Presiden Soekarno berbincang dengan pematung Edhi Sunarso di
teras belakang Istana Negara pada suatu hari. Hubungan mereka cukup dekat. Edhi
adalah juara ke-dua kompetisi pematung kelas dunia di London pada 1953.
“Dhi, saya mau membuat patung Dirgantara untuk menghormati
para pahlawan penerbang Indonesia. Kau tau kalau bangsa Amerika, bangsa Soviet,
bisa bangga pada industri pesawatnya. Indonesia, apa yang bisa kita banggakan?
Keberaniannya!” kata Presiden.“Kita memang belum bisa membuat pesawat terbang,
tetapi kita punya pahlawan kedirgantaraan Indonesia yang gagah berani. Kalau
Amerika dan Soviet bisa membanggakan dirinya karena punya industri pesawat,
kita juga harus punya kebanggaan. Jiwa patriotisme itulah kebanggaan kita!
Karena itu saya ingin membuat sebuah monumen manusia Indonesia yang sedang
terbang dengan gagah berani, untuk menggambarkan keberanian bangsa Indonesia.
Kalau dalam tokoh pewayangan seperti Gatotkaca yang sedang menjejak di bumi.”
Ketika mendengar permintaan Presiden, Edhi Sunarso sebenarnya
ragu karena ia belum pernah membuat patung dari bahan perunggu. Presiden
memahami gestur keraguan Edhi. Presiden kemudian menegaskan:“Hei, Dhi. Kamu
punya rasa bangga berbangsa dan bernegara atau tidak? Apa perlu saya menyuruh
seniman luar untuk mengerjakan monumen dalam negeri sendiri? Saya tidak mau kau
coba-coba. Kau harus sanggup!”
Edhi diberi waktu
seminggu untuk mempertimbangkannya. Setelah tenggat waktu itu Edhi
menyanggupinya. Patung Dirgantara dirancang Edhi Sunarso pada 1964 – 1965. Tahap
pertama Edhi harus menyajikan rancangannya dalam bentuk model dari gypsum. Presiden Soekarno yang menjadi modelnya. Sebelum maket patung dikerjakan
Edhi Sunarso, Presiden Soekarno berulang kali memperagakan bagaimana model
patungnya harus berdiri. Kemudian Edhi
menyebutkan: ia ingin menambahkan satu pesawat dengan posisi digenggam oleh patung
Dirgantara. Tetapi Presiden Soekarno tidak setuju karena pesawat itu seperti
mainan anak-anak.
Patung Manusia Angkasa itu bernama Gatotkaca
Mental Bentolo. Proses pengerjaannya diawasi langsung oleh Presiden Soekarno. Berat patung perunggu itu mencapai 11 ton, tinggi
sosok patung 11 meter, tinggi pedestal lengkungnya 27 meter. Edhi mampu menerjemahkan semangat zamannya.
Patung-patungnya hadir dengan barik kasar, menyiratkan gelora dan membakar
semangat. Patung Dirgantara ini diletakkan di Jalan Jenderal Gatot Subroto, berseberangan dengan Wisma Aldiron Dirgantara yang
dulunya adalah Mabes TNI AU. Patung ini
menghadap ke arah Tebet dan lebih dikenal sebagai patung Pancoran.
Biaya pembuatan patung ini Rp 12 juta
pada 1964. Biaya awal ditanggung oleh sang pematung Edhi Sunarso. Pemerintah
hanya membayar lima juta rupiah. Untuk menutupi kekurangannya Presiden Soekarno
menjual mobil pribadinya seharga satu juta rupiah. Kekurangan enam juta rupiah
masih menjadi utang Pemerintah. Pembuatan patung ini sempat tersendat karena
peristiwa G 30 S pada 1965.
Karya Edhi Sunarso lainnya adalah patung Selamat Datang di
bundaran Hotel Indonesia dan patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng.
Ide Presiden Soekarno membangun patung-patung itu untuk mengingatkan pada
peristiwa penting bagi bangsa Indonesia. Patung ‘Selamat Datang’ yang dibangun
pada 1962 dibuat dalam rangka Asian Games.
Patung ‘Pembebasan Irian Barat’ yang dibangun pada 1963 mengingatkan
pada peristiwa sejarah memperjuangkan pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda.
Irian Barat kini bernama Papua.
Patung ‘Dirgantara’
dibangun untuk penghargaan kepada Angkatan Udara RI dengan harapan kita akan mampu
menguasai dirgantara seperti bangsa-bangsa maju di dunia. Monumen ini tak sempat diresmikan Presiden Soekarno karena beliau sakit
kemudian wafat pada 21 Juni 1970.
Sumber: Buku ‘Konservasi Patung Dirgantara’ oleh Pusat
Konservasi Cagar Budaya Pemprov DKI Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar