Turunnya Presiden Soekarno terjadi secara bertahap selama
satu hingga dua tahun, sejak 1966 hingga 1968. Kekuasaannya mulai berkurang
ketika ia ‘terpaksa’ (atau dipaksa?) mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar) pada 1966. Sampai sekarang tidak jelas benar mengapa Presiden
Soekarno bersedia mengeluarkan Supersemar, yang artinya secara tidak langsung
menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto. Mungkin karena situasi keamanan
negara yang gawat atau kepercayaannya terhadap loyalitas Soeharto.
Setelah Supersemar keluar, Soekarno masih tetap resmi
sebagai presiden. Kemudian dengan adanya wewenang khusus dari Presiden
Soekarno, Soeharto segera membubarkan PKI. Keluarnya Supersemar ini segera
dirayakan ABRI (kini TNI) dan para mahasiswa dengan show of force ke berbagai
jalan utama di Jakarta pada 12 Maret 1966. ABRI mengerahkan tank dan
panser-pansernya berkeliling dalam pawai kemenangan.
Pada 18 Maret 1966 lima belas Menteri anggota Kabinet
Dwikora ditangkap Soeharto, di antaranya Soebandrio, Chaerul Saleh, Achmadi,
Surachman, Oei Tjoe Tat, Moh. Achadi, Soemarno, dan Imam Sjafei (Mereka terkait
atau bersimpati pada ideologi komunis). Presiden Soekarno mulai kehilangan para
pengikutnya yang utama. Pada 27 Maret 1966 Kabinet Dwikora diisi
Menteri-menteri baru untuk mengisi kursi-kursi Menteri yang kosong.
Kemudian Sidang Umum MPRS ke-IV diselenggarakan pada 17 Juni
1966 sampai 5 Juli 1966. Dalam sidang ini Presiden Soekarno menyampaikan pidato
pertanggungjawabannya yang berjudul Nawaksara. Namun pidatonya dianggap kurang
memuaskan oleh kebanyakan anggota MPRS. Maka MPRS meminta Presiden Soekarno
untuk melengkapi pidato pertanggungjawabannya (Pidato ‘Pelengkap Nawaksara’
ditolak lagi oleh MPRS). Sidang Umum MPRS ke-IV secara aklamasi memilih
Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai Ketua MPRS yang baru. Dalam sidang ini
MPRS juga mensahkan Supersemar sebagai keputusan resmi.
Pada 25 Juli 1966 Jenderal Soeharto membentuk kabinet baru
sebagai pengganti Kabinet Dwikora, sesuai tugas yang diberikan Sidang Umum MPRS
ke-IV. Kabinet baru ini dinamakan Kabinet Ampera. Pelantikannya masih dilakukan
oleh Presiden Soekarno pada 28 Juli 1966. Namun kabinetnya dipimpin oleh sebuah
presidium yang diketuai oleh Jenderal Soeharto.
Pada 23 Februari 1967 Presiden Soekarno mengeluarkan pernyataan
di Istana Negara bahwa ia menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto.
Maka dalam Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai penjabat
presiden. Sejak itulah Soekarno benar-benar kehilangan kekuasaannya. Soeharto
kemudian dikukuhkan sebagai presiden resmi oleh MPRS pada 27 Maret 1968. Ini
kemudian menandai dimulainya era yang dikenal sebagai Orde Baru. Soekarno
kemudian dikenakan tahanan rumah di Wisma Yaso, bekas rumah Dewi Soekarno,
sampai wafatnya pada 21 Juni 1970.
Sumber: buku Jakarta 1960-an, Kenangan Semasa Mahasiswa
karya Firman Lubis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar