Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker pada
novelnya yang berjudul Max Havelaar. Ia lahir di Amsterdam dan menjadi Asisten
Residen di Lebak pada Januari sampai April 1856. Novel itu berkisah tentang kekejaman
pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat jajahannya. Ia mengamati penderitaan
rakyat Lebak dalam masa tanam paksa (cultuurstelsel).
Sistem tanam paksa diberlakukan penjajah Belanda pada 1830. Dalam
sistem tanam paksa setiap desa wajib menyisihkan tanahnya untuk ditanami
komoditi ekspor. Hasil-hasil pertanian penduduk dipungut Belanda untuk menolong
keuangan Belanda. Perang Diponegoro (1825 -1830) menelan banyak biaya sehingga
Belanda mengalami defisit keuangan. Kondisi keuangan Belanda makin parah karena
Perang Belgia yang membuat Belgia memisahkan diri dari Belanda (1830). Selain
itu VOC (perusahaan perdagangan Belanda yang kemudian bangkrut dan diambil alih
pemerintah Belanda) meninggalkan banyak utang. Sistem tanam paksa ini memberi keuntungan
luar biasa sehingga dapat menutup semua utang VOC dan membuat perekonomian
Belanda stabil.
Raden Adipati Karta Natanagara
menjad Bupati Lebak pada 1830 -1865. Makamnya di belakang
masjid raya di dekat alun-alun Rangkasbitung, tak jauh dari museum Multatuli.
Dalam novel Max Havelaar Bupati ini digambarkan sebagai tokoh feodalistik yang
menindas rakyat. Rakyat di Lebak sangat miskin, sedangkan Bupati mereka
bergelimang kemewahan. Bahkan menantunya, Demang Raden Wirakusuma, kerap kasar
dan memeras warga. Perilaku serakah mereka melebihi penjajah.
Eduard Douwes
Dekker marah melihat ketidak adilan di Lebak. Novelnya
yang berlatar budaya feodal dan masyarakat miskin di Lebak ini memberi
perubahan besar. Di Belanda novel ini memberi kesadaran mengenai tindakan-tindakan
pemerintah mereka yang menyengsarakan negeri jajahannya. Akhirnya penjajah
Belanda menghapuskan Cultuurstelsel pada 1870. Nama Multatuli
diabadikan menjadi nama jalan raya utama menuju kawasan alun-alun di
Rangkasbitung, provinsi Banten.
Patung karya Dolorosa Sinaga |
Pada 1899 Van Deventer menulis artikel di De Gids yang berjudul Een
Eerschuld (Utang Budi). Ia menilai Belanda berutang budi pada rakyat jajahannya
yang telah bekerja keras demi kemakmuran Belanda. Sementara Brooshooft,
pemimpin redaksi De Locomotief di Semarang, menyuarakan pentingnya pemerintah
kolonial menjalankan kewajiban moral bagi bumiputera di Hindia Belanda.
Selanjutnya makin banyak gerakan kaum Etis agar Belanda memberi keadilan bagi
rakyat jajahan. Pada Januari 1901 Ratu Wilhelmina mengesahkan politik Etis sebagai kebijakan resmi pemerintah Belanda di Hindia Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar