Senin, 23 Juni 2014

Black Tie



 

Sepulang menghadiri acara resepsi ulang tahun suatu perusahaan di luar kota, suami saya menggerutu panjang-pendek. "Brengsek, saya jadi satu-satunya orang yang tampil beda di acara itu. Pakai setagen segala," ujarnya jengkel. 

Pada acara itu suami saya -- yang pada dasarnya tak suka berbusana formal -- mengenakan busana black tie yang khusus dia pesan demi memenuhi dress code yang tertera di undangan. Nyatanya, ia malah overdressed.
 
Ketika mengemas baju-bajunya ke dalam kopor, suami saya memang sempat resah. Pasalnya, di undangan tersebut tercantum dress code: black tie/evening gown. Berarti, para undangan pria diharapkan mengenakan tuxedo, sementara kaum wanita memakai gaun malam. Tuxedo merupakan busana paling formal yang biasanya dikenakan pada acara penganugerahan penghargaan, pertunjukan opera atau konser musik klasik yang diadakan di gedung pertunjukan. 

Suami saya paling benci mengenakan cummerbund -- kain berlipit-lipit yang dililitkan di pinggang. Ia lebih suka menyebut cummerbund sebagai setagen -- selendang yang biasa dililitkan di sekitar perut dan dada ibu-ibu yang berbusana tradisional. “Bikin sesak napas,” katanya sambil mengelus-elus perutnya yang agak buncit.

Suami saya bukan satu-satunya orang yang “membenci” tuxedo. Bahkan, di acara penyerahan Academy Award (piala Oscar) yang  formal pun, banyak undangan pria yang enggan ber-tuxedo. Mereka memilih memakai setelan jas hitam dengan dasi hitam. Padahal, di acara seperti itu kaum pria  diharapkan mengenakan tuxedo. Meski anniversary dinner party perusahaan itu dirancang penyelenggaranya menjadi acara yang sangat formal, sangat jarang orang Indonesia yang mau ber-tuxedo.  Adhie M.S., Koes Hendratmo, Kris Biantoro, Iwan Tirta, Hary Darsono dan Dali Taher adalah segelintir orang Indonesia yang mau mengenakan busana berdasi kupu-kupu itu.

Suami saya pun sempat berpikir untuk mengenakan setelan jas warna hitam dengan dasi berwarna gelap. Apalagi, ia tak bisa menyimpul dasi kupu-kupu yang biasa dikenakan melengkapi  tuxedo. Namun karena menghormati pihak pengundang, dengan berat hati akhirnya ia memutuskan memakai tuxedo, sesuai dengan dress code yang tertera. Selain itu, ia enggan pula dianggap tak tahu etiket.

Namun kenyataannya, ia justru salah tingkah dan kurang percaya diri karena tampil lain sendiri. Kebanyakan tamu pria yang hadir pada pesta di hotel bintang lima itu mengenakan setelan warna gelap, sebagian lagi berjas dan pantalon berbeda warna, ada pula yang mengenakan jas warna terang, kaus turtleneck atau baju kerah Nehru dibalut blazer, bahkan batik warna terang. 

Para wanita pun ada yang mengenakan blazer, gaun tanpa lengan, kebaya, atau busana tradisional lainnya. “Kecuali saya, tak ada hadirin lain - termasuk pengundang -- yang mengenakan busana sesuai dress code,” kata suami saya. Malah, beberapa undangan mengaku tak memperhatikan kode busana yang tercantum di undangan.

Sebagai penulis buku-buku busana pria, saya memang sempat tertegun ketika membaca dress code pada undangan yang dipegang suami saya. Namun saya lebih tertegun lagi mendengar cerita suami saya tentang keragaman busana di acara tersebut. Kok ada sih tamu yang nekad mengenakan jas warna terang dalam acara formal? Bukankah jas warna terang dianggap tidak sopan dipakai di acara formal? 

Mengapa pula ada tamu yang “tega” memakai busana smart casual berupa blazer dan kaus turtleneck atau kemeja berkerah Nehru di acara formal? Sebenarnya, dengan mematuhi dress code berarti para tamu menghargai pengundangnya, sekaligus menyiratkan sebagai orang yang tahu etiket.

Di sela acara, sambil menyinggung penampilannya yang “aneh sendirian” itu, suami saya sempat berbincang-bincang dengan si pengundang mengenai dress code: black tie. Ternyata, si pengundang berharap agar para pria datang dengan jas gelap dilengkapi dasi, bukan mengenakan tuxedo. “Pakai jas black lengkap dengan tie,” paparnya mengenai pengertian black tie yang dia maksudkan.

Kesalahpahaman ini menyiratkan pentingnya baik pengundang mau pun yang diundang sama-sama memahami istilah kode busana dan suasana atau kesempatan yang tepat untuk masing-masing busana. Untuk acara dinner party seperti kasus di atas, misalnya, lazimnya hadirin mengenakan setelan (suit) hitam atau abu-abu tua dengan dasi bermotif kecil-kecil yang tampak formal. Dasi bermotif kecil-kecil tampak lebih formal ketimbang dasi bermotif besar-besar. Dasi bergaris-garis tipis tampak lebih formal dibanding dasi bergaris-garis tebal.

Adapun untuk cocktail party, para tamu perlu tahu siapa penyelenggaranya dan di mana acara itu diselenggarakan. Kalau acara cocktail party itu diadakan untuk sekadar kumpul-kumpul dengan teman dekat, busana bisa smart casual. Namun, bila cocktail party diselenggarakan perusahaan atau seorang diplomat di tempat yang formal, sebaiknya kenakan jas warna gelap.

Bagaimana bila kode busana yang tercantum di undangan tak sesuai dengan acara yang diselenggarakan, atau undangannya tak mencantumkan kode busana? Mungkin ada baiknya ketika Anda mengonfirmasi kehadiran Anda melalui nomor telepon yang tercantum pada RSVP (Repondez s’il vous plait/harap dijawab).

Anda juga menanyakan kepada pengundang, busana apa yang seharusnya dikenakan. Dengan cara ini, Anda akan terhindar dari pengalaman tak enak menjadi orang yang “berani tampil  beda” seperti suami saya. 


Artikel ini pernah dimuat di majalah Swa,
Kamis, 12 Juni 2003. 
Kredit foto :  disini.

 
140623

Tidak ada komentar: