Soetaryo Sigit (1929 – 2014) adalah sarjana geologi pertama
di Indonesia dan salah seorang tokoh penting pertambangan Indonesia. Ia lulus dari jurusan Geologi FIPIA UI
(kemudian menjadi ITB) pada 1956. Ia menjadi Kepala Jawatan Geologi pada 1958
kemudian bekerja di Departemen Pertambangan sebagai Sekretaris Jenderal (1973 – 1983) dan
Direktorat Jenderal Pertambangan Umum (1983 – 1989) di bawah Menteri Sadli dan
Menteri Subroto.
Di Departemen Pertambangan Sigit dihadapkan pada situasi
rumit. Di satu sisi nasionalisme tidak boleh dikorbankan. Tapi di sisi lain isi
perut bumi Nusantara hanya bisa bermanfaat bagi rakyat bila dikeluarkan. Untuk mengeluarkan
isi perut bumi dibutuhkan 5 M (men, money, method, machine, material). Pada 1960an Indonesia belum mampu untuk menambang sendiri,
masih membutuhkan pihak asing untuk melaksanakannya. Tarik ulur antara
nasionalisme dan pemodal asing terus terjadi di berbagai negara pemilik tambang
di dunia. Pertambangan Indonesia semakin sulit karena gangguan keamanan dan
pemberontakan meletus di pelbagai daerah. Keberhasilan usaha pengembangan
sumber daya mineral lebih banyak ditentukan oleh kemantapan situasi politik dan
iklim usaha, bukan hanya oleh kekayaan mineral.
Pada
1965 investasi dan produksi benar-benar lumpuh. Pergolakan politik pada 1965
melahirkan pemerintah Orde Baru. Pemerintah Indonesia bangkrut pada 1966 dan
sangat membutuhkan sumber keuangan dan investasi untuk meningkatkan ekonomi dan
kesejahteraan rakyat. Terjadi reformasi besar-besaran di bidang ekonomi pada
era Orba. Bila Presiden Soekarno menutup diri dari modal asing, sebaliknya pada zaman Presiden
Suharto pintu bagi investor asing dibuka lebar.
Pada
10 Januari 1967 terbit UU Nomor 1 tentang Penanaman Modal Asing. Soetaryo Sigit
menjadi Ketua Panitia Penyusunan Naskah RUU Pertambangan Indonesia. Pada 2
Desember 1967 terbitlah Undang-undang Nomor 11 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertambangan. Dengan demikian Indonesia memiliki produk hukum pertambangan
yang siap untuk menyambut masuknya investor
pertambangan internasional ke Indonesia.
Perjuangan Sigit dalam
merancang, melakukan sosialisasi dan mempromosikan undang-undang baru itu kepada kalangan
investor, tentu bukan hal yang mudah. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 dibuat
dengan harapan akan dapat diterima oleh kalangan pertambangan internasional. Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1967 ini juga mengacu
pada pasal 33 UUD 1945. Artinya,
cadangan kekayaan alam di perut bumi bukan milik investor. Tetapi investor
harus diberi jaminan jangka panjang bahwa modal besar yang ditanamnya bisa
memberi keuntungan. Jalan tengahnya adalah Kontrak Karya di mana perusahaan
asing hanya Kontraktor bagi pemerintah. Tapi kontraktor asing mendapat
kepastian hukum, karena Kontrak Karya dilindungi Undang-undang Penanaman Modal
Asing 1967.
Di puncak Monas, 19 Oktober 2016 |
Sigit menjadi Ketua
Panitia Teknis Perundingan Kerjasama Luar Negeri sektor pertambangan dan
konseptor Kontrak Karya untuk
perusahaan-perusahaan pertambangan asing di Indonesia. Puluhan Kontrak
Karya yang dihasilkannya. Dalam konsep Kontrak Karya disebutkan pemerintah
Indonesia tetap menjadi pemilik (Principal) dan perusahaan pertambangan asing
sebagai Kontraktor (bukan pemilik).
Perusahaan-perusahaan pertambangan asing diwajibkan memberi
kesejahteraan bagi penduduk lokal, mempekerjakan penduduk lokal, meminimalisir
kerusakan lingkungan hidup, dan melestarikan kembali lingkungan hidup setelah
penambangan selesai.
Ia juga mengembangkan produksi
batubara Indonesia. Pada
waktu itu Indonesia belum cukup modal dan belum mampu mengembangkan
usaha pertambangan skala besar. Pada 1978 Departemen Pertambangan dan Energi
mengundang para penanam modal asing untuk melaksanakan eksplorasi dan
pengembangan batubara di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Atas jasa-jasanya di dunia
pertambangan, Soetaryo Sigit mendapat
gelar Doktor Honoris Causa dari ITB. Ia sering diundang ke berbagai negara
untuk menceritakan bagaimana
keberhasilan Indonseia menarik investor asing tanpa mengorbankan nasionalismenya. Sigit mendapat beberapa bintang jasa dari Pemerintah
Indonesia dan penghargaan dari mancanegara. Ia juga pernah menjadi Komisaris
Utama PT Tambang Batubara Bukit Asam, Dewan Penasehat Indonesian Mining
Association, Komisaris PT INCO, dan PT Adaro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar