Bioskop pertama di dunia berlangsung di Paris, Prancis, pada
28 Desember 1895. Pada waktu itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda
(Nederlandsch Indie). Gambar idoep (bioskop) pertama di Batavia (kini
Jakarta) diadakan oleh pemerintah Belanda pada 5 Desember 1900.
Sementara itu perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka
menggebu, apalagi sesudah lahirnya perkumpulan Boedi Oetomo pada 1908. Gelora
persatuan makin menyala dengan adanya Soempah Pemoeda pada 1928. Kian menonjol
tokoh muda Ir.Soekarno atau biasa disebut Bung Karno yang dikagumi banyak orang
karena perjuangannya melawan penjajah Belanda. Salah seorang pemujanya adalah
Mohammad Noer, orang Minang yang bekerja di koran Pemandangan pimpinan Saeroen.
Melalui tulisan-tulisannya Saeroen berjuang melawan penjajah Belanda. Ia
membuat rubrik Kampret di koran itu yang isinya menyerang penjajah Belanda.
Koran Pemandangan kemudian dibredel pada 1937.
Mohammad Noer memberi nama Sukarno untuk putranya karena
kekagumannya pada Bung Karno. Setelah Sukarno M.Noer dewasa, ia mengubah namanya
dari M.Noer menjadi M. Noor karena ia mengagumi aktor populer Malaysia Roomai
S.Noor. Putra ke-tiga dari pernikahan Sukarno M.Noor dengan Istiarti Rawumali
dinamakan Rano yang kemudian juga menjadi aktor terkenal dan menjadi Gubernur
Banten (2014 – 2015).
Pada 3 Januari 1946 Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad
Hatta, dan para petinggi pemerintah Indonesia pindah ke Yogyakarta karena
Jakarta sangat tidak aman pada waktu itu. Berbagai usaha pembunuhan terhadap
para petinggi pemerintah Indonesia dilakukan tentara Belanda yang kembali ke
Indonesia dengan membonceng tentara Sekutu. Sedangkan Yogyakarta cukup aman dari gangguan Belanda dan fasilitasnya
cukup memadai untuk menjadi ibu kota sementara. Sebelumnya Kepala Daerah
Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, pernah mengirim utusan ke Jakarta.
Utusan ini membawa surat untuk Presiden Soekarno yang berisi saran agar ibukota
RI dipindah ke Yogyakarta.
Sebagian
anggota perkumpulan sandiwara Maya pimpinan Usmar Ismail serta rombongan
Bintang Timur dan Pantjawarna pimpinan Djamaludin Malik pindah ke Yogyakarta pada
masa pendudukan Jepang. Perusahaan film swasta dilarang berproduksi oleh Jepang
sehingga orang film kembali ke panggung. Dr. Huyung, orang Korea dengan nama
asli Hue Yong, datang sebagai perwira
Jepang yang tugasnya mengontrol sandiwara. Naskah sandiwara harus tertulis dan
diperiksa lebih dulu, para pemain harus patuh pada naskah, dilarang
berimprovisasi. Pada masa ini lahir naskah sandiwara Tjitra karya Usmar Ismail
dan naskah sandiwara lainnya. Ketika Jepang dikalahkan Sekutu pada 1945 Huyung
membelot, ia memilih berada di pihak Indonesia.
Di
Yogyakarta Usmar Ismail dan kawan-kawan berkumpul dalam kelompok diskusi film
pimpinan Huyung. Rombongan Seniman Merdeka yang terdiri atas para pemain
sandiwara keliling juga pindah ke Yogyakarta. Sebelumnya mereka bermain di
berbagai pelosok Jakarta untuk mengobarkan semangat untuk tetap merdeka.
Pada 1949
pendudukan Belanda berakhir. Indonesia menjadi negara berdaulat pada 1950 dan
Jakarta kembali menjadi ibu kota RI. Sebagian pemain sandiwara kembali ke
Jakarta pada 1947 atau 1948 tapi kebanyakan kembali antara 1949 dan 1950. Pada
1948 Air Mata Mengalir di Tjitarum dibuat oleh perusahaan film Tan & Wong
(gabungan Tan Bersaudara dan Wong Bersaudara) dan Saputangan diproduksi
perusahaan film Bintang Surabaja milik The Teng Chun dan Fred Young. Huyung
membuat film Antara Bumi dan Langit yang dibintangi S.Bono pada 1950. Usmar
Ismail dengan Perfini-nya membuat film Darah dan Doa. Syuting pertamanya
dilakukan pada 30 Maret 1950. Hari itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Film
Nasional.
Sumber: buku
Jejak Seorang Aktor Sukarno M.Noor karya S.M.Ardan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar