Sabtu, 10 September 2022

Adem Ayem di Lasem


Lasem di kabupaten Rembang, Jawa Tengah, terkenal dengan batiknya yang memiliki khas warna merah darah ayam. Tapi yang membuat saya tertarik untuk mengunjungi kota itu terutama karena umat semua agama dapat beribadah dengan tenang di sana. Klenteng, masjid, vihara, gereja ada di sana. Juga terdapat banyak pesantren. Tidak ada agama minoritas dan mayoritas. Tidak ada diskriminasi etnis. Penduduk Tionghoa hidup berbaur dengan pribumi. Banyak rumah-rumah yang dibangun sejak zaman kolonial, seperti rumah-rumah di kawasan Laweyan di Solo. 

Saya menginap di Little Tiongkok Heritage Hotel di Lasem pada pertengahan Juni 2022. Tempat penginapan dengan arsitektur Tiongkok yang sangat kental. Instagramable. Menginap di Little Tiongkok memberi kesenangan tersendiri untuk berfoto. Di hotel ini ada terowongan bawah tanah yang berfungsi untuk melarikan diri dari para tentara Jepang pada zaman penjajahan. Di hotel ini juga ada galeri batik dan kafe. Di depan hotel para perempuan pengerajin bekerja membuat batik tulis. “Membutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk menyelesaikan sehelai kain batik,” cerita seorang pembatik di sana.

Makan di resto di hotel ini sangat enak, ada gurame asam manis, cah kangkung, sapo tahu, dan lain-lain. Setiap pagi diselenggarakan pertunjukan barongsai di mana para perempuan berhijab juga ikut di dalam arak-arakan barongsai. “Kami tidak merasakan ada perbedaan etnis Tionghoa dan pribumi. Pertunjukan barongsai kami lakukan sebagai hal yang biasa, wajar, tidak pernah terpikir ada perbedaan agama dan etnis di antara kami,” kata seorang pelatih barongsai di sana. Itulah yang paling menarik dari Lasem menurut saya.










Senin, 05 September 2022

Kontrak Karya untuk PT Freeport Indonesia

Buku memoar Soetaryo Sigit ini terbit pada Juli 2022




















Pada 1936 ahli geologi Jean Jaques Dozy dan timnya melakukan ekspedisi di Gunung Ersberg di Irian Barat (Papua) untuk mengetahui kekayaan apa saja yang ada di sana. Laporan penelitiannya yang diterbitkan Jurnal Geologi Leiden (Leidsche Geologische Mededeelingen) pada 1939 menyebutkan bahwa bumi Irian Barat mengandung sangat banyak emas dan tembaga.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Belanda tidak mengakui kedaulatan Republik Indonesia bahkan tidak mau menyerahkan Irian Barat kepada pemerintah RI. Belanda ingin Irian Barat menjadi wilayah kekuasaan mereka.  Pada 1959 Belanda melakukan ekspedisi lagi di Irian Barat.

Sementara itu Manajer Eksplorasi Freeport Sulphur, Forbes Wilson, membaca laporan Dozy dalam perjalanannya ke Eropa pada 1950-an. Ia sangat terkesan pada hasil penelitian Dozy. Pada 1960 Forbes Wilson dari Freeport Sulphur Company atas izin Pemerintah Belanda melakukan perjalanan eksplorasi ke Gunung Bijih.  Ia  mendapati Gunung Bijih mengandung endapan bijih tembaga terbesar di dunia. Wilson mendesak Dewan Direksi Freeport untuk segera menambang endapan bijih yang terkandung di dalam gunung ini.

Presiden Soekarno ingin Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia. Untuk mengetahui lebih banyak tentang potensi alam di sana Presiden Soekarno menugaskan Soetaryo Sigit untuk memimpin Tim Ilmiah dalam Ekspedisi Cenderawasih pada Desember 1963. Pada waktu itu Sigit adalah Kepala Jawatan Geologi di Bandung. Ekspedisi ini baru pertama kali dilakukan oleh bangsa Indonesia, sebelumnya hanya bangsa asing yang melakukan ekspedisi untuk meneliti kekayaan di berbagai wilayah Indonesia.

