“Ibu saya selalu membagi minyak tanah
untuk menyalakan lampu agar orang-orang yang mengaji mendapat cahaya.
Pada waktu itu belum ada listrik di daerah kami. Sampai kini Ibu juga
suka menyumbangkan mukena untuk mesjid di Ngawi,” cerita Ratih
Sanggarwati. Itulah teladan baik bundanya yang masih dikenangnya sampai
kini. “Saya ingin meniru kebaikan Ibu. Bagi saya, kemudahan-kemudahan
yang saya dapatkan dalam hidup disebabkan doa dan kebaikan yang Ibu
tabur. Setiap kebaikan ada balasannya, setiap kejahatan juga ada
balasannya. Itu sudah hukum alam.”
Ratih menyantap makan
malamnya di sebuah resto kecil, di dekat hotel tempat kami menginap di
Bali. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Seorang pramusaji
sederhana mendekatinya dan bertanya apakah ia boleh berfoto bersama
Ratih. Dengan senang hati Ratih berpose bersamanya. Ia sama sekali tak
terganggu. Sementara pramusaji sangat senang memandangi HP-nya
berkali-kali karena ada fotonya bersama mantan supermodel. “Begitu mudah
membahagiakan orang lain. Cukup tersenyum ramah kepada orang sudah
merupakan ibadah,” ujar Ratih.
Saya mengenalnya ketika ia pada
puncak kejayaannya sebagai supermodel pada 1990an. Ia beberapa kali
menjadi cover majalah Dewi di mana saya bekerja sebagai penulis. Ia
memenuhi halaman-halaman fashion majalah itu tampil dengan berbagai
busana karya desainer internasional. Menjelang saya pergi ke Colombo,
Sri Lanka, ia memberi saya backpack hitam yang saya simpan hingga kini.
“Saya lupa bahwa saya pernah memberimu backpack,” katanya ketika saya
menceritakan tentang ransel itu.
Waktu cepat berlalu. Ia bukan
lagi remaja yang sering datang ke studio foto kecil di Ngawi untuk minta
dipotret. Juga bukan lagi supermodel yang mengadu nasib di Singapura,
Paris, Milan, New York dan dipotret di berbagai negara. Ia kini bekerja
sebagai pemandu acara perkawinan, memasarkan paket umroh dan haji,
menjadi pembicara seminar, memiliki butik busana muslim dan Lembaga
Pendidikan Ratih Sanggarwati. Ia juga sudah menjadi ibu dari tiga
puteri yang sudah dewasa.
Cukup lama ia berkarier sebagai
model. Masih banyak orang yang mengenali wajahnya sebagai model hingga
kini, tapi ada pula yang tak mengenalnya. Pernah seseorang minta
dipotret bersama Ratih. Setelah dipotret, orang itu bertanya: “Ibu
siapa?”
Ratih heran dengan pertanyaan itu: “Kenapa tadi kamu minta dipotret bersama saya?”
“Tadi saya lihat beberapa orang minta dipotret bersama Ibu. Jadi saya juga ingin dipotret,” jawabnya.
Ratih menceritakan kejadian itu sambil tertawa geli. Saya mengenalnya
sebagai pribadi yang suka humor, memiliki banyak cerita lucu. Ia pernah
membeli buah dari seorang pedagang. Ketika ia menawar harganya, pedagang
itu bilang: “Ibu pernah jadi peragawati ‘kan?”
“Ya,” jawab Ratih.
“Peragawati cantik kok nawar harga.”
Mendengar komentar itu Ratih segera membayar tanpa menawar lagi.
Hari sudah malam ketika kami naik taksi menuju bandara Ngurah Rai untuk
pulang ke Jakarta. Ketika kami turun, pengemudi taksi juga turun dari
mobilnya. Ia ingin dipotret bersama Ratih dengan kamera HPnya. Seperti
biasa, Ratih melayaninya dengan senang hati. Begitu pula ketika kami
makan siang, beberapa pengunjung restoran ingin dipotret bersamanya.
Ratih tampil tersenyum di kamera HP mereka. “Saya cukup tersenyum
sebentar dan mereka bisa memiliki kenangan indah begitu lama dengan
memiliki foto itu. Tanpa biaya apa pun kita tetap bisa membahagiakan
orang lain.”
23/11/15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar