Douglas MacArthur (1880-1964) |
Saya datang ke Pearl Harbor National Memorial di Hawaii pada akhir Desember
1992. Di sana diputar film dokumenter tentang Perang Asia Pasifik. Dalam perang ini
terkenal nama Jenderal Douglas MacArthur yang dihargai lawan dan kawan. Ia
menjadi Jenderal Angkatan Darat AS yang sangat berperan dalam Perang Dunia II
(1939 – 1945) di medan pertempuran Asia Pasifik.
Sebelum Perang Dunia II, pada 1937, ia diminta untuk
menjadi penasehat militer oleh presiden pertama Republik Filipina Manuel
Quezon. Pangkatnya Field Marshall (perwira dengan pangkat tertinggi). Pada
waktu itu Republik Filipina baru didirikan dan MacArthur baru pensiun sebagai
Kepala Staf Angkatan Darat AS pada usia 57 tahun.
Pada usia 61 tahun ia dipanggil kembali oleh negaranya untuk menjalani dinas
militer aktif. Ia diangkat sebagai Panglima Pasukan Angkatan Darat
AS untuk Timur Jauh, organisasi militer yang baru saja dibentuk. Itu terjadi
pada 1941 ketika mulai terlihat bayang-bayang ancaman Perang Pasifik melawan
Jepang.
Pada Desember 1941 Jepang mulai melancarkan Perang Pasifik dalam Perang
Dunia II. Balatentara Jepang menduduki Filipina, bahkan seluruh Asia Tenggara,
termasuk Indonesia. Pada awal 1942 serangan
Jepang luar biasa dengan kekuatan besar dan tiba-tiba. Presiden
Franklin D. Roosevelt memerintahkan MacArthur untuk segera mundur ke Australia.
Patuh pada perintah Presiden sebagai Panglima Tertinggi, MacArthur berangkat
ke Australia. Ia berhasil menembus blokade tentara Jepang dan lolos dari Filipina
ke Australia. “I Shall Return!” Itu sumpahnya. Dengan tekad
kuat, ia menepati sumpahnya. Ia berhasil kembali dan merebut Filipina pada
1944. Beberapa hari setelah pendaratannya di Filipina, ia diangkat menjadi
Jenderal bintang lima.
Jepang menyerah kalah kepada Sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom. Di
atas kapal perang Amerika Serikat ‘Missouri’ yang berlabuh di Teluk Tokyo secara resmi
Jepang mengakui kekalahannya kepada Sekutu. Jenderal MacArthur yang
menerima secara resmi pengakuan kekalahan itu.
Pada usia 65 tahun MacArthur memulai karir barunya sebagai Panglima Tentara
Pendudukan Sekutu di Jepang. Ia diangkat sebagai Supreme Commander. Meski
menang perang MacArthur tetap rendah hati. Ia tak merendahkan martabat Jepang
yang pernah menjadi musuhnya. Ia membimbing rakyat
Jepang untuk bangkit dari kekalahan perang menjadi negara yang cepat
meraih kemakmuran. Rakyat Jepang sangat menghomatinya, terutama karena ia
melindungi dan mempertahankan Kaisar Jepang yang menjadi simbol dan pujaan
rakyat Jepang.
Pada usia 70 tahun sewaktu masih bertugas di Jepang, ia dilibatkan dalam
perang Korea. MacArthur diangkat sebagai Panglima gabungan tentara
internasional di Korea. Pada waktu itu presiden AS adalah Harry S. Truman.
Ketika berlangsung perang Korea, MacArthur berbeda pendapat dengan
Presiden Truman mengenai strategi perang Korea. Ia dibebastugaskan oleh
Presiden Truman dan kembali ke tanah airnya pada 1951. Usianya 71 tahun ketika
itu.
Ia dianggap pahlawan oleh rakyat Amerika dan mendapat sambutan luar biasa
dari seluruh penjuru. Ucapannya yang terkenal di kalangan militer "old
soldiers never die, they just fade away" ia sampaikan pada pidato
perpisahannya di depan Konggres AS, 19 April 1951, yang mendapatkan
beberapa kali standing ovation.
Meski tangguh berperang MacArthur suka membuat puisi.
People grow old only by
deserting their ideals
Years may wrinkle the skin
but to give up interest wrinkles
the soul
You are as young as your faith
as old as your doubt
as young as your self-confidence
as old as your fear
as young as your hope
as old as your despair
Pada usianya mendekati 60 tahun istrinya melahirkan bayi laki-laki yang menjadi anak tunggal pasangan itu. Pada bulan Juni 1942 Jenderal Douglas MacArthur dinobatkan sebagai National Father of the Year. Pernyataannya ketika itu sangat mengesankan,
“By profession I am a soldier and take pride in that fact.
But I am prouder — infinitely prouder — to be a father.
A soldier destroys in order to build;
the father only builds, never destroys.
The one has the potentiality of death;
the other embodies creation and life.
And while the hordes of death are mighty,
the battalions of life are mightier still.
It is my hope that my son, when I am gone,
will remember me not from the battle
but in the home repeating with him
our simple daily prayer, ‘Our Father Who Art in Heaven.'”
Ia menulis puisi berupa doa untuk
anaknya, Arthur MacArthur, yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia:
Bentuklah putraku, Oh Tuhan
Menjadi manusia yang cukup kuat
untuk mengetahui
ketika ia lemah
Dan berani menghadapi dirinya sendiri
ketika ia takut
Manusia yang kuat dan tabah
dalam kekalahan yang bermartabat
serta rendah hati dan santun dalam kemenangan
Bentuklah putraku menjadi manusia yang bertekad kuat mewujudkan cita-citanya
Seorang putra yang sadar bahwa
mengenal Engkau dan dirinya sendiri adalah
landasan segala ilmu pengetahuan.
Bimbinglah ia, kumohon
bukan di jalan yang mudah dan nyaman
melainkan di jalan yang penuh tekanan dan dorongan
kesulitan dan tantangan
agar ia belajar untuk tetap berdiri di tengah badai
dan welas asih pada yang terjatuh
Jadikanlah putraku
memiliki hati yang tulus
bercita-cita tinggi
putra yang dapat memimpin dirinya sendiri
sebelum ia ingin memimpin orang lain
menjadi manusia yang menatap masa depan
juga tak melupakan masa lalu
Dan setelah semua itu menjadi miliknya
kumohon berilah ia cukup rasa humor
sehingga ia dapat bersikap sungguh-sungguh
namun tetap mampu menikmati hidupnya
Tuhanku
Berilah ia kerendahan hati
sehingga ia akan mengingat
Kesederhanaan dari kemuliaan sejati
Keterbukaan pikiran dari kearifan sejati
dan kelembutan dari kekuatan sejati
sehingga, hamba, ayahnya, berani berkata:
“Hidupku tidaklah sia-sia”
Puisi aslinya dalam bahasa Inggris:
Build me a son, O Lord,
who will be strong enough to
know,
when he is weak,
and brave enough to face
himself
when he is affraid.
one who will be proud and
unbending
in honest defeat
and humble and gentle in victory
Build me a son, whose wishes
will not take the place of deeds
a son who will know Thee
and that to know himself,
is the foundation of knowledge
Lead him, I pray,
not in the path of ease and
comfort
but under the stress and spur
of difficulties and challenge
Here let him learn to stand up
in the storm
here let him learn compassion
for those who fall.
Build me a son
whose heart will be clear
whose goal will be high
a son who will master himself
before he seeks to master other
men
one who will reach into the
future
yet never forget the past
And after all these things are
his
add, I pray, enough a sense of
humor
so that he may always be
serious,
yet never take himself too
seriously
Give him humility
so that he may always remember
the simplicity of true greatness
the open mind of true wisdom
and the meekness of true strength
Then, I, his father, will dare
to whisper:
"I have not lived in vain."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar