Minggu, 11 Desember 2022

Kasunanan Surakarta dan Istana Mangkunegaran


Pakubuwono II bersama adiknya, Pangeran Mangkubumi, bersekutu dengan Belanda untuk menyingkirkan Pangeran Aryo Mangkunegoro, ayah Raden Mas Said. Setelah Pakubuwono II wafat perseteruan dilanjutkan keturunan mereka, yaitu Pakubuwono III lawan Raden Mas Said.

Belanda ikut campur dalam masalah-masalah keluarga kerajaan demi kepentingan Belanda. Pada 13 Februari 1755 dibuat Perjanjian Giyanti yang memecah wilayah kerajaan Mataram Islam menjadi dua: Pakubuwono III mendapat bagian wilayah timur dengan ibu kota Surakarta dengan sebutan Keraton Kasunanan Surakarta dan Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I mendapat wilayah barat dengan Kasultanan Ngayogyakarta.

Sementara itu Raden Mas Said terus menerus melawan Belanda dan keluarga kerajaan. Akhirnya Belanda minta bantuan Pakubuwono III agar mengajak Raden Mas Said berunding secara kekeluargaan.

Pada 24 Februari 1757 di desa Tunggon terjadi perdamaian Pakubuwono III dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa. Perdamaian dua saudara sepupu itu mengakhiri pemberontakan RM Said melawan kerajaan Mataram Islam sejak beribukota di Kartasura sampai pindah ke Surakarta.

Setelah perdamaian itu Raden Mas Said yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro I berkuasa di Pura atau Istana Mangkunegaran. Jarak istana Mangkunegaran sekitar satu kilometer dari Keraton Kasunanan Surakarta dengan Susuhunan  (Sunan) Pakubuwono III sebagai rajanya.

Kedudukan Mangkunegaran di bawah Kasunanan Surakarta. Gelar kebangsawanan Mangkunegoro sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo menunjukkan bahwa Mangkunegoro adalah seorang pangeran (putra raja), bukan seorang raja. Begitu pula gelar Adipati menunjukkan jabatan Mangkunegoro setara adipati (bupati), bukan berkedudukan sebagai raja.

Kedudukan Mangkunegoro I di bawah Pakubuwono III. Oleh karena itu Mangkunegoro I wajib melakukan audiensi (pisowanan) kepada Pakubuwono III sebagai tanda kepatuhan. Audiensi dilakukan setiap Senin, Kamis, dan Sabtu. Beberapa ketentuan juga membatasi kewenangan Mangkunegoro I, di antaranya:

1. Tidak boleh duduk di atas dhampar, tahta kursi kebesaran.

2. Mangkunegaran tidak boleh memiliki siti hinggil, yaitu bagian depan bangunan kompleks keraton yang tanahnya lebih tinggi dari bagian lain. Tempat ini adalah ruang tunggu bagi mereka yang ingin menghadap raja.

3. Mangkunegaran tidak boleh punya alun-alun waringin kurung. Sedangkan Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta memiliki alun-alun (halaman) di utara dan di selatan, masing-masing ditanami sepasang pohon beringin (ringin kembar).

4. Mangkunegoro tidak berwenang untuk memutuskan hukuman mati.