Sabtu, 28 November 2015

Warna-warni Ratih Sanggarwati

“Ibu saya selalu membagi minyak tanah untuk menyalakan lampu agar orang-orang yang mengaji mendapat cahaya. Pada waktu itu belum ada listrik di daerah kami. Sampai kini Ibu juga suka menyumbangkan mukena untuk mesjid di Ngawi,” cerita Ratih Sanggarwati. Itulah teladan baik bundanya yang masih dikenangnya sampai kini. “Saya ingin meniru kebaikan Ibu. Bagi saya, kemudahan-kemudahan yang saya dapatkan dalam hidup disebabkan doa dan kebaikan yang Ibu tabur. Setiap kebaikan ada balasannya, setiap kejahatan juga ada balasannya. Itu sudah hukum alam.”

Ratih menyantap makan malamnya di sebuah resto kecil, di dekat hotel tempat kami menginap di Bali. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Seorang pramusaji sederhana mendekatinya dan bertanya apakah ia boleh berfoto bersama Ratih. Dengan senang hati Ratih berpose bersamanya. Ia sama sekali tak terganggu. Sementara pramusaji sangat senang memandangi HP-nya berkali-kali karena ada fotonya bersama mantan supermodel. “Begitu mudah membahagiakan orang lain. Cukup tersenyum ramah kepada orang sudah merupakan ibadah,” ujar Ratih.

Saya mengenalnya ketika ia pada puncak kejayaannya sebagai supermodel pada 1990an. Ia beberapa kali menjadi cover majalah Dewi di mana saya bekerja sebagai penulis. Ia memenuhi halaman-halaman fashion majalah itu tampil dengan berbagai busana karya desainer internasional. Menjelang saya pergi ke Colombo, Sri Lanka, ia memberi saya backpack hitam yang saya simpan hingga kini. “Saya lupa bahwa saya pernah memberimu backpack,” katanya ketika saya menceritakan tentang ransel itu.

Waktu cepat berlalu. Ia bukan lagi remaja yang sering datang ke studio foto kecil di Ngawi untuk minta dipotret. Juga bukan lagi supermodel yang mengadu nasib di Singapura, Paris, Milan, New York dan dipotret di berbagai negara. Ia kini bekerja sebagai pemandu acara perkawinan, memasarkan paket umroh dan haji, menjadi pembicara seminar, memiliki butik busana muslim dan Lembaga Pendidikan Ratih Sanggarwati. Ia juga sudah menjadi ibu dari tiga puteri yang sudah dewasa.

Cukup lama ia berkarier sebagai model. Masih banyak orang yang mengenali wajahnya sebagai model hingga kini, tapi ada pula yang tak mengenalnya. Pernah seseorang minta dipotret bersama Ratih. Setelah dipotret, orang itu bertanya: “Ibu siapa?”
Ratih heran dengan pertanyaan itu: “Kenapa tadi kamu minta dipotret bersama saya?”
“Tadi saya lihat beberapa orang minta dipotret bersama Ibu. Jadi saya juga ingin dipotret,” jawabnya.

Ratih menceritakan kejadian itu sambil tertawa geli. Saya mengenalnya sebagai pribadi yang suka humor, memiliki banyak cerita lucu. Ia pernah membeli buah dari seorang pedagang. Ketika ia menawar harganya, pedagang itu bilang: “Ibu pernah jadi peragawati ‘kan?”
“Ya,” jawab Ratih.
“Peragawati cantik kok nawar harga.”
Mendengar komentar itu Ratih segera membayar tanpa menawar lagi. 

Hari sudah malam ketika kami naik taksi menuju bandara Ngurah Rai untuk pulang ke Jakarta. Ketika kami turun, pengemudi taksi juga turun dari mobilnya. Ia ingin dipotret bersama Ratih dengan kamera HPnya. Seperti biasa, Ratih melayaninya dengan senang hati. Begitu pula ketika kami makan siang, beberapa pengunjung restoran ingin dipotret bersamanya. Ratih tampil tersenyum di kamera HP mereka. “Saya cukup tersenyum sebentar dan mereka bisa memiliki kenangan indah begitu lama dengan memiliki foto itu. Tanpa biaya apa pun kita tetap bisa membahagiakan orang lain.”

23/11/15

Papua Bagian dari NKRI



Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaaan, Belanda tetap tidak mau mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Bahkan Irian Barat (kini Papua)  tidak  diserahkan Belanda kepada pemerintah Indonesia. Pada 5 Desember 1957 Presiden Soekarno meminta semua orang Belanda meninggalkan Indonesia. Ratusan perusahaan Belanda di Indonesia diambil alih pemerintah Indonesia, termasuk 77 perusahaan perkebunan dan Radio Nederland.  Perusahaan lain seperti pertambangan, bank, pelayaran, pabrik, perusahaan makanan, percetakan, jawatan kereta api, dan lain-lain juga diambil alih pemerintah RI. 

Para buruh mogok massal, semua orang Belanda di Indonesia mendadak kehilangan pekerjaan.
Toko-toko tidak mau lagi melayani orang Belanda. Di tembok-tembok jalan ditulis; “Usir anjing Belanda.” Para pemuda berteriak-teriak di lapangan: “Belanda mesti mati.” Orang-orang Belanda yang sudah turun temurun tinggal di Indonesia mendadak dipulangkan ke negeri asalnya. Ribuan penumpang diangkut dengan kapal laut ke Belanda dan ini berlangsung sampai beberapa bulan, bahkan masih berlanjut sampai tahun-tahun berikutnya. 

Sejak kemerdekaan Indonesia pada 1945 sampai 1960 jumlah warga negara Belanda yang dipulangkan ratusan ribu jiwa. Banyak di antara mereka yang belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Belanda. Kakek buyut mereka adalah orang Belanda yang lahir dan dibesarkan di Indonesia.

Mereka tiba pada musim dingin setelah menempuh perjalanan selama sebulan. Itulah pertama kalinya mereka merasakan musim dingin setelah nyaman berpuluh tahun di negeri tropis.  Ratu Juliana dan Palang Merah menyambut mereka yang datang ke negeri asalnya dalam keadaan tak punya rumah dan pekerjaan. Mereka ditampung di kamp tentara di desa Budel.  Pemerintah Belanda kemudian memberi mereka rumah atau kamar sewa yang sangat kecil.  Tidak lagi tinggal di rumah luas seperti pada waktu mereka tinggal di Indonesia. 

Mereka memiliki status sosial tinggi di Indonesia, disebut “Tuanku” oleh penduduk pribumi. Tapi  mereka menjadi bukan siapa-siapa di negeri sendiri. Mendapat pekerjaan juga sulit karena ijazah mereka dianggap tidak setara dengan penduduk Belanda. Namun bertahun-tahun kemudian mereka akhirnya dapat hidup sejajar dengan warga Belanda lainnya. 

Pada 1962 Irian Barat berhasil dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi. Komodor Jos Soedarso gugur dalam usia 36 tahun pada peristiwa merebut Irian Barat dari Belanda. Hubungan Indonesia – Belanda dapat membaik setelah pertemuan Presiden Soekarno dengan Menteri Luar Negeri Belanda, Joseph Luns, pada 25 Juli 1964 di Istana Bogor.


Kamis, 19 November 2015

Jalur Rempah



Orang mengenal jalur perdagangan dari Timur ke Barat dengan sebutan Jalur Sutera (Silk Road). Padahal sesungguhnya yang paling banyak diperdagangkan adalah  pala, lada, cengkih, kayumanis, cendana, kapur barus, kemenyan, sereh, lengkuas, kunyit, dan sebagainya. Indonesia sejak dulu sampai kini memiliki keanekaragaman tumbuhan terbanyak di dunia, terutama jenis rempah. 

Pada sebuah katalog dagang abad ke-14 yang ditulis saudagar dari Florence, Francesco Balducci Pegolotti, dicantumkan lebih dari 183 jenis tanaman, di antaranya adalah cendana, kayumanis, dan kapur barus. Yang paling menarik bangsa Eropa untuk datang ke Indonesia sampai abad ke-18 adalah cengkeh dan pala, termasuk bunganya, yang dinilai lebih tinggi dari emas. Cengkih hanya terdapat di pulau-pulau kecil di barat Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. 

