“Tahun 1964 – 1966, dua tahun empat
bulan lamanya Ayah ditahan atas perintah Presiden Soekarno. Ayah dituduh
melanggar Undang-undang Anti Subversif Pempres No. 11 yaitu merencanakan
pembunuhan Presiden Soekarno. Tidak hanya itu, karangan-karangan Ayah pun dilarang
terbit dan beredar,” tulis Irfan Hamka dalam buku ‘Ayah’. Presiden Soekarno
memisahkan ulama itu dari anak, istri, dan cucu-cucunya. Meski demikian Buya
Hamka memaafkan dan mengimami shalat jenazah Soekarno. Ia mengenang Soekarno seperti ini:
Bung Karno adalah orang besar! Itu sudah pasti! Sebagai
seorang manusia besar, jelaslah siapa Bung Karno. Jelas dalam kebaikannya,
jelas dalam keburukannya. Jelas dalam tindakannya yang benar, jelas dalam
tindakannya yang salah. Jelas dalam jasa, jelas dalam dosa.
Orang besar dimuliakan setinggi langit atau dihinakan ke
kerak bumi. Apabila salah satu tonggak kemuliaan runtuh, maka runtuhlah
kebesaran. Tetapi pada hari kematian, jelaslah kebesaran itu. Sejak masa muda
remaja, pada usia 18, Bung Karno telah ditumbuhkan Tuhan untuk membangkitkan
kesadaran bangsanya, melanjutkan apa yang telah dimulai gurunya, HOS
Tjokroaminoto. Seluruh kasih sayangnya, sejak muda sampai tua, telah dikorbankannya untuk membina bangsa
Indonesia. Bung Karno telah menggembleng semangat kita dan membina kesatuan
kita.
Bung Karno mendirikan PNI pada 1927, ditangkap pada Desember 1929
lalu dimasukkan ke penjara Banceuy dan Sukamiskin di Bandung. Pada usia 29
tahun Bung Karno telah berhadapan dengan hakim kolonial karena dituduh hendak
memberontak. Bung Karno lalu ditahan empat tahun tetapi dipotong menjadi dua
tahun. Karena masih dipandang berbahaya, Bung Karno lalu diasingkan ke Ende,
Flores. Menderita Bung Karno di sana selama empat tahun.
Masih dipandang berbahaya, Bung Karno dipindahkan ke
Bengkulu, akhirnya ke Padang kemudian ke Bangka Belitung. Menderita Bung Karno
di sana empat tahun. Artinya, lebih dari sepuluh tahun Bung Karno dipisahkan
dari bangsa yang amat dicintainya. Penjajah menyangka, dengan memisahkan itu
hilanglah Bung Karno dari hati orang! Tidak! Makin Bung Karno dijauhkan, Bung
Karno tambah dekat di hati. Bung Karno tidak henti-hentinya menggembleng
bangsanya.
Dua puluh dua tahun lamanya Bung Karno memegang kendali
negara ini. Banyak karang dan batu. Banyak topan dan badai. Mulanya selamat
dilaluinya. Kita selalu menyaksikan kekuatannya, di samping kelemahannya
sebagai insan. Meski saya bukan politisi, saya sahabat lama Bung Karno. Saya
mengagumi Bung Karno karena kepemimpinannya. Bung Karno mengagumi saya karena
pendirian agama saya. Karena perbedaan faham, saya terpaksa menjauh.
Pada Minggu pagi 21 Juni 1970 Oei Tjing Hien, sahabat saya
dan Bung Karno, mengabarkan bahwa Bung
Karno meninggal. Saya menitikkan air
mata dan lupa bahwa hampir sepuluh tahun saya menjadi orang yang paling
dibencinya. Mengapa hilang dari ingatan saya bahwa saya pernah ditahannya,
dipisahkan dari istri, anak-anak, dan cucu-cucu dengan tuduhan palsu, yakni tuduhan
hendak membunuh Bung Karno!
Saya terkenang masa-masa lalu, semasa persahabatan belum
dikeruhi politik. Saya terkenang pada April 1944 ketika saya hendak kembali ke
Medan, meninggalkan Ayah di Jakarta. Terharu melihat beliau tertatih-tatih
mengantar saya ke stasiun Tanah Abang bersama Bung Karno.
“Ini ayah kita, Bung. Bung pengganti saya,” pesan saya kepada
Bung Karno.
“Jangan khawatir, berangkatlah,” jawabnya.
Setelah mendapat kabar Bung Karno meninggal, saya spontan
berkata: “Saudara Oei, saya ingin ikut menyembahyangkan. Ingatkah ketika kita
bertemu bertiga di Bengkulu pada 1941? Kita berfoto bertiga untuk
kenang-kenangan. Dan bertahun setelah itu, sampai politiknya berubah, hubungan
kita tetap mesra dengan Bung Karno.”
Tiba-tiba datang surat resmi dari
Sekretariat Negara yang menetapkan Prof. Dr. Buya HAMKA sebagai imam shalat
jenazah Bung Karno. Suatu keajaiban Allah! Memang Bung Karno pernah berpesan kepada
kepada keluarganya: “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi
imam salat jenazahku.” Buya memenuhi amanat itu tanpa berpikir panjang bahwa ia
pernah dipenjara Presiden Soekarno.
Setelah shalat jenazah, Buya berbisik di telinga almarhum:
“Aku telah doakan supaya Allah mengampuni dosamu. Aku percaya pada janji Allah,
walaupun timbunan dosa sampai ke langit, asal memohon ampun dengan tulus, akan
diampuniNya. Juga dosamu kepadaku telah kumaafkan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar