dan pejuang kemerdekaan. Tempatnya di areal
seluas delapan hektare bekas kebun binatang di Jl. Cikini Raya, Jakarta.
Kendaraan umum dari berbagai arah banyak lewat di sana. Itu sebabnya saya pilih
tempat itu agar bisa dicapai dan memudahkan banyak orang. Saya ingin
menghidupkan TIM dengan DKJ-nya dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini
menjadi IKJ).
Pada waktu saya mendirikan bangunan-bangunan untuk pameran
dan pertunjukan di TIM itu, sudah ada bangunan Planetarium sejak 1966.
Planetarium terbengkalai karena Pemerintah Pusat tidak ada dana untuk
melanjutkan pembangunannya. Saya lanjutkan pembangunan Planetarium.
TIM diresmikan pada 10 November 1968 dengan pertunjukan kesenian
yang dinamakan Pesta Seni Jakarta. Pesta kesenian berlangsung tujuh hari, diisi
dengan acara drama, gending karesmen Sunda, pameran dokumentasi kesusastraan
Indonesia, pameran lukisan anak-anak, konser dengan solis Irawati Sudiarso dan
Rudy Laban oleh Orkes Simfoni Jakarta di bawah pimpinan Adidharma. Ada tari
balet, ada pantomim dari Jerman, ada diskusi soal bahasa Indonesia, ada lenong
Nyai Dasima, dan tarian Tapanuli.
Sumber: buku biografi Bang Ali Demi Jakarta 1966 – 1977 oleh
Ramadhan KH