Tak lama setelah
proklamasi kemerdekaan RI, Belanda datang kembali ke Indonesia dengan
membonceng tentara Sekutu. Jelas mereka datang untuk menjajah kembali setelah
Jepang dikalahkan Sekutu. Tentara Belanda ikut membonceng bersama Pasukan
Sekutu yang bertugas melucuti dan memulangkan tawanan Jepang dari Indonesia. Pada
Oktober 1945 NICA (Netherlands-Indies Civil Administration atau pemerintah
sipil Hindia Belanda) mulai membuka kantor. Van Mook menjadi pimpinan kantor
itu. Kedatangan Belanda banyak memunculkan masalah.
Pada akhir
1945 keadaan Jakarta sangat kacau dan tidak aman. Pembunuhan, penculikan, dan
penjarahan terhadap orang-orang Republik sering terjadi. NICA sangat buas
meneror penduduk Indonesia yang pro kemerdekaan. Jika ada pemuda yang
mengenakan lencana merah putih, maka NICA akan memaksa agar orang itu menelan
lencananya. Mereka menembak membabi buta. NICA konflik dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
dan para pejuang di jalan-jalan di Jakarta. Kabinet Perdana Menteri Sjahrir
kemudian mengeluarkan maklumat 19 November 1945. Sesuai isi maklumat itu, TKR
ke luar dari Jakarta dan bermarkas di Tangerang, Krawang, dan Cikampek.
NICA mencoba
membunuh Soekarno
berkali-kali sampai ia harus tidur berpindah-pindah untuk menghindari teror.
Mereka mencoba menabrak mobil yang dikendarai Soekarno. Untungnya Presiden selamat. Pada 21 November 1945 Mr.
Mohammad Roem yang tinggal di Kwitang Prapatan, Jakarta, juga ditembak
segerombolan orang tak dikenal di rumahnya. Paha kirinya diterjang peluru yang
mengakibatkan Ketua KNI Jakarta itu pincang
sampai akhir hayatnya.
Pada 26
Desember 1945 ada percobaan pembunuhan terhadap Perdana Menteri Sjahrir. Ia sedang
menuju ke kantornya dengan mobil tiba-tiba dikejar truk yang penuh dengan orang
bersenjata. Sopir membelokkan mobil ke sebuah rumah, tapi tetap dikejar. Mobil
berhenti, Sjahrir ke luar dari mobilnya. Seorang perusuh mengacungkan pistolnya
siap menembak. Tapi keajaiban terjadi. Pistolnya macet! Tapi ia kemudian
memukul wajah Sjahrir dengan pistol. Kebetulan
lewat sebuah kendaraan patroli polisi militer Inggris di tempat kejadian.
Sjahrir selamat.
Dua hari
kemudian ada percobaan pembunuhan
terhadap Menteri Keamanan Rakyat Amir Sjarifuddin. Ketika ia sedang di depan
Sekolah Tinggi Guru dalam perjalanan ke rumah Presiden Soekarno di Jalan
Pegangsaan Timur 56, terjadi penembakan. Peluru nyaris melukai Menteri dan
merusak mobil.
Pada 1
Januari 1946 Presiden Soekarno mengadakan rapat terbatas karena kemungkinan
besar ibukota Jakarta akan jatuh ke tangan NICA. Ia mengusulkan agar petinggi
negara diboyong ke daerah lain dan mengendalikan negara dari daerah itu. Rapat
malam itu memutuskan, semua pejabat negara pindah dari Jakarta ke Yogyakarta
yang dirasa aman dari gangguan Belanda. Fasilitas di Yogyakarta cukup memadai
untuk menjadi ibu kota sementara. Sebelumnya Kepala Daerah Yogyakarta, Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, pernah mengirim utusan ke Jakarta. Utusan ini membawa
surat untuk Presiden Soekarno yang berisi saran agar ibukota RI dipindah ke
Yogyakarta.
Hasil rapat
sepakat bahwa para petinggi negara akan berangkat ke Yogyakarta pada 3 Januari
1946 malam. Presiden Soekarno berpesan agar para pejabat negara tidak membawa
bekal apa pun. Bila perjalanan ini diketahui NICA semua pejabat negara pasti
akan langsung dibunuh dalam sekali serangan. Perjalanan itu penuh risiko, tapi
setiap perjuangan membutuhkan keberanian.
Rombongan mengendap-endap masuk ke dalam kereta. Tak ada seorang pun yang boleh bicara. Juga tidak boleh ada yang menyalakan korek api karena akan menimbulkan cahaya. Semua harus dilakukan hati-hati, tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dalam keadaan gelap. Suasana sangat tegang pada saat itu. Seandainya perjalanan itu diketahui NICA, negara kita pasti akan jatuh ke tangan Belanda. Presiden, Wapres, dan para Menteri berada di dalam satu kereta yang bisa dihabisi hanya dengan satu granat.
Inilah
perjalanan bersejarah di mana ibukota RI pindah ke Yogyakarta. Keluarga
Presiden dan Wakil Presiden tinggal di Gedung Agung, istana Kepresidenan di
Yogyakarta, sampai 27 Desember 1949.
Sumber: Artikel Kereta Api Penyelamat Republik karya Dr. Rushdy Hoesein
Lokasi
pemotretan: Gedung Agung, Istana Kepresidenan RI di Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar