Senin, 02 Januari 2023

Penggalan Kepala di Bambu Runcing

Endang Kustantinah adalah guru yang tinggal di Tangerang, Banten. Ia selalu menangis bila mengenang ayahnya yang hilang. Lebih dari sepuluh ribu orang yang dituduh sebagai PKI dibantai di Boyolali, tempat kelahiran Endang, sejak peristiwa G30S pada 1965.

Militer bersama orang-orang yang beringas menangkap Siswowitono, ayah Endang. Siswowitono adalah anggota DPRD sekaligus sekretaris desa dan ketua Persatuan Pamong Desa Indonesia. Pernah datang petani dari dusun Cepogo di lereng gunung Merapi ke rumah Siswowitono untuk mengucapkan terima kasih. Berkat perjuangan Siswowitono, petani itu akhirnya mendapatkan tanah garapan bekas perkebunan karet yang ditinggalkan Belanda. Di desanya Siswowitono sangat dihormati. Ia banyak bekerja untuk kesejahteraan warga desa.

Orang-orang yang dituduh sebagai PKI dikejar-kejar, dipukuli, dibunuh, dipenggal. Apa salah mereka? Tak ada proses pengadilan untuk membuktikan kesalahan mereka. Endang menyaksikan puluhan laki-laki diikat tangannya dengan tali goni. Tubuh dan kepala mereka berlumuran darah. Ada yang bertelanjang dada dan bercelana kolor saja. Mereka digiring seperti kambing ke kantor kelurahan sambil dicambuki. Banyak di antara mereka adalah teman ayahnya.

Ia melihat orang-orang berwajah garang mengacungkan golok, klewang, celurit, bambu runcing, dan benda-benda tajam lainnya. Ada yang menenteng penggalan kepala. Yang lebih mengerikan, di setiap sudut jalan ada penggalan kepala berlumuran darah di ujung bambu runcing.

Endang yang pada waktu itu berusia delapan tahun berlari ke rumah. Didapati ibunya sedang mendekap adik bungsunya yang masih kecil. “Ibu, di mana Ayah? Di mana Ayah? Banyak teman Ayah yang dikeroyok dan dipukuli.” Ayahnya yang berusia 47 tahun sudah beberapa hari meninggalkan rumah. Ada yang memberi tahu bahwa ayahnya di kantor Komando Distrik Militer Boyolali. Ada juga yang mengatakan, ayahnya memenuhi panggilan aparat militer. Mungkin pula ayahnya bersembunyi di suatu tempat untuk menghindari amuk massa. Kakak-kakak Endang juga sudah mengungsi beberapa hari lalu, entah ke mana.

Minggu ketiga Oktober 1965 menjelang magrib Siswowitono pulang. Namun sehabis Isya segerombolan orang yang haus darah membawa pentungan, linggis, tombak, golok, dan senjata tajam lainnya. Mereka berteriak-teriak: “Tangkap PKI!” Tanpa memberi kesempatan kepada Siswowitono untuk berpamitan kepada keluarganya, seorang tentara membentak: “Cepat keluar!!! Ikut aku!!!” Ia digiring entah ke mana. “Jaga baik anak-anak,” teriak Siswowitono kepada istrinya dari kejauhan. Sejak itu keluarganya tak pernah bertemu lagi dengannya meski dalam bentuk batu nisan.

Itu salah satu kisah kejahatan pada zaman Orba yang saya baca dari buku ‘Tuhan Menangis, Terluka’ karya Martin Aleida.

 

 

Penyair yang Dilenyapkan

Ibu pernah mengusirku minggat dari rumah tetapi menangis ketika aku susah
Ibu tak bisa memejamkan mata bila adikku tak bisa tidur karena lapar
Ibu akan marah bila kami merebut jatah makan yang bukan hak kami
Ibuku memberi pelajaran keadilan dengan kasih sayang dan ketabahan
Ibuku mengubah rasa sayur murah jadi sedap
Ibu menangis ketika aku mendapat susah
Ibu menangis ketika aku bahagia
Ibu menangis ketika adikku mencuri sepeda
Ibu menangis ketika adikku keluar penjara
Ibu adalah hati yang rela menerima selalu disakiti oleh anak-anaknya
penuh maaf dan ampun kasih sayang
Ibu adalah kilau sinar kegaiban Tuhan membangkitkan haru insan dengan kebajikan
Ibu mengenalkan aku kepada Tuhan
(Solo, 1986)

Puisi ‘Ibu’ di atas adalah karya penyair Widji Thukul. Ia dilenyapkan pada 1998 dan jazadnya tak ditemukan sampai kini. Ia lahir di Surakarta pada 26 Agustus 1963, menjadi aktivis yang menolak penguasa Orde Baru di bawah Presiden Suharto. “Hanya satu kata, lawan.” Itu adalah satu baris puisinya yang sangat terkenal dan menjadi jargon para demonstran menjelang runtuhnya rezim Orde Baru.
Ia menerima Wertheim Encourage Award dari pemerintah Belanda pada 1991 dan pernah berkeliling di Amerika membacakan puisi. Widji Thukul mendapatkan Yap Thiam Hien Award pada 2002 yang tak bisa diterima dengan tangannya, sebab tak ada yang tahu di mana ia berada apakah ia masih hidup atau sudah tiada. Puisi-puisinya diterbitkan meda massa dalam dan luar negeri. Karya-karyanya: Puisi Pelo, Darma dan Lain-lain (antologi puisi), Kicau Kepodang (1993), Thukul Pulanglah (diterbitkan pada 2000), Aku Ingin Jadi Peluru (diterbitkan pada 2000).
Meski ia sudah dihabisi dengan kejam oleh rezim Suharto, namun kata-katanya tak pernah bisa dibinasakan. Ini adalah salah satu puisi karyanya pada 1997.
AKU MASIH UTUH DAN KATA-KATA BELUM BINASA
aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa
puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
kau masih hidup
aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa