Minggu, 26 November 2017

Pengorbanan Para Pahlawan

Masyarakat suku Dayak di pedalaman Kalimantan tidak tahu bahwa Indonesia sudah merdeka. Kalimantan (Borneo) pada waktu itu diduduki tentara Angkatan Laut Jepang, sementara Jawa dan Sumatera diduduki Angkatan Darat Jepang. Penjajah Jepang menyita dan merusak alat komunikasi berupa radio, dengan harapan masyarakat Kalimantan tidak mendengar berita dan terisolasi dari dunia luar. Namun para pejuang Indonesia berhasil menyelundupkan beberapa radio. Berita Jepang kalah perang dengan tentara Sekutu dan berita kemerdekaan Indonesia akhirnya diketahui masyarakat Kalimantan. 

Pada 22 Agustus 1945 Presiden Soekarno menetapkan wilayah Indonesia menjadi delapan propinsi dengan ibukotanya: Jawa Barat (Bandung), Jawa Tengah (Semarang), Sumatra (Medan), Sulawesi (Makassar), Maluku (Ambon), Sunda Kecil (Singaraja), dan Borneo (Banjarmasin). Papua masih dijajah Belanda pada waktu itu.

Meski Indonesia sudah merdeka, namun tentara Australia sebagai tentara sekutu mendarat di Banjarmasin pada 17 September 1945. Sebanyak 160 tentara NICA (Nederlandsch Indische Civiele Administratie) ikut mendarat di sana. Pada 24 Oktober 1945 Panglima Tentara Australia Jenderal Sir Thomas Albert Blamey mengumumkan, Kalimantan dikembalikan kepada NICA. Dengan pengumuman itu Kalimantan yang kaya batubara kembali dijajah Belanda. Rakyat Kalimantan melawan, ribuan pahlawan berguguran.



Di pulau-pulau lain perlawanan terhadap penjajah juga tak kalah sengit. Bung Tomo mengobarkan semangat para pemuda di Surabaya melalui siaran radio. Para pejuang mengorbankan diri demi negara, bukan mengorbankan negara demi diri sendiri. Semoga para pahlawan mendapat kedamaian abadi dan tempat mulia di sisi Allah. Amin.

Senin, 20 November 2017

Peci Soekarno Digandakan dengan Ludah





Menjelang Lebaran Soekarno menemui mantan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdoelgani untuk utang uang. “Cak, tilpuno Anang Tayib. Kondo-o nek aku gak duwe duwik (Cak, teleponkan Anang Tayib. Katakan bahwa aku tak punya uang),” kata Soekarno. Anang adalah keponakan Roeslan, tinggal di Gresik, pengusaha peci merk Kuda Mas yang sering dikenakan Soekarno. 

"Beri aku satu peci bekasmu. Saya akan lelang," kata Roeslan Abdoelgani.

 
“Bisa laku berapa, Cak?” tanya Soekarno.


Wis tah, serahno ae soal iku nang aku. Sing penting rak beres tah (Sudahlah, serahkan saja soal itu pada saya. Yang penting ‘kan beres)” jawab Roeslan.

Roeslan lalu menyerahkan kepada Anang satu peci bekas dipakai Soekarno. Roeslan heran karena jumlah peserta lelang begitu banyak, semuanya pengusaha asal Gresik dan Surabaya. Tapi yang membuatnya sangat heran ternyata Anang melelang tiga peci. 

“Saudara-saudara,” kata Anang. “Sebenarnya hanya satu peci yang pernah dipakai Bung Karno. Tetapi saya tidak tau lagi mana yang asli. Yang penting ikhlas atau tidak?”

“Ikhlas!!!” seru para peserta lelang.

“Alhamdulillah,” sahut Anang.


Dalam waktu singkat terkumpul uang sepuluh juta rupiah. Semua uang itu segera diserahkan Anang kepada Roeslan. 

Asline rak siji se (Yang asli ‘kan satu)” kata Roeslan.

“Ya. Sebenarnya dua peci lainnya akan saya berikan untuk Bung Karno,” kata Anang.

“Tapi kedua peci itu jelek.”

“Memang sengaja saya buat jelek. Saya ludahi, saya basahi, saya kasih minyak, supaya kelihatan bekas dipakai.”

“Kurang ajar kamu, Nang. Kamu menipu banyak orang.”

“Kalau ndak begitu mana mungkin bisa dapat banyak uang.”

Roeslan kemudian menyerahkan semua uang hasil lelang kepada Soekarno.

“Cak, kok banyak banget uangnya,” kata Soekarno heran.

“Itu semua akal-akalan Anang,“ kata Roeslan. Ia menceritakan bagaimana cara Anang menggandakan peci.

“Kurang ajar Anang. Kalau begitu yang berdosa saya atau Anang?” tanya Soekarno.

“Anang.” jawab Roeslan.”Uang begitu banyak akan dipakai untuk apa?”

“Untuk zakat fitrahku. Bawalah semua uang ini ke makam Sunan Giri. Bagikan untuk orang melarat di sana,” jawab Soekarno. 

“Kenapa tidak diserahkan ke pengurus masjid saja?” tanya Roeslan.

Soekarno menjawab: “Jangan. Banyak pengurus masjid yang korupsi.”
 

Sumber: buku Suka Duka Fatmawati Sukarno Seperti Diceritakan kepada Kadjat Adrai

Minggu, 19 November 2017

Persahabatan Soekarno dan Hatta


Dwi tunggal Soekarno dan Hatta akhirnya berpisah secara baik-baik karena perbedaan pandangan politik. Muhammad Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956. Perpisahan yang disesali banyak pihak karena keduanya masih dibutuhkan bangsa Indonesia. Tapi perbedaan pandangan politik tak membuat persahabatan berakhir. Mereka tak sejalan hanya dalam politik, tapi silaturahmi tetap dipertahankan. 

Pada waktu Guntur Sukarnoputra akan menikah dengan Henny Harsa pada Februari 1970, Sukarno sangat ingin menghadiri pernikahan putera sulungnya.Tapi Soekarno sedang ditahan pemerintahan Soeharto di Wisma Yaso dalam keadaan sakit. Sebulan sebelum akad nikah berlangsung Soekarno melalui istrinya, Fatmawati, meminta kepada Kodam V Jaya agar dizinkan menghadiri pernikahan anaknya di Bandung. Tapi permintaan Soekarno ditolak dengan alasan keamanan. Situasi politik tak memungkinkan ia pergi ke Bandung. Soekarno sedih dan pasrah. “Bapak sering menangis dalam kesunyiannya di Wisma Yaso,” kata Fatmawati. 

Melalui Fatmawati, Soekarno minta agar Muhammad Hatta mau mewakilinya dalam pernikahan Guntur dan Henny. Hatta langsung menyatakan bersedia memenuhi permintaan Soekarno. Pernikahan Guntur tanpa dihadiri ayahnya. “Bung Karno adalah bapak dari kelima anak saya. Saya berharap beliau bisa mendampingi pernikahan semua anaknya. Tapi keinginan manusia hanya sebatas harapan umat, sedangkan keputusan sepenuhnya hanya milik Allah,” ujar Fatmawati. 

Meski Soekarno tidak diizinkan menghadiri acara akad nikah anaknya di Bandung, tetapi beliau diizinkan hadir pada acara resepsi perkawinan di rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya 26, Jakarta. Pada waktu itu kondisi Soekarno sudah sangat memprihatinkan. Ia tak sanggup berjalan sendiri, perlu dipapah. Dalam kondisi lemah ia tetap diawasi intel dan petugas Kodam V dengan ketat, baik berseragam resmi maupun sipil. Banyak wartawan luar dan dalam negeri ingin memotret Soekarno. Beberapa tamu meneteskan air mata melihat kondisi proklamator kemerdekaan RI. Ia duduk di kursi dan dengan suara lirih memberi nasehat kepada puteranya: “Jadilah manusia yang bermanfaat.” Guntur menitikkan air mata. Para hadirin menangis terharu. Hari itu ternyata adalah pertemuan terakhir Fatmawati dengan Soekarno. Empat bulan setelah acara itu Bung Karno pergi selamanya, pulang menemui Yang Maha Penyayang.
 
Hubungan keluarga Soekarno dan Hatta tak berhenti setelah itu. Pada Maret 1980 Hatta dirawat di RS Cipto Mangunkusumo. Fatmawati segera menjenguknya. Dua hari sebelum beliau wafat, Fatmawati dan Guruh Soekarnoputra seharian menemani Hatta. Wakil Presiden itu wafat pada Jumat, 14 Maret 1980. Fatmawati hadir dalam acara pengajian tausiah beliau pada hari ke-tiga, ke-tujuh, dan ke-40. 

Dwi-tunggal Soekarno-Hatta sama-sama pernah dipenjara penjajah Belanda dan diasingkan di luar Jawa. Fatmawati mengatakan: “Orang-orang besar sering kali mengalami cobaan-cobaan yang besar. Itu saya yakini. Keyakinan itu saya tanamkan kepada semua anak saya. Saya selalu menasehati agar mereka menjadi manusia yang taqwa kepada Allah, menjadi orang yang selalu sabar dan tabah.” 

Sumber: buku ‘Suka Duka Fatmawati Sukarno Seperti Diceritakan kepada Kadjat Adrai’

Kamis, 26 Oktober 2017

Sumpah Pemuda



Sejak perkumpulan Boedi Oetomo berdiri pada 1908 pergerakan kepemudaan di tanah air mulai terorganisir dengan baik. Mahasiswa Indonesia di Belanda mendirikan Indisch Vereneging pada 1908. Sementara di tanah air terus bermunculan organisasi kepemudaan dan kepanduan. 
Tampilnya para tokoh muda dalam pergerakan nasional adalah salah satu dampak dari politik etis oleh Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-20. Politik etis ini memberi kesempatan kepada para pemuda Indonesia untuk menempuh pendidikan Barat. Pendidikan ini kemudian mendorong para pemuda Indonesia untuk memerdekakan bangsa Indonesia.

Pada 7 Maret 1915  berdiri organisasi pemuda pertama di kalangan masyarakat kota dengan nama Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia). Tri Koro Dharmo didirikan Satiman Wirjosandjojo di gedung Stovia. Pada Kongres Pertama di Solo,12 Juni 1918, Tri Koro Dharmo diubah namanya menjadi Jong Java. Kemudian berdiri organisasi sejenis seperti Jong Sumatranen Bond, Pasundan, Jong Ambon, Jong Celebes, Sekar Rukun, Pemoeda Kaoem Betawi, dan lain-lain.  

 

Para tokoh Perhimpunan Indonesia di Belanda kemudian membuat Manifesto Politik pada 1925. Prinsip-prinsip manifesto itu adalah unity, liberty, and equality. Manifesto ini berdampak besar di tanah air.

Pada 15 November 1925 diadakan pertemuan di Jakarta yang dihadiri para pemuda dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Bataks Bond, Pelajar Minahasa, Sekar Rukun, dan peminat perorangan. Pertemuan itu untuk membentuk panitia yang bertugas mengadakan Kongres Pemuda pertama. Tujuannya untuk kerjasama diantara berbagai organisasi pemuda di tanah air untuk persatuan Indonesia. Kongres Pemuda pertama diadakan di Jakarta pada 30 April – 2 Mei 1926.

Para tokoh pemuda di Bandung seperti R.M Joesoepadi Danoehadiningrat, Soegiono, Mr. Soenarno dan Mr. Sartono sependapat bahwa perlu ada semacam koreksi pergerakan pemuda. Sudah tiba waktunya untuk membentuk organisasi yang berazaskan kebangsaan dan netral terhadap agama.
Gagasan ini diwujudkan pada 20 Februari 1927 melalui pembentukan Jong Indonesia di Bandung. Organisasi ini mempunyai cabang di delapan kota besar: Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Solo, Bogor, dan Purwakarta. 

Nama Jong Indonesia yang dianggap kebarat-baratan lalu diubah menjadi Pemuda Indonesia pada 28 Desember 1927. Seiring dengan semangat kebangsaan, bahasa Melayu dianjurkan digunakan untuk acara-acara perkumpulan. 

Setelah Kongres pertama mereka mengadakan serangkaian pertemuan untuk mencapai cita-cita persatuan dan kemerdekaan Indonesia. Kongres ke-II diadakan pada 27 – 28 Oktober 1928 di gedung Kramat 106, Jakarta. Melalui Kongres Pemuda ke-II organisasi kepemudaan di tanah air mengikrarkan tekad persatuan. Ikrar pada 28 Oktober 1928 itu kita kenal sebagai Sumpah Pemuda.

Fotografer: Endro S. Markam

Rabu, 25 Oktober 2017

Lagu Indonesia Raya Direkam oleh Yo Kim Tjan




Wage Rudolf Soepratman menghubungi para pemilik perusahaan rekaman yang ada di Batavia, yaitu Odeon, ThioTek Hong, dan Yo Kim Tjan, untuk merekam lagu Indonesia Raya. Hanya Yo Kim Tjan yang bersedia merekam lagu Indonesia Raya karena yang lainnya takut ditangkap Belanda. Pada waktu itu Belanda sudah mengendus gerakan bawah tanah yang dilakukan pemuda-pemudi Indonesia. WR Soepratman adalah pekerja paruh waktu sebagai pemain biola di orkes Populer yang dipimpin Yo Kim Tjan. 

Selain itu WR Soepratman juga bekerja sebagai wartawan lepas surat kabar Sinpo, koran yang diterbitkan masyarakat Tionghoa. Sin Po adalah surat kabar pertama yang mempublikasikan teks lagu Indonesia Raya sesudah dikumandangkan WR Soepratman pada Hari Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928.

Yo Kim Tjan mengusulkan agar rekaman lagu Indonesia Raya dibuat dalam dua versi, yaitu versi asli yang dinyanyikan langsung oleh WR Soepratman sambil bermain biola. Versi ke-dua adalah yang berirama keroncong yang nyaris tidak banyak diketahui masyarakat. Versi keroncong dimaksudkan agar semua orang Indonesia sudah tahu irama lagu kebangsaan bila kelak dikumandangkan.
Kedua lagu itu direkam di rumah Yo KimTjan di Passer Baroe, di daerah Jalan Gunung Sahari, Batavia,  dibantu seorang teknisi berkebangsaan Jerman. Master rekaman piringan hitam berkecepatan 78 RPM yang versi asli suara WR Soepratman disimpan dengan hati-hati oleh Yo Kim Tjan. Hanya versi keroncong yang kemudian dikirim ke Inggris untuk diperbanyak.

Setelah lagu Indonesia Raya dikumandangkan oleh WR Soepratman pada 28 Oktober 1928, Belanda menjadi panik. Mereka menyita semua piringan hitam versi keroncong baik yang sudah sempat beredar maupun yang masih dalam perjalanan dari London ke Batavia. Belanda tidak mengira bila lagu yang dinyanyikan oleh WR Soepratman sebetulnya sudah direkam setahun sebelumnya tanpa ada yang tahu. 

Master lagu ini luput dari pengetahuan penjajah Belanda dan Jepang. Puteri sulung Yo Kim Tjan, Kartika, menyimpan masternya dengan sangat hati-hati. Sesuai amanah WR Soepratman yang meminta Yo Kim Tjan untuk menyelamatkan master lagunya agar bisa didengungkan pada waktu Indonesia merdeka. Pada 1942 keluarga Yo Kim Tjan membawa dan menyelamatkan master lagu itu dalam pengungsiannya ke Krawang, Garut, dan lain-lain.



Pada 1953 Yo Kim Tjan ingin memperbanyak lagu asli Indonesia Raya. Ia menghadap ke Pemerintah yang ketika itu diwakili Maladi sebagai ketua RRI yang berkuasa atas pengeluaran izin rekaman. Namun permohonan Yo Kim Tjan ditolak. Kemudian pada 1957 master itu  diminta dengan alasan ingin dikeluarkan hak ciptanya, tapi ternyata lagu itu dinyatakan disita negara. Tragisnya master asli yang luput dari penyitaan penjajah Belanda dan Jepang ternyata hilang tak berbekas di tangan anak bangsa sendiri. 

Syukurlah sekeping piringan hitam lagu Indonesia Raya versi keroncong ini bisa diselamatkan keluarga Yo Kim Tjan.  Rekaman versi keroncong bisa didengarkan di Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta.

Sumber: artikel karya Udaya Halim, pemilik Museum Benteng Heritage, berdasarkan wawancaranya dengan Kartika.

Fotografer: Endro S.Markam
Lokasi: Museum Sumpah Pemuda

Selasa, 03 Oktober 2017

Go Tik Swan Panembahan Hardjonagoro




Go Tik Swan adalah tokoh penting dalam sejarah perbatikan Indonesia. Gelar Panembahan Hardjonagoro diberikan oleh Keraton Kasunanan Surakarta kepada Go Tik Swan atau Hardjono Go Tik Swan. Tokoh batik ini pada 1955 mengemban amanah dari Presiden Soekarno untuk mengembangkan Batik Indonesia, yaitu corak batik yang lebih nasionalistik berupa penggabungan rasa persatuan, rasa nasionalisme, dan rasa romantisme. 

Go Tik Swan bersama Presiden Soekarno
Pesan Presiden Soekarno untuk menciptakan Batik Indonesia adalah tugas besar yang harus dilaksanakan Go Tik Swan. Presiden Soekarno dan  Hardjono Go Tik Swan berkenalan dalam acara Dies Natalis UI pada 1955. Acara itu dimeriahkan pagelaran seni tari di Istana Negara. Presiden Soekarno melihat tarian Gambir Anom begitu indah dibawakan oleh Hardjono Go Tik Swan. Presiden lebih kagum lagi setelah mengetahui bahwa yang menarikannya adalah pemuda keturunan Tionghoa. Pada zaman itu tidak lazim keturunan Tionghoa mempelajari tarian Jawa.

Go Tik Swan mendatangi hampir seluruh pembatikan di Jawa. Ia juga berkunjung ke makam-makam leluhur namun belum menemukan ide untuk Batik Indonesia. Ketika menginap di rumah Walter Spies, pelukis asal Jerman yang tinggal di Bali, ia memperoleh ide untuk menciptkan Batik Indonesia.

Batik Indonesia karya Go Tik Swan adalah perpaduan batik klasik keraton Surakarta dan Yogyakarta dengan gaya pesisir Jawa Tengah terutama Pekalongan. Teknik pewarnaan soga pada batik Surakarta dan Yogyakarta dipadukan dengan teknik pewarnaan multiwarna pada batik pesisir.

Go Tik Swan Panembahan Hardjonagoro  lahir di Surakarta pada 11 Mei 1921, anak sulung dari pasangan Go Dhiam Ik dan Tjan Ging Nio, keluarga Tionghoa yang kaya. Keluarga ibunya adalah produsen batik yang mempunyai empat pembatikan besar dan mempekerjakan ratusan pembatik. Eyang buyutnya adalah kepala kampung (Wijk Meester) Tionghoa di Surakarta. Budaya Jawa merasuk dalam diri Go Tik Swan sehingga pada awal masuk sekolah ia sudah menambahkan nama ‘Hardjono’ pada 

Go Tik Swan adalah empu dunia pernbatikan karena karya-karya batiknya yang bernilai tinggi. Ia dengan teliti, tekun, sabar, dan konsisten mengarahkan para pembatik pilihan sehingga menghasilkan batik karya adiluhung. Go Tik Swan Panembahan Hardjono meninggal di  kota kelahirannya  pada 5 November 2008.