
Tak adanya lembaga litsus dan hirarki struktural ini telah memungkinkan para politisi secara leluasa menggunakan simbol-simbol agama untuk kepentingan politiknya. Biasanya rakyat malah kagum jika ada pejabat yang tampak agamis, meski paham keagamaannya pas-pasan.
Bagi masyarakat awam, kerudung memiliki konotasi agamis. Begitu pula kopiah, baju koko, dan baju gamis, dan ucapan ‘salam’ dalam bahasa Arab. Begitu pentingnya simbol-simbol keagamaan dalam wacana politik, maka pidato yang tidak dibuka dengan salam akan dirasakan hambar oleh telinga masyarakat Islam Indonesia.
Wacana keagamaan di Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari wacana politik. Sebab ini menjadi sajian yang menarik bagi komoditas informasi dengan bobot yang sangat marketable. Di wilayah Asia Tenggara pergumulan agama, politik, dan etnis akan semakin menarik untuk dicermati.
Bagi dunia pers, isu agama yan bernuansa politik sanggup mendongkrak oplah penjualan majalah. Makanya isu keagamaan dengan berbagai aktornya masuk ke dalam katalog bisnis informasi. Aktornya berada pada deretan selebriti yang dikejar media massa dan industri informasi, terutama televisi. Masyarakat rela mendengarkan para aktor agama berbicara dan berlaga. Hiruk pikuk keagamaan yang sarat muatan politik.
Lalu bagaimana sikap kita? Agama diwahyukan untuk manusia -bukan manusia untuk agama- maka salah satu ukuran baik-buruknya sikap hidup beragama adalah dengan menggunakan standar dan kategori KEMANUSIAAN, bukan ideologi dan sentimen kelompok.
Sumber: The Wisdom of Life, Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama karya Prof. Komaruddin Hidayat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar