Pada abad ke-16 VOC mendatangkan orang-orang Bugis, Bali,
Ambon, Banda, dan terutama Tionghoa ke Batavia untuk menjadi tenaga kerja
mereka. Di Batavia kemudian terbentuk kampung Bugis, kampung Ambon, kampung
Bali, kampung Makassar, dan sebagainya. India Muslim dan Arab tinggal di
kampung Pekojan. Pergaulan antar etnis di Batavia membuat budaya mereka saling
memengaruhi.
Etnis Betawi cukup
banyak dipengaruhi budaya Tionghoa, sebaliknya Tionghoa peranakan dipengaruhi
budaya Betawi. Begitu dekatnya interaksi budaya kedua etnis ini sampai muncul selorohan orang Betawi: “Betawi
amé Ciné ubungannyé kayé gigi amé bibir ajé.” Orang Betawi belajar silat dari Tionghoa. Cara orang
Betawi memperkenalkan diri mirip Tionghoa, cara mereka duduk dan bercakap-cakap
juga sama dengan Tionghoa yaitu duduk di kursi dan memakai meja, bukan duduk di
hamparan tikar.
Ada beberapa istilah
yang memakai bahasa Tionghoa Hokkian selatan, seperti: gua, lu, seceng (seribu),
cabo (perempuan), kongko (mengobrol), teko, kuaci, dipan, kemoceng, anglo,
mangkok, dan sebagainya. Di bidang kuliner juga ada yang berasal dari Tionghoa
seperti kecap (dari kata ke-chiap), mie, bihun, kuetiau, somay, bakso, capcay,
tahu, toge, tauco, kucai, juhi, ebi, tepung hunkue, lokio, lumpia,dan
sebagainya.
Pengaruh budaya Tionghoa terasa pula dalam pernikahan
tradisi Betawi. Di wilayah Jabodetabek suatau pernikahan ala Betawi kurang
lengkap bila tanpa bunyi serangkai petasan pada waktu pengantin pria berangkat
dari rumah orangtuanya. Bunyi petasan ini merupakan pengaruh budaya Tionghoa.
Begitu pula pesilat berseragam yang membawa senjata khas Tionghoa berupa
tongkat panjang. Para pesilat ini bertugas mengarak pengantin.
Pakaian perempuan Betawi sama seperti pakaian pengantin
perempuan tradisi Tionghoa peranakan. Aksesori pengantin ala Putri Cina terdiri
atas serangkaian tusuk konde berornamen bunga dan dapat bergoyang mengikuti
gerakan kepala pengantin sehingga dikenal dengan sebutan Kembang Goyang. Diantaranya terdapat empat batang tusuk konde
yang panjang yang dinamakan tusuk konde Burung Hong. Ada penutup wajah
pengantin perempuan yang disebut Siangko. Baju pengantin berpotongan Mancu
disebut baju Tuaki dan bagian bawahnya berupa rok lipit disebut Kun. Di bagian
punggung, bahu, dan dada pengantin perempuan terdapat aksesori yang disebut
terate.
Kalau datang ke perkawinan para tamu akan memberikan angpau
yaitu amplop bergaris merah berisi uang kepada tuan atau nyonya rumah. Para
pria Betawi biasanya memakai baju koko dengan padanan celana batik dan sarung
yang diselempangkan di leher. Para
perempuan memakai kebaya nyonya. Kebaya
ini merupakan pengaruh tidak langsung orang Tionghoa peranakan terhadap kaum
Betawi, meski asalnya dari kaum Belanda peranakan (Indo). Kebaya ini kemudian
diadaptasi dan dimodifikasi kaum Tionghoa peranakan (Nyonya).
Jika kebaya kaum Indo hanya berwarna putih dengan pinggiran
berenda indah, maka kebaya perempuan Tionghoa peranakan lama kelamaan tidak lagi
berwarna putih dan berenda namun diberi bordir (sulaman) benang warna-warni.
Bermacam motif dekoratif disulamkan di sini, mulai dari aneka flora, kupu-kupu,
burung, dan lain-lain.
Jika kebaya Indo memiliki ujung rata, kebaya nyonya dibuat
menjadi sonday (meruncing). Ujung sonday inilah yang kemudian menjadi ciri khas
kebaya nyonya peranakan yang kemudian popular dengan sebutan kebaya encim. Selanjutnya
kebaya encim dikenakan perempuan Betawi
dan menjadi dress code dalam berbagai event bernuansa budaya Betawi. Tapi kebaya
nyonya yang diadopsi orang Betawi sama sekali tidak menampilkan bentuk hiasan seperti
udang, ikan, rusa, kupu-kupu, dan burung.
Menjelang Sincia (tahun baru Imlek) di kalangan peranakan di
Jakarta ada kebiasaan turun temurun mengantarkan ikan bandeng dan kue keranjang
untuk mertua atau calon mertua. Ini diangap tindakan yang tahu adat.Tak jarang
ikatan pertunangan dinyatakan putus
karena sang calon menantu tidak tahu adat, tidak mengerti kewajibannya
mengantar ikan bandeng dan kue keranjang kepada calon mertua. Kebiasaan ini
masih dilakukan di kalangan Betawi dengan membelinya di pasar ikan bandeng di
Rawabelong, Jakarta Barat, yang ramai menjelang Sincia.
Sumber: buku Tionghoa dalam Keindonesiaan Jilid II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar