Senin, 17 Agustus 2015

Busana, Status Sosial dan Profesi

Busana dapat menunjukkan status sosial dan profesi seseorang.
Ini sudah diketahui manusia sejak zaman kuno.

Pada relief-relief candi di Jawa Tengah seperti candi Pawon, Mendut, Sewu, dan Borobudur, dapat dilihat bagaimana busana kalangan bangsawan berbeda dengan rakyat biasa.

Para bangsawan ditampilkan mengenakan perhiasan mewah terdiri dari mahkota, anting-anting, kalung, gelang tangan, dan gelang kaki.

Dayang-dayang dan pengawal raja mengenakan busana yang lebih sederhana tapi masih mengenakan kalung, anting-anting, dan gelang tangan. Sedangkan dari golongan rakyat jelata jauh lebih sedikit perhiasannya. Khusus untuk pendeta atau biksu digambarkan memakai jubah khusus yang terbuka bagian pundak kanannya.

Pada relief paling bawah Borobudur selain menggambarkan cerita Karmawibhangga juga dapat dilihat profesi mereka dari busana, aksesori, dan lingkungannya. Pemburu digambarkan membawa panah di lingkungan alam terbuka, pertapa di bawah pohon, dewa di dalam bangunan, dan raja di dekat bangunan (candi).

Begitu pula pedagang, algojo, dukun, penari, pemusik, pengemis, dan sebagainya dapat dilihat dari busana, perhiasan, dan lingkungannya.

Pada zaman dulu motif batik untuk kalangan bangsawan juga berbeda dengan motif batik untuk rakyat biasa.

Rakyat tidak boleh memakai batik dengan corak yang sama dengan keluarga raja, seperti corak parang, kawung, udan liris, lereng, dan rujak sente.

Bukan hanya di Indonesia, kebudayaan Aztec sebelum kedatangan bangsa Spanyol di Meksiko juga memiliki tata krama berbusana. Aturan yang dibuat suku Aztec: rakyat jelata hanya boleh memakai busana sederhana.

Hanya kalangan atas yang boleh memakai busana dari bahan khusus. Aksesori hanya untuk kalangan atas; pakaian wanita harus disesuaikan dengan status suami atau ayah mereka.

Sumber: Busana Jawa Kuna karya Inda Citraninda Noerhadi