Jumat, 22 Mei 2020

Banteng dan Harimau


Raden Saleh Syarif Bustaman (1807 – 1880) adalah sosok penting dalam sejarah seni rupa Indonesia dan dunia. Ia menguasai teknik seni lukis modern. Beberapa karya lukisnya menggambarkan pertarungan harimau (macan) dan banteng. Pada 1800an di Jawa kerap diadakan adu harimau dan banteng (dalam bahasa Jawa disebut bantheng; kebo). Pertarungan dua hewan ini adalah hiburan dari keraton dalam upacara seremonial menyambut tamu pejabat dari Eropa, terutama Gubernur Jenderal. Pertarungan ini merupakan sebuah simbol. Ketika orang Jawa tidak lagi bisa benar-benarmengalahkan orang Eropa dalam pertempuran terbuka, adu harimau dan banteng dianggap sebagai bentuk perjuangan pengganti. Orang Jawa menganggap orang asing sebagai harimau yang gesit, mematikan, tetapi tanpa daya tahan. Sedangkan orang Jawa menganggap dirinya sendiri sebagai banteng yang kuat, menahan diri, dan hampir selalu berhasil. Itu sebabnya pertunjukan ini menarik ditonton masyarakat Jawa pada waktu itu. Kalau harimau berhasil memenangkan pertarungan maka orang Jawa akan berspekulasi bahwa Raja akan dikalahkan oleh penjajah asing.
Sumber: buku Inggris di Jawa 1811 – 1816 karya Peter Carey




Kamis, 07 Mei 2020

Srihana-Srihani



Saya narsis di halaman istana Cipanas pada 9 Mei 2015. Di tempat inilah Presiden Soekarno berkencan dengan Hartini, perempuan 28 tahun beranak lima. Suasana istana ini sangat romantis, sunyi, indah. Udaranya sejuk, tersedia kolam pemandian air hangat di dalam istana. Pohon-pohonnya sangat rimbun di atas lahan seluas 26 hektare. Menurut Hartini, Bung Karno sangat romantis. Mereka sering berkirim surat dengan nama samaran Srihana (Bung Karno) dan Srihani (Hartini). Nama Srihani kemudian dipakai menjadi nama rumah Hartini di Bogor.

Setelah dua tahun Hartini kerap menemui Presiden Soekarno di istana Cipanas, mereka menikah 7 Juli 1954 di sini. Pernikahan ke-empat bagi Presiden Soekarno yang ketika itu berusia 53 tahun. “Saya yang melepas jas dan membuka sepatu beliau, mengurus makannya, menyiapkan perlengkapan mandi dan pakaiannya di kamar mandi. Kami selalu mandi berdua. Saya sangat menghormati Bapak. Kalau berbicara dengannya, saya selalu menggunakan bahasa kromo inggil, bahasa Jawa halus, meski di tempat tidur,” cerita Hartini. “Beliau tak pernah salah menyebut nama saya. Bahkan ketika kami bercinta, beliau tidak pernah keceplosan menyebut nama wanita lain. Beliau memang hebat.” Presiden Soekarno masih berstatus sebagai suami Ibu Fatmawati pada waktu itu.
Hartini sangat menjaga penampilannya. Tubuhnya langsing, kulitnya halus, dan tumitnya tampak merah jambu menyembul di balik sarung batiknya. “Saya selalu tampil rapi, tidak mau rambut saya penuh rol dan muka berminyak di hadapan Bapak. Saya hanya menjadi acak-acakan di tempat tidur. Saya meratus rambut, luluran, dan minum jamu yang saya racik sendiri. Sehabis menstruasi saya minum ramuan buatan sendiri berupa campuran temulawak, kunyit, dan asam. Semua saya lakukan untuk suami saya dan juga agar masyarakat menilai bahwa saya pantas mendampingi Bapak. Untuk urusan dandan, Bapak mengajari saya untuk memakai sarung batik dengan benar agar tetap rapi ketika melangkah.”

Pendidikan Hartini adalah Sekolah Kepandaian Putri. Agar tidak terlalu jauh jurang pendidikannya dengan Ir. Soekarno, ia belajar bahasa Inggris dan etiket dari istri Kepala Polisi Bogor. Seorang guru didatangkan dari Jakarta untuk mengajarkannya tata krama di meja makan. Presiden Soekarno menasehatinya agar mengambil makanan yang mudah dimakan saja pada jamuan resmi. Jangan sampai ada potongan rendang terpelanting di meja atau sulit menggigit daging ayam.“Bapak juga mengajarkan saya untuk banyak membaca. Beliau sangat luas pengetahuannya. Beliau memberi buku-buku karyanya, seperti Sarinah, Indonesia Menggugat, dan sebagainya. Kemudian saya dites untuk mengetahui apakah benar saya sudah membaca buku-bukunya.”
Hartini tak meminta cerai dari Bung Karno, meski ada lima perempuan lain yang kemudian menjadi istri sang Proklamator. Ia mendampingi suaminya pada hari-hari terakhir hidup Presiden pertama kita. Bung Karno kembali kepada Yang Maha Mencintainya pada usia 69 tahun, 21 Juni 1970.

Sumber: Buku Last Days of Soekarno karya Ross T.Nugroho


Minggu, 03 Mei 2020

Tradisi Arab atau Ajaran Islam?

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Presiden Joko Widodo, Habib Luthfi.
Alkisah ada seorang pemuda lulusan kampus di Timur Tengah sudah hafal Al Quran berikut makna dan tafsirnya. Ia pulang ke kampungnya dan didapatinya kakeknya sedang berzikir, berdoa, dan di sampingnya ada bunga-bunga bersama asap putih lembut yang menebarkan aroma. Pemuda itu terkejut dan segera menegur kakeknya: “Kek, bukankah membakar kemenyan dilarang Islam?”

“Apa yang dilarang Islam?” tanya kakeknya.

“Tentu saja membakar kemenyan dan menggunakan bunga-bunga,” jawab cucunya.

“Cucuku, larangan membakar kemenyan dan menggunakan bunga-bunga ini ajaran Islam atau tradisi Arab? Mungkin kau berpikir bahwa apa yang kulakukan ini bukan dari Islam. Tetapi kau harus bisa membedakan mana yang budaya Arab dan mana yang ajaran Islam. Di Arab tidak ada bunga-bunga ini. Tetapi sejak dulu di kampung ini wewangian selalu menggunakan bunga dan kemenyan yang dibakar. Bukankah Rasul menyukai wewangian? Cucuku, wangi itu universal. Tetapi media untuk menciptakan wewangian itu sangat lokal dan tergantung pada budaya masing-masing. Orang boleh menggunakan parfum, sabun, kemenyan, dan sebagainya, tetapi prinsipnya tetap wewangian.”

Sang cucu lalu mengerti bahwa ekspresi memang sangat tergantung pada unsur lokal dan tradisi. Misalnya, penutup aurat. Sesuai dengan tradisinya masing-masing orang bisa menggunakan sarung, jubah, atau celana untuk menutup aurat.

Mengapa kita terburu-buru membuat kesimpulan ketika melihat perbedaan?

Sumber: Buku 250 Wisdoms Membuka Mata, Menangkap Makna karya Prof. Komaruddin Hidayat.

Sabtu, 02 Mei 2020

Epidemi Cholera di Jawa Barat


Lapangan Banteng di Jakarta dinamakan Waterlooplein pada zaman Hindia Belanda atau biasa disebut Tanah Lapang Singa. Di sana ada sebuah sumur yang airnya jernih. Orang Tionghoa suka mengambil air di sumur itu karena sangat baik untuk menyeduh teh. Juga di Kampung Lima (Jalan Asem Lama) di Tanah Abang ada sumur yang airnya jernih di pekarangan rumah. Pemilik rumah itu menjual air per tabung (tong) yang diedarkan dengan gerobak. Air itu sangat laku karena belum ada air leding.

Di kawasan Kota banyak penduduk minum air yang berasal dari sungai di Jembatan Dua.  Air  yang dianggap bersih itu dijual dengan harga sepicis (sepuluh sen) untuk satu kaleng sebesar kaleng minyak tanah. Kaleng-kaleng itu diedarkan dengan perahu oleh para penjual.  Kalau tak mau membeli air minum, penduduk menyimpan air hujan dalam tempayan-tempayan Tionghoa yang besar.

Pada musim kemarau sungai-sungai menjadi dangkal. Air minum dari sungai itu menjadi penyebab munculnya berbagai penyakit, seperti cholera, typhus, dipteri, dan sebagainya. Epidemi cholera di Batavia amat parah, puluhan orang meninggal setiap hari karena penyakit ini. Mayat-mayat  tak sempat dimasukkan ke liang lahat, banyak yang dimasukkan ke peti dan diletakkan di sawah di tepi jalan. Penyakit itu menjalar sampai ke Bogor, Sukabumi, Bandung, dan tempat-tempat lain di sekitarnya. Sedangkan dokter hanya sedikit, diantaranya dokter mata yang juga membuka praktik dokter umum bernama Dokter Hoogenstraten. Dokter ini sering membuat ramuan obat sendiri. Kemudian ada Dokter Paperlard, Dokter Kloon, dan Dokter Godefroi. Obat cholera dari Dokter Godefroi terkenal kemanjurannya. Lama kemudian baru ada Dokter Lim Njat Fa di Batavia.

Salah satu warga Bogor, Tio Tek Hong, dan keluarganya menjadi sangat takut tertular penyakit ini. Mereka pergi ke Sukabumi lalu ke Bandung tapi penyakit cholera menyusul lebih cepat. Berkat karunia Allah mereka selamat, namun ada tiga tetangganya yang meninggal karena cholera. Mereka kemudian kembali dari Bandung ke Bogor. Di Bogor ada pemandian Kota Baru yang  berasal dari sumber air yang  jernih dan dingin. Pemandian itu sangat terkenal dengan dua kolam renangnya. Sumber air itu digunakan sebagai air minum untuk kota Bogor dan Batavia. Epidemi cholera kemudian lenyap, lebih dari seratus tahun kemudian muncul pandemi corona pada 2020.

Foto: Lapangan Banteng yang direnovasi Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan diresmikan Gubernur Anies.

Sumber: buku Keadaan Jakarta Tempo Doeloe, Sebuah Kenangan 1882-1959 karya Tio Tek Hong

Kota


                                                                               KOTA

dalam gema irama baduy
ada desir hidup yang tak lapuk
ritus telah berumur
tapi tak terkubur

Jakarta terlalu riuh, mati kaku
jadi panggung opera sabun
dengan muka pemain kabuki
juga ludruk zaman tangkiwood
ia bersalin jadi banci

apakah presiden terlalu tinggi untuk
mengurus sambal terasi?

*Puisi karya Omi Intan Naomi yang ditulisnya pada 1990. Ia lahir di Denpasar pada 26 Oktober 1970 dan meninggal di Yogyakarta pada 5 Desember 2006. Ia belajar di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, menulis beberapa buku esai sosial dan politik, antara lain Anjing Penjaga (1996), Gegar Gender (2000), Kata Kunci (2001) dan yang berbahasa Inggris: Planet Loco (2002), buku Dog Day Eve (2002). Buku sajaknya: Aku Ingin (1986), Sajak-sajak Omi (1986), Memori (1987), Sebelum Tidur (1987), dan Puisi Cinta (1987).