Ada dua Tim yang dikirim Presiden Soekarno ke Irian Barat,  yaitu Tim Pendaki yang bertugas menancapkan bendera merah putih di Puncak Sukarno dan Tim Ilmiah yang bertugas meneliti potensi alam meliputi geologi, botani, zoologi, geografi, dan meteorologi.Dengan perjuangan yang sangat  berat di lapangan akhirnya ekpedisi ini berhasil mencapai tujuan. Sigit dianugerahi kenaikan pangkat istimewa dari Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan Chairul Saleh dan Bintang Jasa RI kelas II dari Presiden Soekarno.

Dari kerja keras Tim Ekspedisi Cenderawasih dapat diketahui kekayaan bumi Irian Barat. Pada 1966 Presiden Soekarno digantikan oleh Soeharto. Pada 1966 Presiden Soekarno digantikan oleh Soeharto. Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi dan politik yang parah pada waktu itu. Untuk mengatasi kebangkrutan ekonomi, usaha  pertambangan menjadi hal yang perlu segera dilaksanakan. Pada 1960-an Indonesia belum memiliki tenaga ahli, modal, peralatan dan teknologi pertambangan yang memadai untuk mengambil kekayaan di perut buminya. Masih diperlukan pihak asing untuk melaksanakannya.

Delegasi Freeport dari Amerika tiba di Jakarta untuk mengadakan pembicaraan dengan Pemerintah RI mengenai kemungkinan pemanfaatan Gunung Bijih. Sigit selaku Ketua Panitia Teknis Penanaman Modal Asing atau disebut juga PTPKLN (Panitia Teknis Perundingan Kerjasama Luar Negeri) Departemen Pertambangan (1966-1973) bersama timnya merundingkan kontrak PT Freeport.

Setelah melalui serangkaian perundingan antara Pemerintah Indonesia yang diwakili Departemen Pertambangan, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Bank Indonesia, dan departemen lainnya terkait dengan PT Freeport, akhirnya pada 7 April 1967 Kontrak Karya ditandatangani. Ini merupakan Kontrak Karya Pertambangan yang pertama.

Kontrak Karya Generasi Pertama

Setelah melalui serangkaian perundingan antara Pemerintah Indonesia yang diwakili Departemen Pertambangan, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Bank Indonesia, dan departemen lainnya terkait dengan Freeport, akhirnya pada 7 April 1967 Kontrak Karya ditandatangani. Juru runding yang mewakili Departemen Pertambangan adalah Soetaryo Sigit, Chris Situmorang, Soetjipto, M.L. Manu, Ridwan Machmud, dan Sutojo.

Kontrak Karya Pertambangan dengan Freeport Sulphur Company (FSC) ditandatangani hanya sekitar tiga bulan setelah terbitnya UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, tetapi lebih cepat tujuh bulan sebelum terbitnya UU No.11/1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.

Kontrak Karya untuk Freeport disebut Kontrak Karya Generasi Pertama. Tetapi kemudian pada isi Kontrak Karya berikutnya dibuat berbagai perubahan yang lebih menguntungkan Indonesia. Kontrak Karya berikutnya disebut Kontrak Karya Generasi kedua. Setiap ada perubahan Kontrak Karya maka Kontrak Karya tersebut dinamakan Kontrak Karya Generasi ketiga, keempat, dan seterusnya.

Pada 1967 itu tim dari Indonesia akan mengutarakan prospek investasi di Indonesia di forum internasional di Jenewa. Kontrak Karya dengan Freeport menjadi penting, karena akan menjadi etalase prospek pertambangan Indonesia dalam forum Jenewa. Contoh Kontrak Freeport itu kemudian dibawa Sigit yang bertugas mengutarakan prospek pertambangan Indonesia di forum itu.

Pada 1972, sesudah selesai semua persiapan di lapangan, kegiatan eksplorasi dimulai. Pada 3 Maret 1973 Presiden Soeharto meresmikan tambang tembaga sekaligus proyek PMA pertama di pemerintahan Orde Baru. Pada saat itu kota pemukiman yang dibangun Freeport untuk para pekerjanya dinamakan Tembagapura dan nama Irian Barat diganti menjadi Jayapura.

Banyak Pertanyaan dari Masyarakat

Beroperasinya Freeport di Indonesia menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Sigit sebagai konseptor Kontrak Karya menjelaskan proses Kontrak Karya Pertambangan (KKP) dengan perusahaan yang semula bernama Freeport Sulphur Company (FSC) kepada berbagai kalangan. FSC kemudian menjadi PT Freeport Indonesia Incoporated (FII), dan selanjutnya disebut PT Freeport Indonesia (PTFI) anak perusahaan Freeport McMoran Copper and Gold di Amerika Serikat.

Mengenai FSC masuk ke Indonesia tanpa melalui tender, Sigit menjelaskan bahwa sebenarnya perusahaan ini telah melakukan penyelidikan di Ertsberg, Irian Barat (kini Papua) pada 1960 berdasarkan izin eksplorasi dari pemerintahan Belanda. Pada waktu itu Irian Barat masih berada di bawah pemerintahan Belanda.

Pada 1963, melalui persetujuan yang dibidani Perwakilan Bangsa Bangsa, perwalian atas Irian Barat beralih dari Belanda ke Republik Indonesia. Sesuai persetujuan itu, Indonesia wajib menghormati konsesi pertambangan yang telah diberikan oleh pemerintahan Belanda sebelum 1963. Setelah terjadi perubahan politik di Indonesia pada 1966, pimpinan FSC mulai menjajagi kemungkinan melakukan investasi di Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan perundingan KKP (Kontrak Karya Pertambangan)


Rumusan ketentuan perpajakan diubah pada 1974. Pemberian tax holiday kepada FSC ditiadakan. Selanjutnya perusahaan ini membayar pajak perseroan, disamping iuran tetap (deadrent) dan iuran produksi (royalty) untuk tembaga, emas, dan perak yang dihasilkannya. KKP FSC yang dibuat sebelum terbitnya UU No. 11/1967 ini dalam kalangan pertambangan Indonesia selanjutnya dikenal sebagai Kontrak Karya Pertambangan Generasi Pertama, dan merupakan satu-satunya kontrak untuk generasi itu.

Mengenai mengapa FSC diizinkan mengambil emas dan perak dari penambangannya, Sigit menyatakan bahwa ada kekeliruan dalam penerimaan masyarakat. Kalangan luas berpendapat bahwa menurut KKP-nya, FSC hanya diizinkan menambang tembaga, tidak dibenarkan untuk juga mengambil emas dan peraknya. Hal ini sejak lama dijadikan isu untuk memojokkan FSC. Tidak sedikit pemberitaan mengenai perusahaan ini yang mengatakan, tanpa setahu pemerintah selama ini Freeport mencuri emas dan perak dari tambangnya.

Menurut Sigit, pemberitaan itu jelas keliru. Sejak perundingan KKP-nya, pemerintah telah menyetujui bahwa FSC akan menambang bijih atau pun mineral. Sejak FSC mulai berproduksi, pemerintah selalu mendapat laporan dari perusahaan tersebut berapa besar kadar tembaga, perak, dan emas dalam konsentrat bijih yang diekspornya dari Irian Jaya itu.

Hadirnya usaha pertambangan di suatu daerah menambah pendapatan negara di Pemerintah Pusat maupun daerah dari pemasukan berbagai jenis pajak, retribusi, royalti, dan sebagainya. Bagi masyarakat sekitar, kehadiran perusahaan tambang membuka kesempatan kerja dan berbagai kegiatan baru yang bermanfaat. Daerah yang semula terpencil dan terbelakang menjadi terbuka dan maju dengan dibangunnya infrastruktur dan fasilitas umum seperti rumah sakit, sekolah, pasar, tempat ibadah, dan fasilitas lain, oleh perusahaan tambang.

Semua perusahaan yang memiliki Kontrak Karya Pertambangan yang beroperasi di Indonesia diwajibkan membayar kepada pemerintah, antara lain iuran tetap untuk wilayah Kontrak Karya atau wilayah pertambangan, membayar royalti, dividen, pajak penghasilan badan, pajak penghasilan lainnya, pajak pertambahan nilai, dan berbagai pungutan pajak. Perusahaan pertambangan dapat meningkatkan devisa negara, membangun sarana dan prasarana, peluang kerja bagi karyawan perusahaan, kontraktor dan pemasoknya, peluang-peluang usaha bagi perusahaan lokal di dalam berbagai industri, pembangunan daerah, dan lain-lain.

Soetaryo Sigit dalam buku Pioneers and Milestones of Indonesian Geology karya J.T.van Gorsel