Para perempuan priayi dan perempuan keluarga keraton di Jawa
Tengah selatan sudah menikmati kesempatan bertindak dan mengambil inisiatif
pribadi sebelum RA Kartini lahir. Peran
mereka lebih luas daripada para perempuan yang hidup pada akhir abad ke-19, pada
zaman Raden Ajeng Kartini (1879 – 1904). Jejak mereka bahkan menembus bidang
militer dan politik.
Pada zaman Pakubuwono V (1820 – 1823) ada Korps Srikandi
Surakarta. Empat puluh perempuan dengan sebilah keris diselipkan di ikat
pinggang mereka, masing-masing memegang pedang atau senapan. Mereka duduk
berbaris di bawah takhta Sunan. Mereka adalah pasukan kawal yang mengagumkan.
Raden Ayu Yudokusumo adalah putri Sultan Hamengkubuwono
Pertama. Ia adalah salah satu dari beberapa panglima kavaleri senior Pangeran
Diponegoro. Perempuan ahli siasat ini
kemudian bergabung dengan Raden Tumenggung Sosrodilogo di Jipang Rajegwesi
melawan Belanda pada 28 November 1827 sampai 9 Maret 1828. Ketika ia dan
Sosrodilogo menyerah kepada Belanda pada Oktober 1828 ia bersama keluarga
besarnya menggunduli rambutnya sebagai lambang kesetiaan pada perang sabil
melawan kafir Belanda dan orang Jawa ‘murtad’ sekutu Belanda.
Peran perempuan di bidang bisnis sangat penting. Ratu
Kencono Wulan (1780 – 1859), istri ke-tiga Sultan Hamengku Buwono II, berasal
dari keluarga kelas bawah, pemilik kios di pasar Beringharjo. Sang Ratu menjelma
menjadi first lady yang sangat rakus.
Ia memanfaatkan posisinya untuk meminta bagian dari keuntungan setiap proyek.
Dalam sistem pendidikan Barat anak keraton ‘dipinjamkan’ kepada keluarga
Indo-Belanda untuk membentuk karakter dan memberi pengetahuan kepada anak itu. Anak tidak lagi
diasuh oleh perempuan yang lebih tua di
kerajaan. Sistem pendidikan Barat ini merusak pengaruh perempuan keraton dan masyarakat
Jawa pada umumnya. Kolonialisme dan Islam memengaruhi pola asuh seperti ini.
Sejarawan asal Inggris Peter Carey dan Vincent
Houben menceritakannya dalam buku karyanya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar