Ratih Poeradisastra dan Peter Carey |
Peter Carey adalah sejarawan asal Inggris yang telah lebih
dari tiga puluh tahun meneliti mengenai Perang Diponegoro atau dikenal dengan
nama Perang Jawa. Ia menulis biografi Sang Pangeran berjudul ‘Takdir. Riwayat Pangeran
Diponegoro’. Ia penah mengajar di
universitas Oxford dan kini mengajar di Fakultas Ilmu Budaya UI.
Saya pertama kali berkenalan dengan Peter Carey di kantor
penerbit Kompas Gramedia ketika saya mengurus penerbitan biografi Soetaryo
Sigit yang baru selesai saya tulis.
Beberapa hari setelah pertemuan
itu ia mengirim buku-buku karyanya ke rumah saya. Saya bertemu beliau lagi di
Galeri Cemara, Jakarta, ketika saya mendengarkan ceramahnya mengenai ‘Korupsi
di Indonesia Sejak Zaman Kolonial sampai Reformasi’. Pertemuan berikutnya
terjadi pada acara pembukaan Museum Multatuli di Rangkasbitung pada 11 Februari
2018. Dari pembicaraan selintas dengan
beliau dan dari buku-buku karyanya terasa bahwa ia sangat mencintai Indonesia.
Ratih Poeradisastra dan Peter Carey
pada acara pembukaan museum Multatuli
di Rangkasbitung pada 11 Februari 2018.
|
Untuk hadiah ulang tahunnya yang ke-70 diterbitkan buku Urip
iku Urub yang berisi tulisan-tulisan beberapa orang yang mengenalnya dengan dekat.
Pria yang selalu berkemeja batik ini juga menulis sedikit kisah hidupnya di
buku itu. Dalam bahasa Jawa Urip iku Urub artinya hidup itu nyala. Hidup itu
hendaknya memberi manfaat bagi orang lain.
Ini adalah pesan dari Peter Carey untuk kita sebagai bangsa
Indonesia dalam buku Urip iku Urub:
“Ada estimasi bahwa 90 persen karya tulis ilmiah tentang
Indonesia yang dipublikasikan di luar negeri justru disusun oleh mereka yang
tinggal di luar Indonesia yang sebagian besar tentunya adalah orang asing atau
orang Indonesia yang sudah lama bermukim di luar negeri dan menjadi WNA (Warga
Negara Asing). Jika angka itu benar, maka Indonesia merupakan salah satu negara
di dunia yang paling kurang efektif menjelaskan dirinya sendiri kepada dunia
luar. Situasi semacam itu tidak baik untuk Indonesia pada masa mendatang.
Padahal ramalan ekonomi terkini dari McKinsey Global Institute adalah Indonesia
akan bergerak dari kekuatan ekonomi dunia terbesar ke-16 menjadi yang ke-tujuh
pada 2030.
Jadi istilah ‘Jasmerah’ (Jangan sekali-sekali meninggalkan
sejarah’) yang diungkapkan Presiden Soekarno dalam pidato 17 Agustus 1966 kini semakin memperlihatkan kebenarannya.
Tanpa cinta dan penghargaan kepada sejarahnya sendiri, Indonesia akan terpecah
dan orang-orang Indonesia akan ditakdirkan hidup terkutuk selamanya di
pinggiran dunia yang mengglobal tanpa tahu jati diri mereka yang sebenarnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar