Jumat, 16 Juli 2021

Proyek MHT

Terminal bus Lapangan Banteng, Blok M, Cililitan, Pulogadung, Grogol di Jakarta dibangun pada zaman Gubernur Ali Sadikin (1966 – 1977). Selain terminal, shelter, dan real estate, Gubernur Ali Sadikin membuat Taman Ismail Marzuki, Gelanggang Mahasiswa, Gelanggang Remaja, Jakarta Fair, LBH, dan lain-lain. Masjid di Tanah Abang yang dibangunnya pernah mendapat penghargaan Aga Khan. Tetapi yang paling dibanggakannya adalah proyek MHT (Mohammad Husni Thamrin), proyek yang membangun kampung-kampung di Jakarta, yang kemudian ditiru di 200 kota di Indonesia.

Ia bercerita kepada para wartawan,“Dulu ketika masih menjadi siswa Sekolah Pelayaran Tinggi pada waktu libur akhir pekan saya ke rumah paman di kampung Bukit Duri. Saya lihat kampung itu bersih, jalannya bagus dan teratur. Ketika menjadi Gubernur dan saya akan memperbaiki daerah-daerah kumuh saya teringat Bukit Duri. Dulu Belanda menjadikan Bukit Duri sebagai koridor daerah Menteng untuk mencegah masuknya wabah penyakit ke Menteng yang merupakan daerah hunian orang-orang Belanda. Kemudian saya datang ke Bappenas tapi ditolak karena perbaikan kampung bukan prioritas. Pada waktu itu prioritasnya adalah menekan inflasi, mengobati ekonomi kita yang sakit. Akhirnya lima tahun pertama saya menggunakan dana APBD.”

“Ketika baru diangkat menjadi Gubernur, dua hari saya keliling Jakarta naik bus kota. Pada waktu hujan saya ikut berdesakan dengan para penumpang bus. Bau. Jakarta perlu banyak bus. Juga perlu shelters agar masyarakat tidak kepanasan dan kehujanan selama menunggu bus. Saya punya rencana, saya cari dananya, dan rencana itu langsung saya wujudkan.”

Sumber: buku Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab

Sabtu, 03 Juli 2021

Soekarno Dianggap Seperti Dukun

 


Di pengasingannya di Bengkulu Soekarno dianggap sebagai orang cerdik pandai. Orang datang minta nasihat kepadanya. “Ada kerbau milik seorang Marhaen yang dituntut oleh seorang pegawai. Ia hampir putus asa karena baginya kerbau itu sangat besar artinya. Ia datang kepadaku dan menganggapku seperti dukun,” cerita Soekarno kepada Cindy Adam, penulis biografinya. Soekarno menasihati sang Marhaen: “Ajukan persoalan ini ke pengadilan. Aku akan mendoakan.” Tiga hari kemudian kerbau itu kembali.

“Saya sudah tujuh bulan tidak haid,” kata seorang perempuan yang datang menangis ketika menemui Soekarno.

“Apa yang dapat saya lakukan? Saya bukan dokter,” jawab Soekarno.

“Bapak menolong semua orang. Bapak adalah juru selamat kami. Saya percaya kepada Bapak. Saya merasa sangat sakit. Tolonglah, tolonglah, tolonglah saya.”

Perempuan itu sangat percaya kepada Soekarno. “Aku tidak dapat berbuat sesuatu yang akan mengecewakannya. Karena itu kubacakan untuknya surah pertama dari Alquran ditambah dengan doa yang maksudnya sama dengan Bapak kami yang ada di surga,” cerita Soekarno. Perempuan itu kemudian sembuh.

Tetangga Soekarno, seorang pemerah susu, sangat membutuhkan uang. Ia yakin dengan mengemukakan masalahnya kepada Soekarno, masalahnya dapat diselesaikan. Ia benar. Soekarno keluar dan menggadaikan bajunya untuk memberikan tiga rupiah enam puluh sen yang dibutuhkan tetangganya. “Di mata orang kampung yang bersahaja, aku lambat laun dianggap seperti dewa. Apa yang ditunjukkan Fatmawati kepadaku adalah pemujaan kepahlawanan. Umurku lebih dua puluh tahun darinya. Ia memanggilku Bapak, demikian untuk seterusnya.”

Di rumah Soekarno bersama Inggit Garnasih di Bengkulu ada radio di kamar belakang. Pada suatu malam teman-teman mereka mendengarkan radio di rumah itu. Fatmawati juga datang untuk mendengarkan, duduk di tempat kosong di sebelah Soekarno di atas divan. Malam itu juga Inggit menyatakan kepada Soekarno: “Aku merasakan ada percintaan sedang menyala di rumah ini. Jangan coba-coba menyembunyikannya. Seseorang tidak bisa berbohong dengan sorot matanya yang menyinar kalau ada orang lain mendekat. Menurut adat kita, perempuan tidak begitu rapat kepada laki-laki. Anak-anak gadis, menurut kebiasaan lebih dekat kepada Ibu, bukan kepada Bapak.”

Tahun berganti tahun. Fatmawati tumbuh menjadi gadis cantik. Umurnya 17 tahun sementara Inggit sudah mendekati usia 53 tahun. “Aku masih muda, kuat, dan sedang berada pada usia yang utama dalam kehidupan. Pada suatu pagi aku terbangun dengan keringat dingin. Aku menyadari bahwa aku kehilangan Fatmawati, aku membutuhkannya,” tutur Soekarno.

Hubungan Inggit dan Soekarno menjadi tegang. “Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Oleh karena itu aku mencari keasyikan dengan bekerja. Aku mengerjakan rencana rumah untuk rakyat. Aku mengajar guru-guru Muhammadiyah. Aku mengorganisir Seminar Alim-Ulama Antar-Pulau Sumatera- Jawa dan berhasil mengemukakan kepada mereka rencana memodernkan Islam.”

Soekarno juga menyibukkan diri dengan menulis artikel. Karena ia dilarang menulis oleh pemerintah Hindia Belanda, ia memakai nama samaran Guntur atau Abdurrachman. Masalah muncul karena ia tidak mengetik. Torehan tulisan tangannya mudah dibaca dan sudah diketahui banyak orang. Ia berusaha mengubahnya sedikit tapi ternyata masih terlihat bentuk-bentuk huruf yang sama. “Karena itu aku mengubahnya sama sekali. Aku menulis dengan huruf-huruf cetak atau menulisnya dengan tangan kiri.”