Sementara pala hanya tumbuh di pulau Banda. Tanaman asli Maluku ini paling laku di Eropa pada abad ke-17 karena memiliki khasiat obat dan menjadi penyedap masakan. Bunga pala mengandung minyak atsiri. Usia tanaman pala bisa mencapai ratusan tahun dengan tinggi mencapai 20 meter.

Orang Belanda bernama Jan Pieterzoon Coen membantai orang-orang Banda demi menguasai bumi penghasil pala. Francisco Serao dari Portugis berhasil mencapai Hitu (Ambon Utara) pada 1512 untuk mendapatkan cengkih dan pala. Para pedagang bangsa Gujarat (India) menukar kain patola mereka dengan rempah-rempah dari Nusantara, seperti cengkih, pala, dan lada. Para penenun di Nusantara kemudian mengembangkan corak kain tenun  yang dipengaruhi corak pada patola, seperti trenun gringsing, kain cinde, dan batik jlamprang.

Lada banyak dibawa dari Bangka dan Belitung ke Cina melalui Banten dengan kapal-kapal. Banten adalah pelabuhan besar sebelum  tahun 1527. Juga terdapat kerajaan besar di Banten. Selain kerajaan Banten, di Nusantara juga terdapat kerajaan  besar lainnya seperti Majapahit, Sriwijaya, Kutai, Tarumanegara, Sailendra, Mataram Kuno, dan Kahuripan.
 
Perdagangan yang dilakukan kerajaan Majapahit sampai ke India, Kamboja, Siam (kini Thailand) dan Cina. Majapahit pada abad ke-14 menguasai beberapa pelabuhan, antara lain Surabaya, Tuban, dan Pasuruan. Hasil bumi yang melimpah dari pedalaman diangkut ke berbagai tempat untuk diperdagangkan. Mahapatih Gadjahmada dari kerajaan Majapahit menggagas pakta pertahanan bersama di antara kerajaan-kerajaan Nusantara untuk menghadapai ekspansi agresif bangsa Mongol. 

Sementara Sriwijaya menaklukkan kerajaan Melayu pada abad ke-tujuh sampai abad ke-delapan, menguasai beberapa pelabuhan di selat Malaka. Kapal-kapal dari Sriwijaya berdagang ke Tiongkok pada abad ke-tujuh. Di Sumatera terdapat beberapa bandar penting seperti Barus di pantai barat laut Sumatera, serta Jambi dan Palembang. Di bandar-bandar itu dilakukan perdagangan kapur barus, kayu cendana, cengkih, dan pala. 

Saudagar Arab, Ibn al Faqqih, mencatat pada 902 Masehi bahwa Barus adalah pelabuhan besar yang menjadi lalu lintas perdagangan cengkih, kapur barus, kayu cendana, dan pala. Sumber-sumber tulisan dalam bahasa Yunani, Syria, Tionghoa, dan lain-lain banyak menyebut pelabuhan Barus, tempat kamper (kapur barus) menjadi komoditi utama. 

Perdagangan rempah dari Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera sampai ke Eropa. Pada relief candi Borobudur dapat dilihat bagaimana bentuk perahu yang mengangkut hasil bumi itu. Bangsa Eropa datang ke Nusantara untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah, kekayaan alam kita yang tak ada di negeri mereka dan dinilai lebih mahal daripada emas.

Senin, 16 November 2015

Museum Kebangkitan Nasional



Pada zaman penjajahan Belanda jumlah dokter di Indonesia sangat sedikit. Itu pun semua dokternya berkebangsaan Belanda.  Para dokter itu membutuhkan asisten sehingga didirikanlah dua sekolah pendidikan dokter pribumi  di Jakarta dan Surabaya. Dokter Djawa School  didirikan di  Rumah Sakit Militer Weltevreden (sekarang RSPAD Gatot Subroto) Jakarta pada 1851. Kemudian didirikan NIAS (Nederlandch Indische Artsenschool) di Surabaya pada 1913.  

Lulusan Sekolah Dokter Djawa menjadi mantri cacar atau pembantu dokter-dokter Belanda. Guru-guru di sekolah Dokter Jawa adalah para dokter di rumah sakit Weltevreden.  Aktivitas pendidikan dan asrama Sekolah Dokter Jawa dirasakan menganggu kenyamanan Rumah Sakit sehingga perlu dipindah. Gedung baru Sekolah Dokter Jawa dibangun oleh Direktur Sekolah Dokter Jawa, Dokter HF Rool, pada 1899. Letaknya di samping rumah sakit itu. Pembangunan sempat terhenti karena kekurangan biaya. Berkat bantuan pengusaha perkebunan dari Deli, gedung selesai dibangun pada September 1901. Gedung baru itu dilengkapi asrama dan fasilitas yang dibutuhkan para penghuninya. 

Gedung itu secara resmi digunakan pada 1 Maret 1902. Sistem pendidikan di Sekolah Dokter Djawa juga disempurnakan menjadi STOVIA (School ter  Opleiding voor Indische Artsen) atau Sekolah Dokter Bumiputera dengan masa pendidikan sembilan tahun. Kurikulum STOVIA disesuaikan dengan School voor Officieren van Gezondeid di Utrech, sehingga lulusan STOVIA sama dengan lulusan sekolah serupa di Eropa. 

Lulusan STOVIA mendapat gelar Inlandsch Arts atau Dokter Bumiputra. Mereka diangkat menjadi pegawai pemerintah dan ditempatkan di daerah-daerah terpencil untuk mengobati berbagai penyakit menular. Dokter-dokter muda ini dibekali dengan tas kulit berisi alat-alat kedokteran dan uang saku untuk perjalanan ke lokasi tugas.

Salah satu lulusan STOVIA adalah  Dokter Wahidin Soedirohoesodo yang mengadakan kampanye di kalangan priyayi Jawa antara  tahun 1906-1907. Tujuannya  membentuk Dana Pelajar (Studiefonds) yang merupakan lembaga untuk membiayai pemuda-pemuda yang cerdas tetapi tidak mampu melanjutkan studi. Pada akhir tahun 1907 Dokter Wahidin bertemu dengan Soetomo, seorang pelajar dari STOVIA di Jakarta.  Dari pertemuan itu Soetomo menceriterakan kepada teman-temannya di STOVIA maksud dan tujuan  Dokter Wahidin. Ide itu mendapat sambutan hangat.

Para mahasiswa STOVIA di bawah pimpinan Soetomo berkumpul di ruang anatomi pada 20 Mei 1908 pukul 9 pagi. Mereka mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo. Pendirian Boedi Oetomo mendapat respon positif dari para pelajar STOVIA dan dari daerah lain. Cabang Boedi Oetomo berdiri di berbagai daerah. Tanggal 20 Mei menjadi Hari Kebangkitan Nasional. 

Gedung STOVIA  kini menjadi Museum Kebangkitan Nasional. Alamat Museum Kebangkitan Nasional: Jalan Abdul Rahman Saleh Nomor 26, Jakarta Pusat.

14/11/15

Minggu, 15 November 2015

Ketabahan Carl Brashear



Carl Brashear adalah anak petani miskin yang bercita-cita menjadi penyelam Angkatan Laut Amerika Serikat. Ia ditakdirkan Tuhan berkulit hitam dan mengalami diskriminasi ras yang  keji. Dengan tekad baja  ia berhasil mengatasi rintangan itu dan  diterima di Angkatan Laut AS.  Pada 1960 satu kakinya patah menjadi beberapa bagian akibat kecelakaan ketika ia menyelamatkan beberapa pelaut ke tempat aman pada sebuah tugas di pantai Spanyol. 

Dokter mengatakan, kakinya dapat disatukan kembali tapi butuh waktu tiga tahun untuk pulih dan  akan menjadi sepuluh sentimeter lebih pendek. “Saya tidak mau menunggu selama itu. Saya harus kembali menyelam,” ujar Brashear. Ia mendesak dokter untuk mengamputasi kakinya. Ia kemudian memakai kaki palsu, tongkat penyangga ditinggalkannya di rumah sakit. 

Brashear menciptakan program latihan untuk memulihkan kekuatannya. Ia kembali melamar di sekolah menyelam, walaupun usianya dua puluh tahun lebih tua daripada para siswa lainnya. Ternyata setiap hari ia menjadi pelari tercepat di sekolah itu, meski setiap pulang dari latihan ada gumpalan darah di bagian sambungan kaki palsu dengan kaki asli. Ia selalu merendam luka pada kakinya ke dalam air hangat yang dicampur garam agar dapat berlari lagi pada keesokan harinya. Para siswa baru menyadari bahwa Brashear memakai kaki palsu ketika usai berenang ia membawa kaki di bawah ketiaknya. 

Pada akhir tahun Brashear ditugaskan kembali sebagai penyelam Angkatan Laut kemudian pensiun setelah mengabdi 30 tahun. Ia tidak membiarkan semua rintangan - pendidikannya yang rendah, diskriminasi rasial, kehilangan kaki, dan kekuasaan Angkatan Laut AS -  untuk menghalangi cita-citanya. Kisahnya menginspirasi banyak orang untuk selalu memegang teguh cita-cita, apa pun yang terjadi.

Kisah hidupnya dijadikan film Men of Honor, dimainkan oleh aktor Robert de Niro.

Kamis, 12 November 2015

Ghost Writer



Pernah nonton film Ghost Writer yang disutradarai Roman Polanski? Dalam film itu seorang penulis diminta  penerbit untuk  menginap di rumah mewah di tengah hutan yang sunyi. Disediakan beberapa pembantu yang bertugas memasak, mencuci, dan membersihkan rumah bagi sang penulis agar ia dapat mencurahkan segala perhatian dan tenaganya pada kegiatan menulis buku. Untuk itu sang penulis dibayar sangat mahal.
Orang  Jepang menyebutnya ‘kanzume’, yaitu penulis diinapkan di hotel mewah oleh penerbit  dalam jangka waktu tertentu agar ia dapat tenang menulis karya yang direncanakannya. Kanzume mengibaratkan penulis seperti makanan kalengan (kan).  Persis seperti ayam yang dikurung dalam kandang supaya terus bertelur. Tentu saja hanya para penulis yang digemari masyarakat yang di-kanzume-kan oleh penerbit. 
Selain mereka, para penulis yang  pernah memperoleh hadiah sastra tahunan yang berwibawa juga benar-benar dikejar penerbit. Penulis dapat hidup bahkan ada yang menjadi kaya raya karena karya-karyanya. Mereka yang memutuskan menjadi penulis biasanya mencurahkan segala perhatian dan tenaganya untuk menulis. 

Penerbitan buku merupakan industri besar di Jepang. Masuk ke perpustakaan dan toko buku merupakan kebiasaan yang sudah ditanamkan sejak kecil di sana. Usai jam kantor banyak orang membeli buku sehingga suasana toko buku ramai. Toko-toko buku yang besar biasanya terdiri dari beberapa lantai dan selalu dipenuhi pengunjung. 

Harga buku di sana memang murah dibandingkan rata-rata penghasilan orang Jepang. Harga murah karena jumlah cetaknya tinggi. Jumlah cetak tinggi karena peminatnya banyak. Jumlah peminat banyak karena harganya rendah. 

Nah, bagaimana dengan di Indonesia? Ketika Murasaki Shikibu asal Jepang menulis Kisah Genji, Empu Kanwa dari Jawa juga menciptakan Arjuna Wiwaha. Sastra Jepang terus berlanjut dengan baik sedangkan sastra Jawa Kuno terputus. 

Anak-anak Jepang sudah diajarkan gemar membaca sejak dini, sedangkan di negara kita belum seperti itu.  Jadi gimana dong? Yuk, kita menulis dan membaca buku. Menulis itu gampang, apalagi membaca. Hehehe.