Selasa, 16 Juni 2015

Gedung Agung Yogyakarta: Pesona dan Sejarahnya


Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta bersama keluarga mereka naik kereta api dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Karena situasi di Batavia (kini Jakarta) memburuk, mereka pindah ke Yogyakarta. Ibu kota Republik Indonesia juga ikut pindah ke kota ini.

Di istana kepresidenan di Yogyakarta yang disebut Gedung Agung atau Gedung Negara terdapat kamar tidur Presiden dan Wakil Presiden bersama keluarga mereka.

Tampak depan. Gedung Agung, istana kepresidenan di kota Yogyakarta.
Pilar-pilar.  Bekas kediaman residen Belanda ini pernah ambruk diguncang gempa dan selesai dibangun pada 1869. Bangunan inilah yang menjadi gedung utama istana Kepresidenan.
Semula gedung yang dibangun pada 1824 oleh arsitek A. Payen itu adalah tempat kediaman Residen Belanda. Pembangunan gedung itu sempat terhenti selama perang Pangeran Diponegoro pada 1825 – 1830. Pangeran ini dibuang ke Makassar oleh Belanda, kemudian wafat di kota itu pada 8 Januari 1855, dalam usia 70 tahun. 

Setelah perang Diponegoro usai, pembangunan gedung dilanjutkan dan selesai pada 1832. Kediaman Residen Belanda ini ambruk ketika terjadi gempa bumi di Yogyakarta pada 10 Juni 1867. Kemudian didirikan bangunan baru dan selesai dibangun pada 1869. Bangunan inilah yang menjadi gedung utama istana Kepresidenan.

Kompleks istana ini dibangun di atas lahan 43.585 meter persegi di dekat museum benteng Vredeburg, di pusat kota Yogyakarta. Di bagian depan kanan gedung utama terdapat Ruang Jenderal Soedirman. Di ruang inilah Panglima Besar Soedirman berpamitan kepada Presiden Soekarno untuk meninggalkan kota untuk memimpin perang gerilya melawan penjajah Belanda.

Pada 3 Juni 1947 ia dilantik sebagai Panglima Besar TNI juga di gedung ini. Panglima Besar TNI pertama ini wafat pada 29 Januari 1950 dalam usia 34 tahun. Di bagian kiri gedung utama terdapat ruang Pangeran Diponegoro.

Gedung induk kompleks istana Kepresidenan juga disebut ruang Garuda untuk menyambut para tamu negara. Di sinilah Kabinet Republik Indonesia dilantik ketika ibu kota negara pindah ke Yogyakarta.

Selain gedung utama, ada pula Wisma Negara, Wisma Indraphrasta, Wisma Sawojajar, Wisma Bumiretawu, dan Wisma Saptapratala. Setiap Wisma itu masing-masing digunakan untuk menginap para Menteri, para tamu negara, ajudan, serta dokter pribadi Presiden dan tamu negara.

Di kompleks ini terdapat gedung Seni Sono untuk menonton pertunjukan seni bagi masyarakat Yogyakarta. Pada 20 September 1995 gedung yang semula milik Departemen Penerangan ini kemudian menjadi bagian dari istana Kepresidenan.

Saya datang ke Gedung Agung di Yogyakarta ini pada 16 Juni 2015, menjelang bulan puasa pada 18 Juni 2015.

Minggu, 14 Juni 2015

Roemahkoe Heritage Hotel di Solo


Solo, 14 Juni 2015 : Laweyan sejak seabad yang lalu sampai sekarang dikenal sebagai pusat pembuatan batik di Solo. Banyak saudagar batik tinggal di kecamatan ini, salah satunya adalah Pusposumarto.

Rumahnya yang dibangun pada 1938 kemudian dibeli oleh Krisnina Maharani (baju putih), istri politisi Akbar Tandjung, pada 1997.

Rumah di atas lahan 2000 meter persegi ini kemudian dijadikan hotel pada 2000.

“Tidak ada bangunan yang diubah, semua masih seperti aslinya. Hanya fungsi ruangannya saja yang diubah, dari kamar pribadi menjadi tempat menginap para tamu. Hampir semua mebelnya juga asli,” cerita Nina Tandjung di Roemahkoe, nama hotelnya di Jalan DR. Radjiman 501. 

Di belakang hotel yang memiliki 14 kamar ini terdapat sebuah jalan kecil di mana kita dapat melihat para pengrajin melukis berbagai motif batik.

Pintu masuk. "Rumah tempo dulu sangat mengindahkan iklim dan karakter lokal masyarakat. Pertahankan bangunan tua di kota anda, sebab dari bangunan itu kita punya sejarah masa lampau yang sesungguhnya membelajarkan kepada kita kedepan," jelas Nina Tanjung.



Lobi. Lobi hotel yang sangat kental dengan nuansa arsitektur Jawa.
Dinding-dinding hotel ini dihias lukisan, cermin, dan pernak-pernik lain bernuansa etnik Jawa klasik. Salah satu dindingnya dihias 30 piring keramik yang masing-masing dihias lukisan seorang dewa pelindung bagi setiap wuku. Wuku adalah waktu di mana sistem perhitungan pancawara (pasaran) dan saptawara (pekan) bertemu.

Pancawara terdiri dari lima hari (Paing, Pon, Wage, Kliwon dan Legi) dan saptawara terdiri dari tujuh hari. “Ini zodiak versi Jawa,” ujar Nina yang lahir di Solo dan pada 10 Mei 2015 meluncurkan buku karyanya, Keraton Kasunanan Kisah Kebangsaan Dari Solo.

Wuku. "Ini horoskop atau zodiac Jawa yang lazim disebut wuku.. dan populer menjadi primbon. yang jelas ini bukan ramalan watak tapi informasi kitab Jawa tentang watak manusia berdasarkan tanggal kelahiran (wuku)" (Nina Tanjung).



Sambutan ramah khas putri Solo. Para tamu yang lahir pada tahun 1920 -1930an ini disambut ramah oleh pemilik hotel.

Reunian kawan lama. Nina Tanjung bersama penulis.
Pada dinding lain dihias foto-foto peristiwa bersejarah dan tokoh-tokoh seperti Presiden Sukarno dan Kyai Haji Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam yang lahir di Laweyan pada 1868.

Organisasi ini membela kepentingan pedagang batik pribumi yang diperlakukan tidak adil oleh pemerintah kolonial Belanda. Sarekat Dagang Islam berkembang pesat ke berbagai daerah dan berubah menjadi Sarekat Islam. Haji Oemar Said Tjokroaminoto kemudian bergabung menjadi tokoh Sarekat Islam yang dikenal gigih melawan penjajah Belanda.

Foto dan pengarah gaya : Endro S. Markam.

Keraton Kasunanan Kisah Kebangsaan dari Solo : Buku


Solo, 14 Juni 2015 : Pangeran Mangkubumi marah kepada Pakubuwana II karena ‘menyerahkan’ masa depan keraton Kasunanan di Sala kepada VOC. Ia pindah dari Sala (Solo) dan menyatakan diri sebagai Raja di Kota Gede.

Pada 1755 dibuat Perjanjian Giyanti yang salah satu isinya: Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana I di atas separuh kerajaan Mataram.

Setelah perjanjian Giyanti, perang di Mataram terus berlanjut. Raden Mas Said, menantu Pangeran Mangkubumi, menuntut untuk menjadi penguasa sebagaimana Hamengkubuwana I menjadi Sultan Yogya. 

Keraton Kasunanan Solo. Penulis bersama  dua penjaga pintu Keraton Kasunanan, Solo.

Museum Keraton Kasunanan. "Gusti Ratih bade tindak Pasar Gede, nitih andong keraton."
Kota Solo dan Naik Becak. "Ndak pundi mbak ayu bade tindak pundi
Kok dingaren tindak wae ora numpak taksi
Dewekan opo ora wedi Timbang nganggur kulo gelem ngancani
Kleresan mas alias kebetulan
Blanjane akeh rodo kabotan
Yen purun enggal-enggal ngrencangi
Tekan ngomah mangke kulo upahi" (Lirik : Manthous).
Pada 1757 dibuat Perjanjian Salatiga yang menjadikan Raden Mas Said mendapat hak untuk menguasai sebagian wilayah Surakarta. Ia mendapat gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara I.

Semua perjanjian-perjanjian itu dibuat dengan campur tangan VOC. Dengan demikian di tangan VOC, dinasti Pakubuwana mewujud menjadi tiga:

1. Keraton Kasunanan di desa Sala (Surakarta) dengan pemimpinnya yang disebut Sunan atau Susuhunan Pakubuwana.
2. Keraton Kasultanan yang dipimpin Sultan Hamengkubuwana. Lebih populer disebut Keraton Ngayogyakarta atau Keraton Yogyakarta.
3. Kadipaten Mangkunegaran yang wilayah kekuasaannya lebih kecil daripada Kasunanan Surakarta.

Kenangan tanda tangan penulis dan cerita nostalgia. Halaman judul buku Keraton Kasunanan Kisah Kebangsaan dari Solo karya Krisnina Maharani Akbar Tandjung yang menjadi sumber rujukan tulisan di blog ini. Terbit 10 Mei 2015. Nina juga menulis buku House of Solo dan Jejak Gula, Warisan Industri Gula di Solo. "Ratih..adalah teman lamaku yang barangkali 10 tahun ga ketemu.. sejak lulus di FISIP UI. aku kehilangan kontak sama Ratih. Tahu tahu pas di Solo Ratih berada di sebelah meja makanku walau berada agak jauh. Atas jasa seorang pelayan restoran sambil menanyakan kebenaran nama Ratih,, maka bertemulah kami.. Alhamdulilah.. Kami sering bersama kalau berangkat ke Rawamangun tempat kampus kami sebelum di Depok. Ratih.. is really cool smart n work hard." (Nina Tanjung).


 Fotografer dan Pengarah Gaya: Endro S. Markam