Sabtu, 30 Juli 2022

Mengunjungi Museum R.A.Kartini


Di museum R.A.Kartini di dekat alun-alun kota Rembang saya melihat berbagai benda peninggalan R.A.Kartini semasa hidupnya. Ada tempat tidur, meja kerja, mesin jahit, koleksi buku, kebaya, dan terutama tulisan-tulisan yang mengutip isi surat-suratnya kepada para sahabat penanya.

R.A.Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1879. Pada waktu ia berumur dua tahun ayahnya, Raden Mas Sosrodiningrat, diangkat menjadi Bupati Jepara. R.A. Kartini adalah anak kelima dari sebelas bersaudara yang terdiri atas enam perempuan dan lima lelaki. Meski ia terlahir dari keluarga ningrat, ia tidak membanggakan keningratannya. “Bagiku hanya ada dua keningratan, yaitu keningratan berpikir dan keningratan budi yang dimiliki mereka yang berjiwa luhur,” tulisnya.  Dua adiknya yaitu Rukmini dan Kardinah juga mengikuti jejaknya mengabdi pada kemajuan wanita dan bangsanya.

R.A.Kartini ingin agar putri-putri bangsawan dibina menjadi wanita yang pandai dan berakhlak. Mereka diharapkan dapat menyebarkan kebudayaan kepada rakyatnya. Anak-anak mereka pun akan tumbuh  menjadi wanita yang berbudi luhur ataupun menjadi pria yang kelak sebagai pejabat yang cinta kepada rakyatnya. Kaum bangsawan harus menjadi contoh yang baik untuk rakyat. Keningratan membawa kewajiban.


Kartini sedih ketika melihat keluarga miskin yang memiliki banyak anak dan kewalahan mendidik anak-anaknya. Menurutnya, kalau kita tidak sanggup menjamin penghidupannya maka janganlah kita melahirkannya. Untuk itulah Kartini ingin menjadi seorang guru. Ia ingin menuntun generasi muda dan membentuk watak mereka agar menjadi wanita yang mandiri.

Sesuai dengan adat kebangsawanan pada waktu itu, putri ningrat harus dipingit. Setelah lulus dari Hollandsch School setara dengan Sekolah Dasar, Kartini dipingit di dalam lingkungan Kabupaten. Pada masa pingitan ia banyak membaca buku mengenai emansipasi, revolusi Prancis, sastra, dan semua bacaan yang mengantarkannya kepada pengertian tentang masalah sosial dan politik.  Ia sangat terkesan dengan sejarah revolusi Prancis yang melahirkan semboyan kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan. Semboyan yang kemudian menjadi motto hidupnya. Kakaknya, Raden Mas Sosrokartono, menyediakan bahan-bahan bacaan untuk Kartini. Buku-buku itu merupakan jendela bagi Kartini untuk melihat dunia luar.

Semua pikirannya ia tuangkan ke dalam surat-surat kepada orang asing yang dikenalnya lewat ayahnya. Korespondensi Kartini dengan sejumlah tokoh Belanda berawal dari perkenalannya dengan Marie Ovink-Soer, istri Asisten Residen Jepara. Ovink, mulai bertugas di sana menjelang Kartini dipingit. Marie Ovink dikenal sebagai pengarang novel remaja Belanda yang produktif. Ia juga termasuk tokoh feminis pada masa feminisme tumbuh pesat di Belanda.

Kartini juga berkorespondensi dengan Estelle Zeehandelaar atau dikenal sebagai Stella Zeehandelaar, aktivis feminis yang lima tahun lebih tua daripada Kartini. Perkenalan Kartini dengan Stella dan Marie Ovink membuka jalur perkenalannya—lewat pertemuan dan surat—dengan tokoh feminis dan pendukung Politik Etis lain, seperti Abendanon dan istrinya, Rosa Manuela Abendanon-Mandri.  Kartini  juga menjalin pertemanan dengan beberapa orang di Belanda melalui surat,  di antaranya Ir. H.H. van Kol dan istrinya serta Nyonya MCE Ovink.

Pada usia 24 tahun, tepatrnya pada akhir 1903, R.A.Kartini menikah dengan Kanjeng Raden Mas Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat, Bupati Rembang yang mendukung cita-citanya. Setahun kemudian ia melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Mas Soesalit. Empat hari setelah melahirkan Kartini meninggal pada 17 September 1904. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman keluarga bupati Rembang di desa Bulu, dua puluh kilometer dari selatan kota Rembang.

Surat-suratnya dihimpun Abendanon dan diterbitkan menjadi buku Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). 

Dari berbagai sumber.

Rembang, 17 Juni 2022