Selasa, 09 Juli 2019

Filosofi Jamu


Bagaimana cara mengetahui apakah penjual jamu gendong masih gadis atau sudah bersuami? Hitunglah berapa jumlah botol jamu yang dibawanya.  Jika botolnya berjumlah ganjil, maka penjual jamu itu masih lajang. Jika botolnya berjumlah genap, itu artinya ia sudah bersuami. Begitu yang ditulis pada sebuah foto jamu gendong yang disimpan di Perpustakaan Nasional.

Menurut Prof. Dr. Moelyono MW dalam buku Etnofarmasi, para pedagang jamu gendong selalu membawa delapan jenis jamu. Ini merupakan representasi dari delapan penjuru angin. Delapan jenis jamu itu adalah: kunir asem, beras kencur, cabe puyang, pahitan, kunci suruh, kudu laos, uyup-uyup (gepyokan), dan sinom.

Kedelapan jenis jamu gendong itu diminum dalam urutan rasa, dimulai dari manis-asam, pedas-hangat, pedas pahit, tawar, kemudian manis kembali. Urutan rasa itu dalam budaya Jawa sarat dengan filosofi kehidupan. Rasa manis adalah representasi dari sebagian rasa yang dialami masa balita. Kemudian rasa asam. Ini  merupakan representasi dari kondisi remaja berumur 11 – 15 tahun, masa ketika manusia melihat samar-samar kehidupan yang sebenarnya.

Fase kehidupan selanjutnya adalah masa pradewasa yang dilambangkan dengan beras kencur. Beras kencur dimaknai sebagai bebering alas tan kena diukur atau luasnya dunia belum bisa dikira-kira. Ini melambangkan fase memasuki gerbang kedewasaan . Ini masa ingin tahu dan egois tanpa memikirkan akibatnya. Rasa beras kencur yang sedikit pedas menggambarkan bahwa manusia baru merasakan sedikit saja rasa kehidupan yang sebenarnya. Pada fase ini dikenal istilah manusia yang masih bau kencur.

Rasa cabe puyang adalah rasa pahit dan pedas yang dialami manusia dalam kehidupan dewasa. Semakin tua semua rasa pahit dan pedas itu hilang dan berubah menjadi tawar. Pada manula semua rasa asam, pedas, dan pahit berubah menjadi manis kembali.












Berbeda dengan cara tradisional, Acaraki menyajikan jamu dalam cara modern. Bahan-bahan untuk membuat jamu tidak direbus (digodog), melainkan dipanggang atau dimasukkan ke dalam oven, dikeringkan untuk sterilisasi.

Untuk menikmatinya, jamu bisa diseduh langsung dengan air (jamu tubruk), disaring dan ditetes (jamu tetes), espresso, dan sebagainya. Rasanya pun beraneka.  Ada beras kencur yang dicampur dengan susu dan krimer, ada kunyit asam yang dicampur dengan air soda (Golden Sparkling), dan sebagainya. Berasnya pun berbeda-beda. Beras hitam dan beras putih menghasilkan rasa yang berbeda. Anda bisa duduk dengan nyaman sambil menikmati sensasi rasa jamu yang disajikan barista di Acaraki, Gedung Kertaniaga 3, kawasan Kota Tua Jakarta.

Sang Merah Putih


Merah darah menyiram bumi
Jasad moyangku terkapar rebah
Putih kain pembalut diri
beliau syahid berkafan darah

Merah darah sekujur badan
Panas mengalir reda tiada
putih hati muda pahlawan
ke Nusa tetap terikat cinta

Merah rona nirmala petang
memayung alam tumpah darahku
Putih suci melati kembang
Lambang kecantikan Nusantaraku

Merah putih bendera kita
perlambang jaya Nusa berdaulat
Merah gagah campin perwira
Putih suci... Merdeka tetap!!!



* Puisi karya Talsya yang ditulisnya pada 1946. Ia lahir di Aceh pada 23 Juni 1925. Teuku Ali Basyah Talsya mengawali karir sebagai Redaktur Atjeh Sinbun (1942 – 1945) lalu bekerja di media lain termasuk Antara. Ia  menjadi juru bicara Gubernur Aceh (1964 – 1968) dan menjabat Kepala Jawatan Penerangan Daerah Istimewa Aceh. Ia menulis puisi, cerpen,
novel, biografi, dan buku  budaya dan sejarah. Buku sajaknya Lambaian Kekasih dan Musim Badai.