Pak Samsuri adalah sopir bajaj langganan saya. Saya sering
meneleponnya untuk minta dijemput dan diantar pulang. Ia selalu datang tepat
waktu, ramah, dan rajin membersihkan bajaj-nya meski bukan miliknya.Setiap
sepuluh hari ia menyetor uang kepada
pemilik bajaj sebesar Rp 800.000,-. “Padahal setiap hari penghasilan saya rata-rata hanya 50 ribu. Kadang-kadang
gak ada penumpang dalam sehari. Tapi pernah juga dapat 200 ribu sehari. Saya
sering utang kepada juragan saya,” katanya.
Samsuri berusia 61 tahun, pernah menjadi tukang becak
pada 1973 sampai 1980. Becaknya biasa mangkal di Jalan Asem, Cipete,
Jakarta, dan di Puskesmas Cipete. “Saya harus setor kepada juragan becak Rp 50
sehari. Lama kelamaan naik menjadi Rp 75 sehari. Penghasilan saya narik becak sekitar
Rp 200 sampai seribu sehari,” katanya.
Setelah becak dilarang beroperasi di Jakarta, ia menjadi penjual bakso keliling, penjual
soto mie, dan pengebor sumur. Kemudian ia belajar mengemudikan angkot dengan
gratis. Tetangga di kampungnya di Tegal yang menjadi sopir angkot di
Jakarta mengajarinya menyetir. “Tetangga saya sudah almarhum sekarang. Saya selalu
ingat kebaikannya. Saya bisa jadi sopir karena dia,” cerita Samsuri.
Samsuri menjadi sopir pribadi. Setelah majikannya meninggal,
ia menjadi sopir bus Kopaja jurusan Depok – Blok M. Memiliki enam anak,
penghasilannya sebagai sopir bus tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ia kemudian beralih menjadi sopir bajaj pada 1998.
“Saya gak takut bersaing dengan tukang becak kalau mereka
datang ke Jakarta. Mereka dengan sendirinya akan berhenti jadi tukang becak,
karena banyak saingan. Jadi sopir bajaj aja susah ngejar uang setoran, apalagi
kalau jadi tukang becak.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar