Minggu, 27 Desember 2020

Kekejian Pemerintahan Orde Baru

Di Flores ketika umat sudah memenuhi gereja seorang pastur menunjuk satu-persatu umatnya yang sudah menjadi simpatisan Barisan Tani Indonesia, organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Mereka memperoleh pembagian tanah dari Barisan Tani Indonesia yang telah memperjuangkan tanah bagi mereka yang tak bertanah. Mereka tak terlibat dalam pembunuhan para Jenderal di Jakarta.

Mereka dibawa keluar gereja menuju tanah kosong dan diperintahkan menggali lubang. Kemudian kedua ibu jari mereka diikat ke belakang. Mereka ditembak, tumbang ke dalam lubang yang mereka gali sendiri. Kalau ternyata masih hidup, ada yang turun ke liang lahat dengan parang, memancung leher sampai tubuh korban benar-benar sudah tidak bergerak. Tanah pulau Flores merah. Siapa yang punya bedil kalau bukan tentara. Yang membawa parang adalah penduduk yang ingin selamat, sehingga terpaksa berpihak pada para penyandang senapan.


Mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur, Dokter Ben Mboi, mengutuk kekejian itu. Menurutnya, negara harus bertanggung jawab terhadap pembantaian manusia pasca G30S. Penerima Magsaysay Award ini menceritakan dalam memoarnya bahwa suasana kekerasan di luar batas pada waktu itu.  “Benar-benar merupakan the blackest and the blackest months of my life. Sampa hari ini pun bayangan bulan-bulan itu masih terpatri dalam ingatan, seperti baru terjadi kemarin.”

Ben Mboi bersama istrinya, Dokter Nafsiah Mboi, naik kapal dari Tanjung Perak ke Ende, untuk menjadi petugas kesehatan di Nusa Tenggara Timur, seminggu setelah bencana politik G30S pada 1965 di Jakarta. Ben menulis: “Pada suatu hari ada dua guru yang dipenggal dan diarak massa keliling kota Ende, lalu dipamerkan di suatu tugu di tengah kota. Istri saya memanggil Kepala Seksi Satu Kodim: ‘Sersan, kalau semua wanita dan anak-anak di kota Ende, termasuk anak-istri Sersan, histeria karena menonton dua kepala orang tanpa badan itu, siapa yang akan menangani dan bertanggung jawab? Apa hebatnya membunuh orang dan memamerkan kepalanya di tengah kota?’ Akhirnya dua kepala itu dikuburkan! Ada orang PKI yang disiksa lalu ditembak, ada yang disiksa sambil berjalan sampai mati, ada yang dibakar hidup-hidup!”

Sumber: buku memoar Martin Aleida Romantisme Tahun Kekerasan.

Selasa, 22 Desember 2020

Stereotype

Ada muslim yang baik dan ada yang jahat
Ada nonmuslim yang baik dan ada yang jahat

Ada orang kaya yang baik dan ada yang jahat
Ada orang miskin yang baik dan ada yang jahat

Ada orang kulit hitam yang baik dan ada yang jahat
Ada orang kulit putih yang baik dan ada yang jahat

Ada orang berpendidikan tinggi yang baik dan ada yang jahat
Ada orang berpendidikan rendah yang baik 
dan ada yang jahat

Ada etnis Tionghoa yang baik dan ada yang jahat
Ada etnis Jawa yang baik dan ada yang jahat

Untuk menjadi orang baik tidak tergantung pada agama, status, warna kulit, pandangan politik atau kebudayaan. Menjadi orang baik tergantung pada bagaimana caramu memperlakukan orang lain.

Minggu, 20 Desember 2020

Tanya Jawab Diri Sendiri Ajip Rosidi

T: Menurutmu apa yang penting dalam berIslam?

J: Melaksanakan keadilan. Kata adil itu tak aku temukan padanannya dalam bahasa Melayu atau bahasa Sunda. Entah dalam bahasa ibu yang lain yang ada di Indonesia. Kata adil sendiri berasal dari bahasa Arab yang niscaya dipungut setelah Islam masuk ke sini. Apakah tidak adanya padanan kata adil itu menunjukkan bahwa dahulu sebelum kedatangan Islam, dalam masyarakat kita tak dikenal konsep keadilan? Ataukah karena dipungutnya kata adil dari bahasa Arab lantas kata padanannya yang asal menjadi lenyap? Masih harus diteliti.

T: Tapi keadilan kan adanya hanya di tataran pemegang kekuasaan saja...

J: Tidak. Keadilan yang aku maksudkan ialah keadilan yang harus dipunyai oleh setiap muslim ketika memperlakukan orang-orang lain di sekitarnya, baik yang sama-sama memeluk Islam maupun yang tidak. Dan ukurannya sederhana saja: Kita harus memperlakukan orang lain seperti kita ingin orang lain memperlakukan kita. Tentu saja agar berlaku adil, kita harus jujur, artinya kita harus menilai orang lain seperti kita menilai diri sendiri. Keadilan dan kejujuran adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan. Kalau semua orang sudah terbiasa jujur dan bersikap adil, aku yakin masyarakat kita akan benar-benar Islami.

T: Sejak belasan tahun lalu kau bukan saja taat melaksanakan ibadah wajib sehari-hari, tetapi juga melaksanakan salat sunat tahajud dan salat duha di samping puasa Nabi Daud. Apakah kau punya kehendak yang ingin dikabulkan Tuhan?

J: Aku tidak berniat jual beli dengan Tuhan: melakukan ibadah agar ditukar dengan sesuatu yang kuinginkan. Aku melaksanakan semua ibadah, baik yang wajib maupun yang sunat, hanya karena ingin melakukan ibadah sebaik mungkin seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah.

T: Apakah kau tidak pernah meminta sesuatu kepada Allah?

J: Tentu saja dalam berdoa aku banyak meminta. Tetapi aku serahkan kepada-Nya apakah akan dikabulkan atau tidak. Karena itu merupakan hak-Nya yang mutlak. Aku hanya berusaha agar aku selalu dapat menerima dengan dan sabar apa pun yang ditentukan-Nya buatku dalam hidup. Aku tidak mempertukarkan ibadahku dengan sesuatu yang kuingini.

Menjelang Proklamasi

17 Agustus 1945 pagi, menjelang upacara proklamasi kemerdekaan, Abdul Latif Hendraningrat mengatur acara. Perwira Tentara Pembela Tanah Air (PETA) itu meminta kepada semua hadirin untuk tertib, berdiri tegak dan teratur, harus memandang ke arah tempat berdiri Soekarno dan Muhammad Hatta. “Rakyat negara merdeka harus tahu mengatur dirinya, harus tahu menghormati Presiden dan Wakil Presidennya.”

Presiden Soekarno berpidato antara lain, “Kita hanya ingin melihat naiknya Sang Merah Putih, tidak suka melihat turunnya Sang Merah Putih. Mari kita bersumpah sekalian untuk menjaga serta memelihara, supaya bendera kebangsaan kita berkibar sampai akhir zaman.”

Ternyata peristiwa proklamasi kemerdekaan negara kita tidak dapat disiarkan melalui surat kabar, karena ada larangan dari pemerintah bala tentara Jepang. Keesokan harinya juga tidak dapat diumumkan nama-nama menteri yang baru ditentukan. Hanya satu surat kabar di Jakarta yang berjasa dalam hal ini, yaitu harian Kung Yung Pao yang memuat semua nama menteri Republik Indonesia.

Sumber: buku Kisah-kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan karya Rosihan Anwar.

Senin, 14 Desember 2020

Humor Gus Dur tentang Orde Baru

Dalam suatu sayembara menebak usia mumi di Giza, Mesir, puluhan negara diundang oleh pemerintah Mesir. Masing-masing negara mengirimkan tim ahli paleoantropologi terbaiknya. Sedangkan Indonesia yang masih dalam masa pemerintahan Orba hanya mengirimkan satu komandan intel.

Tim Prancis tampil pertama. Mereka membawa peralatan mutakhir, ukur sana ukur sini, catat ini dan itu, tapi kemudian menyatakan tidak sanggup memperkirakan usia mumi. Pakar Amerika perlu waktu lama tapi taksirannya keliru. Tim Jerman menyatakan, usia mumi lebih dari 3.200 tahun. Ternyata salah. Tim Jepang juga menyebut di sekitar angka itu, tapi juga salah.

Lalu tiba giliran peserta dari Indonesia. Komandan intel bertanya kepada panitia apakah ia boleh memeriksa mumi di ruangan tertutup.

“Silakan,” jawab panitia. 

Lima belas menit kemudian Komandan itu keluar. “Usia mumi ini 5.124 tahun 3 bulan 7 hari,” katanya dengan mantap kepada juri.

Seluruh tim juri terbelalak, saling berpandangan, dan sangat kagum.  Hanya dalam waktu sangat singkat, Komandan bisa menyebutkan usia mumi dengan akurat. Hadiah diberikan. Ucapan selamat dari para peserta, pemerintah Mesir, perwakilan negara-negara asing, dan sebagainya datang bertubi-tubi. “Luar biasa,” kata mereka. Pemerintah Indonesia sangat bangga.

Menjelang pulang ke Indonesia sang Komandan dikerubungi wartawan dari dalam dan luar negeri di lobi hotel. “Anda hebat. Bagaimana caranya bisa menebak usia mumi dalam waktu singkat?”

“Saya gebuki saja. Ngaku dia.” 


Sumber: Tertawa Bersama Gus Dur. Humornya Kiai Indonesia karya Muhammad Zikra.

Sabtu, 05 Desember 2020

Presiden Theodore Roosevelt

Presiden Amerika Serikat ke-26 Theodore Roosevelt (TR) adalah anak ke-dua dari empat bersaudara dari keluarga kaya raya. Ayahnya adalah bankir dan saudagar kaya, sementara ibunya adalah keturunan Raja Skotlandia, Robert III. Sejak dilahirkan di New York City pada 27 Oktober 1858 TR berpenyakit asma bronkial. Meski banyak oksigen gratis di udara tapi ia sulit mendapatkannya bila penyakitnya kambuh. Gangguan emosional, debu, kelelahan, atau cuaca dingin membuatnya sulit bernapas. Ia sering tak bisa tidur karena terengah-engah disertai bunyi mendesis yang keluar dari hidungnya. Pernapasannya menjadi lega bila ayahnya memeluknya.

Pada waktu ia berusia sebelas tahun ayahnya membawanya ke Prancis, Austria, Italia, dan Jerman, dengan harapan udara di sana memberi dampak positif bagi kesehatannya. Mereka juga pergi ke kawasan spa di Mesir agar TR bisa menjalani terapi di sana. Selain berpenyakit asma, TR juga kerap mengalami gangguan pencernaan sehingga perkembangan fisiknya terhambat. Ia kurus dan kecil.

Ayah TR membangun gimnasium pribadi di rumahnya dan mendatangkan instruktur untuk melatih fisik Teddy agar selalu sehat. Ia juga mendatangkan guru privat untuk mengajar Teddy di rumah. “Kalau kamu tidak sehat percuma sekolah,” katanya. Setelah berolah raga rutin selama beberapa tahun otot-otot TR mulai berkembang. Ia juga dilatih olah raga menembak oleh ayahnya. Dengan dorongan ayahnya TR berolah raga tinju, gulat, mendayung, berkuda, dan mendaki gunung. Tubuhnya tak lagi kerempeng. Untuk menutupi giginya yang menonjol ia memelihara kumis.
Teddy diterima kuliah di Harvard kemudian di Columbia Law School. Ia terpilih sebagai anggota Majelis Negara Bagian New York, menjadi komisaris di Kepolisian Kota New York, kemudian menjadi Asisten Sekretaris Angkatan Laut. Ia bergabung dengan resimen kavaleri dalam perang Spanyol- Amerika di Kuba dan mendapat gelar pahlawan nasional. Pada November 1898 ia terpilih sebagai Gubernur New York State. Pada 4 Maret 1901 ia menjadi wakil presiden sementara William McKinley menjadi presiden. Pada tahun yang sama TR menjadi presiden dalam usia 42 tahun, presiden termuda di AS. Ia menggantikan Presiden McKinley yang dibunuh oleh seorang anarkis, Leon Czolgosz.
Pada waktu TR menjadi presiden ia membangun terusan Panama dan dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian. Ia menjadi presiden dua periode sejak 1901 - 1909 dan wafat pada pada 6 Januari 1919 dalam usia 61 tahun.

Pada 1940 didirikan patungnya di depan pintu masuk Museum of Natural History di New York. Namun sejak kematian pria kulit hitam George Floyd pada Mei 2020 dalam kerusuhan rasial di AS patung itu direncanakan diturunkan oleh pihak museum. Patung TR menunggang kuda diapit pria lndian dan keturunan Afrika dianggap sebagai simbol diskriminasi rasial.

Selasa, 01 Desember 2020

Kami Tetap Anti-Soeharto

I Ketut Putera tiba di Sofia, ibu kota Bulgaria, pada 1963. Ia memenuhi seruan Presiden Soekarno agar menimba ilmu di luar negeri dan pulang untuk membangun tanah air dengan bekal pengetahuan. Tapi ternyata Pemimpin Besar Revolusi itu kehilangan kekuasaannya sejak peristiwa G30S pada 1965. Putra Bali itu memilih lebih baik kehilangan Indonesia daripada tunduk pada Soeharto.


Lima tahun kemudian ia menikah dengan gadis Bulgaria, teman kuliahnya. Ia membiarkan KBRI memberangus paspornya dan memilih menjadi warga negara Bulgaria. Ia bekerja selama 23 tahun di Kementerian Perdagangan Luar Negeri Bulgaria. Kini ia berusia 80 tahun. “Saya pendukung Jokowi,” katanya. Pada 2006 Jokowi sebagai Wali Kota Solo berkunjung ke Montana, Bulgaria, untuk menandatangani kesepakatan bersama antarkota Montana-Solo.
I Ketut Putera menjadi penerjemah untuk Jokowi di sana. "Saya belajar bahasa Bulgaria terlebih dahulu selama setahun sebelum belajar ekonomi. Yang mengajarkan bahasa Bulgaria ketika itu tidak menguasai bahasa Inggris. Jadi agak susah mengajarnya. Orang-orang di sini kurang menguasai bahasa asing," ceritanya kepada Martin Aleida yang menulis kisah delapan belas eksil dalam buku Tanah Air yang Hilang.
Pada waktu I Ketut Putera berusia 20 tahun ia pindah dari Bali ke Jakarta untuk bekerja sambil belajar karena orang tua tak sanggup membiayai pendidikannya. Ia bekerja di Garuda Indonesian Airways sambil belajar di Akademi Perniagaan Indonesia. Pada awal 1960-an Presiden Soekarno memberinya kesempatan untuk belajar di luar negeri, menimba ilmu di sana untuk dibawa pulang ke tanah air. Pada waktu itu terbuka kesempatan untuk belajar di negara-negara sosialis. Pada 1963 ia lulus tes dan terpilih untuk belajar selama lima tahun di Bulgaria. Tapi ternyata pada Oktober 1965 terjadi gejolak politik di Indonesia. Presiden Soekarno digulingkan padahal I Ketut Putera ditugaskan belajar oleh pemerintahan Soekarno. Ketika itu ia baru duduk di tingkat dua Fakultas Ekonomi di Sofia.
“Saya setia kepada amanat yang diberikan Presiden Soekarno untuk menunaikan tugas belajar. Di bawah pemerintahan Soeharto terjadi perubahan sikap politik. Saya dan beberapa teman tidak setuju dengan Soeharto dan bersikap setia kepada Presiden Soekarno. Jadi paspor saya dicabut KBRI pada awal 1967, saya stateless, tak punya kewarganegaraan. Pihak kedutaan berusaha memancing-mancing kami untuk pulang dengan janji akan diberikan surat keterangan pro-Soeharto. Namun kami tetap anti-Soeharto. Mahasiswa yang pro-Soeharto mendapat bantuan, studi mereka bisa jalan terus. Para mahasiswa anti dan pro-Soeharto menjadi terpecah di mana-mana,” ceritanya.

Presiden Soekarno pernah berkunjung ke Bulgaria ketika muncul masalah Irian Barat (kini Papua). “Jadi Pemerintah Bulgaria mengerti siapa kami sehingga mereka bekerja sama dengan Palang Merah Internasional untuk membantu kami. Tapi kami tak punya kewarganegaraan karena paspor dicabut KBRI. Padahal kami setia dan cinta tanah air dan ingin pulang ke Indonesia untuk menyumbangkan kemampuan kami bagi kemajuan Indonesia. Terpilihnya Jokowi bagi saya merupakan tonggak sejarah. Pada perayaan 17 Agustus 2015 Duta Besar RI memberikan tumpeng kepada saya sebagai orang tertua, usia saya 75 tahun pada waktu itu. Pada zaman Soeharto saya tidak pernah diikutkan pada acara 17 Agustus, saya dicap sebagai pecahan Indonesia. Begitulah jalan hidup saya. Wong cilik dari Bali yang belajar dan ingin memberikan sumbangan kepada pembangunan Indonesia, ternyata menemukan kenyataan hidup yang lain.”

Jumat, 27 November 2020

Orang-orang Arab di Jakarta

Sama seperti keturunan China, orang-orang Arab juga telah ratusan tahun datang ke nusantara terutama untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam. Pada mulanya banyak dari mereka kawin dengan wanita pribumi dan melebur sebagai penduduk Indonesia. Baru pada abad 19 mereka mulai berdatangan dalam jumlah lebih banyak terutama setelah pembukaan Terusan Suez pada 1869. Pada umumnya mereka datang dari Hadhramaut, Yaman Selatan, yang dilintasi oleh pelayaran dari Eropa ke Indonesia melalui Suez. Mereka disebut orang Hadhrami. Ada juga yang datang dari jalur koloni Inggris yaitu melalui Aden ke Singapura kemudian ke Jakarta.

Jumlah penduduk Arab di Jakarta lebih sedikit daripada penduduk China. Seperti penduduk China, orang-orang Arab dulu juga diharuskan oleh pemerintah kolonial Belanda bermukim di suatu lokasi tertentu. Di Jakarta awalnya mereka tinggal di Pekojan di bagian kota lama. Kemudian pada akhir abad 19 beberapa keluarga Arab yang cukup kaya mulai pindah dan menetap di Krukut dan Tanah Abang. Salah seorang yang terkenal adalah Said Abdullah bin Alwi Alatas, pengusaha kaya dan tuan tanah yang membeli rumah bagus yang sekarang menjadi Museum Tekstil. Orang Arab kaya lainnya adalah Umar Mangus, pedagang gula dan tuan tanah yang menjadi pemimpin komunitas Arab sejak 1902 hingga 1931.
Setelah 1919 pemerintah kolonial menghapus keharusan untuk tinggal di lokasi tertentu bagi penduduk Timur Asing. Banyak penduduk Arab pindah dari Pekojan ke Krukut, Tanah Abang dan Petamburan. Dari sini mereka menyebar ke tempat-tempat lain seperti Sawah Besar, Jatinegara, Tanah Tinggi, Kwitang, kemudian juga Menteng. Sampai 1950-an Krukut terkenal sebagai kampung Arab sehingga di Jakarta pada waktu itu terkenal istilah orang Krukut untuk menyebut orang Arab.
Kebanyakan penduduk Arab dikenal sebagai pedagang dan rentenir. Pada 1950-an citra tentang orang Arab adalah rentenir atau pedagang bahan bangunan dan mebel. Jadi dikenal sebutan Arab Material atau Arab Furniture. Tapi pada akhir 1980-an orang Arab mulai meninggalkan bisnis mebel dan material. Mereka beralih ke bisnis lain seperti jual beli tanah, jual beli properti, mendirikan perusahaan travel haji dan umrah. Namun banyak juga yang menjadi dokter, pengacara, dan politikus. Mereka menjadi kaum elite masyarakat Arab di Jakarta pada 1950-an. Misalnya, keluarga Alatas, Algadri, Alaydroes, Syahab, Shihab, Bassalama, Tadjoedin, Makarim, dan beberapa lainnya.
Anies Baswedan (kiri) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2014 -2016)  dan Nadiem Makarim (kanan) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019 - 2024



Dalam tradisi masyarakat Arab, perkawinan yang paling ideal adalah bila pasangan calon pengantin sama-sama dari keluarga Arab. Walaupun banyak orang keturunan Arab tetap memelihara tradisi dan pertalian sesama mereka, banyak keturunan Arab yang sudah membaur dengan penduduk pribumi. Pada 1950-an masih ada Partai Arab Indonesia yang didirikan Abdurrahman Baswedan.
Sangat berbeda dengan keturunan Tionghoa, diskriminasi terhadap orang Arab hampir tak pernah terjadi. Bahkan banyak orang Indonesia yang menghormati mereka karena dianggap sebagai ‘keturunan Nabi’. Beberapa dari mereka menggunakan gelar Syech, Sayid atau Habib. Banyak juga yang masih mengenakan gamis dan jubah tradisi Arab. Pengaruh budaya Arab di Jakarta cukup besar, misalnya dalam bahasa seperti ane, ente, fulus, haram, halal, dan lain-lain. Upacara sunatan dan perkawinan serta musik dan tarian Betawi juga banyak dipengaruhi tradisi Arab. Sementara tradisi China memengaruhi busana tradisional dan kuliner Betawi.
Sumber: buku Jakarta 1950-an Kenangan Semasa Remaja karya Firman Lubis.

Sabtu, 21 November 2020

Boven Digul


Boven Digul adalah ‘penjara alam terbuka’ yang dibuat Belanda. Dalam sejarah kolonial kamp konsentrasi Boven Digoel adalah tempat terluas bagi pembuangan para pejuang kemerdekaan. Tempat pengasingan di Papua ini didirikan oleh Kapten L. Th. Becking pada awal 1927. Sebelumnya Kapten ini dikenal sukses memadamkan pemberontakan komunis di Banten pada November 1926. Para pemberontak terakhir yang pernah dibuang ke Boven Digul adalah Semaun dan Darsono, dua tokoh komunis. Sebelumnya para Sultan dan pejuang diasingkan ke pulau lain. Pangeran Diponegoro diasingkan di Manado dan Makassar, Sjech Jusuf dibuang ke Cape Town di Afrika Selatan.

Kelompok masyarakat yang memberontak terhadap Belanda semakin besar setelah 1900. Misalnya ketika Partai Komunis Indonesia memprakarsai pemberontakan di Banten pada 1926 dan Sumatera Barat. Penjara menjadi penuh untuk menampung mereka. Pemerintah kolonial Belanda mencari tempat pembuangan yang luas. Akhirnya diketemukan sebuah tempat terpencil di Irian Barat (Papua) di hulu sungai Digul, 550 kilometer dari Merauke.
Kapten L. Th. Becking yang merekomendasikan tempat ini dalam laporannya menulis: “Boven Digul adalah pengasingan terbuka yang ideal karena di sebelah utara, timur, dan selatan berbatasan dengan hutan lebat yang dihuni oleh penduduk pribumi yang kanibal, dan di sebelah barat ada sungai Digul yang penuh buaya.”
Setelah Belanda pergi didirikan makam pahlawan di sana. Ironisnya, mereka yang melawan Belanda dan bisa disebut sebagai pahlawan sebagian besar adalah orang komunis. Pemberontakan terhadap Belanda pada 1926 – 1927 diprakarsai Partai Komunis Indonesia. Mereka gugur dalam pembuangan di Boven Digul.
Selain di Boven Digul juga ada Makam Pahlawan di Merauke. Selain itu ada beberapa tempat bersejarah di Papua, seperti kota tua Kokas di kabupaten Fakfak. Ada masjid tua Patimburak di kampung Patimburak. Penduduk kabupaten Fakfak mayoritas muslim, selebihnya beragama Kristen dan Katolik.

Jumat, 06 November 2020

Kisah Eksil di Praha

 

Martin Aleida, penulis buku Tanah Air yang Hilang, bersama Soegeng Soejono, eksil di Ceko.

Soejono Soegeng Pangestu berangkat ke Cekoslowakia pada 10 September 1963 untuk kuliah di sana. Setahun belajar bahasa Ceko, ia mulai kuliah ilmu Ekonomi di Praha, ibu kota Cekoslowakia (kini pecah menjadi dua negara). Banyak mahasiswa Indonesia di sana. Di jurusan Ekonomi hanya batu loncatannya. Ia kemudian diterima di Charles University di Praha jurusan Pedagogi dan Psikologi Anak. Pada 1965 terjadi peristiwa Gerakan 30 September di tanah airnya. Dua minggu kemudian para mahasiswa di-screening satu per satu di KBRI. Pertanyaannya cuma satu: “Apakah Saudara setuju dengan Orde Baru atau tidak?”

 “Saya tidak tahu Orde Baru itu apa, kok saya harus menentukan setuju atau tidak. Kabarnya masih simpang siur. Berita yang ada adalah terjadi pembunuhan di sana-sini. Malah ada berita bahwa siapa saja bisa dituduh PKI lalu ditembak. Macam-macam beritanya. Saya tidak setuju dengan rezim yang tidak menghormati hak-hak azasi manusia.”

 “Kalau begitu Saudara komunis,” kata orang yang melakukan screening.

 “Saya setan belang, tai kucing, itu bukan urusan Saudara,” jawab Soejono. “Saya ini dididik orang tua supaya hidup jujur. Saya orang kampung. Biar menderita dalam hidup, tapi kalau jujur akan diterima oleh Allah. Begitulah ajaran orang tua saya sejak saya dari kampung. Saya dididik di kepanduan (kini Pramuka). Tidak ada ajaran untuk melakukan kekerasan terhadap siapa pun juga.”

 “Kalau begitu Saudara harus pulang.”

 Lho Saudara logikanya bagaimana? Saya harus pulang ke Indonesia di mana ada orang lewat di jalan ditembak karena dituduh PKI. Padahal penembaknya menginginkan istrinya yang cantik. Kalau saya pulang saya juga bisa ditembak.”

 “Kalau begitu visa Saudara tidak bisa diperpanjang.”

 “Siap.”

Soejono mengambil sikap seperti itu karena ia yakin jalan dan tujuannya benar. Yang setuju dengan Orde Baru tidak mendapat masalah, sedangkan semua yang tak setuju minta suaka politik. Permintaan suaka politik mereka diterima. Mereka diurus Palang Merah Ceko. Mereka diberi rumah. Setelah selesai kuliah diberi pekerjaan. “Tapi istri harus cari sendiri. Hehehe...,” cerita Soejono kepada Martin Aleida yang menuliskan kisah hidupnya dan kisah 18 eksil lainnya di buku Tanah Air yang Hilang.

Soejono diterima sebagai ahli Pedagogi. Setelah lulus, ia tak bisa pulang ke Indonesia. Ia melanjutkan kuliah Kultur Politik dan Media Massa di Praha. Ia tak mau berutang kepada negaranya, tetapi ilmu dan pengalaman hidupnya tak dapat dimanfaatkannya untuk memberi kontribusi kepada Indonesia di mana ia berutang budi. “Itu membuat saya sedih. Saya tetap merasa berutang budi kepada Indonesia. Karena itu apa saja yang dapat membangkitkan gairah mengenai Indonesia, saya bantu. Saya membantu berbagai kegiatan di KBRI. Juga kepada orang-orang Indonesia yang datang ke Ceko. Saya ikut membantu hubungan baik Indonesia dan Ceko. Selain itu saya menjadi dosen Bahasa dan Budaya Indonesia,” cerita Soejono.

Orang-orang Ceko yang ingin belajar bahasa Indonesia berguru kepada Soejono gratis. Siapa saja yang tertarik pada Indonesia dibantu Soejono gratis. “Yang saya inginkan dari mereka cuma satu, supaya kita menjadi sahabat yang kekal. Itu lebih penting daripada uang.”

Minggu, 01 November 2020

Tanah Air yang Hilang


Banyak orang Indonesia yang dikirim untuk belajar di luar negeri tapi tak diizinkan kembali ke tanah airnya setelah peristiwa 30 September 1965. Pada awal 1960-an Presiden Soekarno memberi kesempatan kepada warga negara Indonesia untuk belajar ke luar negeri, menimba ilmu untuk dibawa pulang ke tanah air. Mereka yang berada di negara-negara komunis seperti Uni Soviet (kini Russia), China, Yugoslavia (kini pecah menjadi lima negara), dan Chekoslovakia (kini pecah menjadi dua negara) dilarang pulang ke tanah airnya setelah Presiden Soekarno lengser. Mereka berkelana menyeberangi berbagai batas negara dalam ketakutan, tanpa paspor, untuk menghindari pengejaran yang dilancarkan oleh sebuah rezim yang 32 tahun bertahta. Mereka terpaksa kehilangan tanah air karena paspor mereka dicabut pemerintah Orba sehingga mereka harus mencari tanah air baru, haknya atas sebuah tanah air Indonesia telah dirampas. Meminta suaka dari negara-negara Eropa terutama Belanda, Jerman, Prancis, Ceko, Swedia, dan Bulgaria, mereka kemudian menjadi warga negara di sana.

Penulis Martin Aleida datang ke negara-negara di Eropa, mencari para eksil, dan mewawancarai mereka mengenai awal mereka kehilangan tanah air sampai kini mereka berpuluh tahun tinggal di negeri orang. Sebelum menjadi orang buangan, mereka terdiri atas Rektor, mahasiswa, jurnalis, guru, sarjana teknik, dan sebagainya. Tidak mudah menelusuri keberadaan kaum ‘klayaban’. Dengan usaha kerasnya Martin berhasil menulis kisah sembilan belas eksil dalam buku Tanah Air yang Hilang. Ada yang tetap menjadi eksil di Prancis
sampai akhir hayatnya. Anaknya menceritakan kepada Martin bahwa ia bersama saudara-saudaranya terpaksa menjadi pengamen di metro untuk membantu orang tua mereka. Ada pula insinyur kimia yang menjadi kuli semen di Uni Soviet, juga ada insinyur hidroteknik yang menjadi tukang las di Prancis. “Berita tentang Indonesia terus kami ikuti setiap hari. Malah lebih banyak kami ikuti berita tentang Indonesia daripada Prancis. Kami tinggal di Prancis tapi perasaan kami seperti di Indonesia,” cerita seorang narasumber. “Kami tak punya kewarganegaraan. Inilah nasib yang tak kami duga. Padahal posisi kami jelas. Kami setia dan cinta tanah air. Kami ingin pulang untuk menyumbangkan sesuai kemampuan kami masing-masing bagi kemajuan Indonesia,”cerita narasumber lain mengenai masa lalunya.
Meski banyak kisah memilukan dari perjalanan hidup manusia, buku ini ditulis dengan bahasa yang indah oleh seorang jurnalis, novelis, juga cerpenis Martin Aleida. Terima kasih sudah menulis buku ini, Pak Martin. Sehat selalu. Amin.

Rabu, 28 Oktober 2020

Uskup Soegijapranata 100% Katolik, 100% Indonesia

 


Albertus Soegijapranata adalah seorang rohaniwan yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang. Ia tidak berjuang dengan mengangkat senjata, melainkan mengupayakan gencatan senjata dalam Perang Lima Hari di Semarang pada Oktober 1945. Keadaan sangat kacau dan mencekam pada waktu itu. Militer Jepang ingin membantai para pemuda Indonesia sebelum Jepang dilucuti tentara Sekutu. Ketika itu Soegija sebagai Uskup Semarang dengan kewibawaannya sebagai rohaniwan berhasil mengusahakan gencatan senjata. Jepang bersedia menyerahkan senjata kepada pasukan Sekutu yang datang tanpa terlebih dahulu membantai para pemuda Indonesia. Bila tak ada gencatan senjata akan banyak pemuda Indonesia yang kehilangan nyawa.

Soegija adalah tokoh yang sangat istimewa. Ia lahir di Surakarta pada 25 November 1896 dari keluarga muslim yang kemudian menjadi uskup pribumi pertama di Nusantara. Ia merumuskan formula 100% Katolik, 100% Indonesia. Berakhlak mulia dan mencintai tanah air. Presiden Soekarno pernah bertemu dengannya di Roma. Kecintaannya pada tanah air membuat Soegija meminta Vatikan agar segera mendukung kedaulatan Republik Indonesia. Di bawah kepemimpinannya seluruh umat Katolik di Jawa menjadi pendukung RI. Ia tak pernah lelah mencintai Indonesia sampai akhir hayatnya pada 22 Juli 1963. Ia sangat dihormati dan namanya diabadikan pada Universitas Katolik Soegijapranata di Semarang. Pada 2012 sineas Garin Nugroho membuat film tentang dirinya.

Selasa, 20 Oktober 2020

Boedi Oetomo

Di ruang anatomi di STOVIA (sekolah kedokteran) di Batavia dimulai kebangkitan nasional. Di sana pada Minggu 20 Mei 1908 pukul 9 pagi Soetomo, mahasiswa STOVIA, memimpin rapat. Didepannya ada beberapa calon dokter, diantaranya Goenawan Mangoenkoesoemo, Soeradji, dan Soewarno. Soetomo menyebutkan pentingnya organisasi untuk memajukan pendidikan dan kebudayaan di Hindia Belanda (kelak berubah nama menjadi Indonesia). Setahun sebelumnya Soetomo bertemu dengan Dokter Wahidin Soedirohoesodo. Wahidin mengatakan, perlu pengumpulan dana untuk pendidikan kaum bumiputera. Rapat di ruang anatomi ini menjadi awal berdirinya perkumpulan Boedi Oetomo. Ini adalah organisasi modern pertama di Nusantara dan mengawali pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Sebulan kemudian, Juni 1908, berdirinya Boedi Oetomo diumumkan di koran Bataviaasch Nieuwsblad. Maklumat yang ditandatangani sekretaris organisasi itu, Soewarno, antara lain berbunyi: “Boedi Oetomo berdiri untuk memperbaiki rakyat kita, terutama rakyat kecil.”
Pada Oktober 1908 kongres pertama Boedi Oetomo diadakan di gedung Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool) di Yogyakarta. Wahidin Soedirohoesodo, penggagas awal berdirinya organisasi itu, menjadi pemimpin rapat. Pada waktu itu Boedi Oetomo sudah memiliki 1200 anggota. Kongres terbuka untuk umum, sekitar 300 orang yang hadir. Mayoritas peserta kongres berasal dari kalangan priyayi Jawa. Sri Paku Alam V dari Keraton Yogyakarta dan putranya, Pangeran Ario Noto Dirodjo, ikut hadir. Para Bupati juga hadir. Para Bupati yang tak sempat hadir, mengirim utusan. Bupati Karanganyar, Raden Adipati Tirtokoesomo, dipilih menjadi Ketua Boedi Oetomo oleh para peserta kongres. Semua koran di Hindia Belanda memberitakan perhelatan hari itu.

Banyaknya kaum ningrat yang hadir tak lepas dari politik etis Belanda pada waktu itu. Pemerintah Belanda memberikan pendidikan di Leiden, Belanda, bagi kalangan bangsawan keraton. Sebagian dari mereka adalah R.M. Soerjosoeparto (kelak menjadi Mangkunegara VIII), R.M. Woerjaningrat, Pangeran Ngabehi (kelak menjadi Pakubuwono XI), dan Pangeran Hadiwidjojo. Mereka kemudian aktif di Boedi Oetomo bergabung dengan para mahasiswa STOVIA.

Para kaum ningrat di Boedi Oetomo tak ingin menjadikan organisasi ini sebagai organisasi politik. Mereka ingin organisasi ini membangun sekolah-sekolah di pedalaman. Para priyayi berpendidikan Barat ini ingin berhati-hati dalam berpolitik. Sejak hari pertama tempat kongres Boedi Oetomo sudah dipantau polisi rahasia Hindia Belanda. Jalannya pertemuan dilaporkan secara terinci dalam laporan rahasia Sekretaris Gubernur Jenderal nomor 344 tanggal 15 Oktober 1908 kepada Gubernur Jenderal J.B. van Heutz.

Sedangkan Tjipto Mangoenkoesoemo (kakak Goenawan Mangoenkoesoemo) justru ingin Boedi Oetomo menjadi partai politik agar lebih leluasa memperjuangkan kepentingan rakyat. Karena berbeda visi, Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo keluar dari Boedi Oetomo dan mendirikan Indische Partij. Dokter Soetomo juga keluar dari organisasi itu dan mendirikan organisasi baru: Surabaja Studie Club.


Sumber: buku Tjokroaminoto, Guru Para Pendiri Bangsa dari Seri Buku Tempo -Bapak Bangsa

Lokasi pemotretan: Museum Kebangkitan Nasional

Fotografer: Endro S.Markam


Rabu, 14 Oktober 2020

Mahasiswa Jangan Menjadi Korban Rekayasa Politik

Soe Hok Gie adalah aktivis mahasiswa angkatan 1966 yang meninggal dalam usia muda. Menurutnya, perjuangan mahasiswa seharusnya seperti pengelana koboi yang kebetulan singgah di desa yang dikuasai para bandit. Sang koboi muak dengan kelakuan tengik para bandit dan trenyuh melihat masyarakat desa yang tertindas. Tanpa ada yang meminta dan menyuruhnya, koboi itu merasa terpanggil untuk membebaskan masyarakat desa dari cengkeraman para bandit. Ia hanya mengikuti kata hatinya yang tidak nyaman melihat kezaliman.


Setelah berhasil mengalahkan para bandit, para penduduk desa ingin menyampaikan terima kasih dengan memberikan hadiah dan mengangkatnya sebagai sherif desa. Sang jagoan menolak karena apa yang dilakukannya tidak dengan harapan mendapatkan hadiah atau mencari jabatan. Ia segera mengucapkan selamat tinggal kepada para penduduk desa dan melanjutkan perjalanannya.

Soe Hok Gie berpendapat, aksi mahasiswa adalah kelompok yang seharusnya seperti tindakan sang koboi. Gerakan murni karena moral dan hati nurani, bukan karena alasan lain atau mengharapkan pamrih untuk mencari jabatan dan kekuasaan. Pemikiran Soe Hok Gie ini diilhami film koboi Shane yang dibintangi Alan Ladd pada pertengahan 1950-an. Film ini sangat terkenal pada zamannya.

Para mahasiswa seharusnya tahu betul mengenai sesuatu yang mereka protes, bukan karena ikut-ikutan atau disuruh apalagi dibayar orang. Para mahasiwa jangan menjadi korban rekayasa politik.


Sumber: buku Jakarta 1960-an, Kenangan Semasa Mahasiswa karya Firman Lubis. 

Kamis, 01 Oktober 2020

Dadik

 

Seandainya Dadik, adikku, masih hidup pada 3 Oktober 2020 ia berusia tepat 55 tahun. Tapi sembilan bulan yang lalu, diiringi azan subuh 30 Januari 2020, ia dipanggil pulang oleh Yang Maha Pengasih. Ia sudah bebas dari sakit paru dan ginjal setelah dua malam dirawat intensif di rumah sakit Duren Sawit, Jakarta. Tak perlu lagi ia dipindahkan ke rumah sakit lain untuk pemasangan ventilator yang membantu pernapasannya. Paru kirinya mengecil hingga tinggal 60 persen, oksigen tak banyak lagi beredar di tubuhnya yang berakibat ia kehilangan kesadaran pada hari ke-dua di rumah sakit. 

Ketika baru masuk ke UGD, pada 28 Januari siang, ia masih mengenaliku dan tampak senang melihat aku datang. Ia meminta minum dariku dan aku masih sempat meminta maaf kepadanya: “Maaf ya, Dik. Sebagai kakak, aku gak bisa membahagiakan Dadik.” Ia tersenyum. Setelah ia dipindahkan dari UGD ke ICU, aku pulang tanpa pamit kepadanya sebab kupikir hanya dokter yang diizinkan masuk ke ruangan itu. Lagi pula aku akan datang lagi ke rumah sakit esok hari. Ternyata keesokan paginya ia sudah tak mengenaliku, tak menyadari kehadiranku, sampai ia pergi dan tak pernah kembali.

Kepergiannya membuatku mengingat kembali adik ke-dua ini. Ketika ia berusia tiga tahun Ibu memberinya obat cacing. Setelah itu ia BAB dan seluruh kotoran yang keluar berupa gumpalan cacing pita. Ia tampak pucat dan kaget melihat gumpalan cacing pipih dan putih dan beberapa tampak masih hidup. Aku juga heran. Dadik tampak sehat, badannya tidak kurus, meski ia tidak bisa dibilang bocah montok.

Pada waktu masih kecil ia sering mengalami step (stuip), penyakit kejang. Setiap kejang-kejang bola matanya terbalik, bagian hitamnya melihat ke atas, sehingga hampir seluruh bola matanya terlihat putih. Untuk menjaga agar lidahnya tak putus digigitnya setiap step, Ibu membungkus gagang sendok makan dengan serbet dan memasukkannya ke mulut Dadik. Ketika aku berusia sekitar enam tahun, aku berada di sisi Dadik yang berbaring lemas di tempat tidur. Tiba-tiba ia terserang step, bola matanya terbalik, dan lidahnya digigit kuat. Aku berteriak memanggil Ibu yang sedang mencuci baju. “Ibu, Dadik step!!!” Ibu segera datang dengan sendok berbungkus serbet, memasukkan gagang sendok ke mulut Dadik, kemudian melanjutkan mencuci baju. Aku terdiam di tempat tidur, menemani Dadik dengan cemas.

Pada sekitar 1969 keluarga kami pindah dari rumah di Jalan Kramat VIII (kini Jalan Jambrut) di dekat Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, ke kampung Kemandoran di Jakarta Selatan. Suasana masih sepi, jalan belum beraspal di Kemandoran. “Di sini gak enak. Bau sapi.” Itu komentar Dadik ketika kami baru pindah rumah. Suasana kota berubah menjadi suasana kampung. Di Kemandoran inilah kami hidup sampai dewasa bersama para warga yang sebagian besar etnis Betawi. Kami mengalami masa proyek Muhammad Husni Thamrin yang diadakan Gubernur Ali Sadikin yang mengaspal semua jalan di kampung-kampung di Jakarta pada 1975. Dadik juga pernah mengirim surat kepada Gubernur ketika sekolahnya, SD Tarakanita III, yang baru didirikan dibakar massa karena sentimen agama. Gubernur membalas suratnya yang isinya menyemangati Dadik agar giat belajar. Beliau berjanji akan tetap membangun sekolah itu di tempat yang sama di Kemandoran.

Setiap Bapak akan berangkat ke kantor, beliau mencium kening Dadik yang pada  waktu itu masih menjadi anak bungsu. Pada suatu hari aku melihat Dadik duduk beberapa jam di depan rumah dengan wajah sedih. Ia tidak mau masuk ke rumah. “Dadik belum dicium Bapak,” katanya. Rupanya Bapak lupa menciumnya dan Dadik menunggu sampai beliau pulang dari kantor. Pernah juga aku melihat Dadik berlari mengejar Bapak yang sudah beberapa puluh meter meninggalkan rumah untuk pergi ke kantor. “Dadik belum dicium!” katanya sambil menangis. Bapak lalu mencium keningnya dan Dadik pulang dengan senang.

Sejak kecil sampai remaja Dadik adalah anak yang periang. Bersama Tulus, temannya sejak di bangku SMP, ia menjadi pelawak. Bahkan sempat pentas lawak di sebuah acara di Jakarta Fair. Setelah lulus dari SMA 6, Jakarta, ia kuliah di Fakutas Perikanan Universitas Diponegoro. Aku tak begitu mengamati lagi perkembangan jiwanya. Sependek yang aku tahu, ia tak lagi periang seperti dulu. Emosinya tidak stabil, mudah cemas, mudah marah. Setelah menjadi sarjana Perikanan ia bekerja di sebuah tambak yang luas milik sebuah perusahaan di Lampung. Rupanya ia tidak bahagia bekerja di sana dan semakin tidak bisa menguasai emosinya. Jiwanya guncang. Namun ia masih punya perasaan kasih sayang. Dalam keadaan hujan ia pergi naik motor untuk membeli setangkai mawar merah untuk Ibu dengan kartu kecil berisi ucapan selamat ulang tahun. “Selamat ulang tahun ya, Bu,” katanya sambil memberikan mawar dan kartu itu kepada Ibu yang duduk di teras depan. Ibu menerima mawar dan kartu itu, satu detik kemudian Ibu mengembalikannya kepada Dadik. “Terima kasih. Tarok aja di dalam.” Dadik tertegun lalu membawanya ke dalam rumah.

Ia pernah menganjurkanku pergi mencari obat alternatif ketika ia mendengar bahwa  suamiku akan dioperasi karena ada batu di ginjalnya. Ia mengantarku untuk mendapatkan ramuan herbal ke Sawangan, Bogor, yang jaraknya sangat jauh dari Kemandoran. Sekitar tiga jam kami menunggu di Sawangan untuk bisa memperoleh obat itu. Ia menunggu dengan sabar tanpa mengeluh.  Ia juga mengantarku mencari pompa air di Jalan Panglima Polim untuk dipasang di rumahku di Ciputat. “Beli di Ciputat aja. Di sana pasti lebih murah,” katanya. Ia lalu mengantarku ke Ciputat yang jaraknya jauh dari Panglima Polim dan macet. Benar yang dikatakan Dadik. Harga pompa air di Ciputat jauh lebih murah daripada di Jalan Panglima Polim. Dadik juga selalu mendampingiku di dalam mobil pada waktu aku belum lancar menyetir. Kami sering mengantar Arya, keponakan kami yang masih balita, bermain di Taman Ria di sebelah gedung TVRI. Pernah juga kami mengantar Arya ke Taman Impian Jaya Ancol. 

Yang sangat mengesankan, Dadik mau mengantarku ke Jember untuk menjemput Wiwin, kakak sulung kami, di sana. Pada akhir 1990-an belum ada jalan tol Trans Jawa. Perjalanan dengan bus dari terminal Lebak Bulus ke Surabaya membutuhkan waktu sekitar 20 jam dilanjutkan dua jam perjalanan dari Surabaya ke Jember. Kami hanya sekitar satu jam di Jember, kemudian kembali ke Jakarta bersama Wiwin dengan bus. Perjalanan yang melelahkan tapi Dadik tak mengeluh.

Sesungguhnya Dadik adalah orang yang murah hati, royal. Sayangnya ia tak memiliki uang untuk memuaskan jiwa dermawannya. Meski demikian ia selalu mau memberi tenaga dan waktunya untuk orang lain. Ia pernah merayakan ulang tahunnya di Bakmi GM, Pondok Indah Mall. Aku lupa tahun berapa. Ia meminta kado dalam bentuk uang kepadaku kemudian uang itu dipakainya untuk menraktir saudara-saudaranya di Bakmi GM. 

Pada suatu hari ia berkata kepadaku: “Bapak, Ibu, semua kakak dan adik  pernah ke luar negeri. Cuma Dadik yang belum pernah. Dadik pingin pergi ke luar negeri.”

“Boleh. Tapi ke Singapore aja ya.”

“Ya,” katanya senang.

Ia bersemangat mengurus paspor. Aku, suami, dan Dadik pergi ke Singapura meski hanya menginap di tempat sederhana, bukan di hotel, di asrama YMCA (Young Men’s Christian Association). Asrama ini boleh diinapi oleh orang di luar YMCA. Letaknya dekat dari Orchard Road. Kami melancong ke pulau Sentosa. Dadik sangat senang dan mencoba banyak hiburan di sana. Ia hanya terlihat bosan di pulau itu ketika menunggu suamiku yang asyik memotret berbagai kupu-kupu. Cukup lama kami di peternakan kupu-kupu karena suamiku kerap menunggu momen terbaik untuk memotret kupu-kupu yang hinggap di bunga.

Menjelang pulang ke Jakarta kami jalan-jalan di Orchard Road. Dadik membeli kartupos bergambar Merlion, lambang negara Singapura. Ia langsung menulis di kartupos dan akan segera mengirimkannya untuk temannya karena itulah hari terakhir kami di Singapura. Sayangnya pada hari Minggu kantor pos tutup. Seorang pria Singapura yang baik hati menawarkan diri untuk mengirimkan kartupos itu keesokan harinya. Dadik dengan gembira menyerahkan kartupos kepadanya.

Beberapa tahun kemudian aku jarang bertemu dengannya, jarang pula berkomunikasi. Aku jarang datang ke rumah orangtuaku di Kemandoran. Bahkan aku tak menelepon Dadik ketika ia berulang tahun. Itu aku sesali sekarang. Dadik semakin lama terlihat semakin tertekan. Ia depresi.Wajahnya tampak selalu tegang. Urat-urat di pelipisnya terlihat menonjol, bola matanya tampak selalu agak melotot. Ia mondar-mandir di dalam rumah dan menjadi pecandu rokok. Pada suatu hari ia mengeluh kepada Ibu dengan wajah lelah dan mata merah: “Bu, Dadik stress.” Ibu menjawab: “Kalau stress, ya minum obat. Ini diminum!” Obat berhamburan di lantai dan sebagian masuk ke bawah kulkas. Dadik berlutut dan tangannya berusaha mengambil obat yang berserakan di kolong kulkas. Sangat memilukan.

Aku memahami Dadik tak bahagia hidup di dunia. Meski sedih aku mengikhlaskan kepergiannya ke alam baka. Mungkin ini yang terbaik untuk ketenangan jiwanya di sana. “Selamat jalan, Dik. Kau tak mendapatkan kebahagiaan di dunia, tak meraih apa yang kau cita-citakan, tak memiliki apa yang kau ingin miliki, tak mampu memberi apa yang ingin kau beri, terpisahkan dari keluarga selama dua tahun terakhir hidupmu. Tapi aku berdoa semoga kau mendapatkan kedamaian abadi di sisi Allah. Ampunilah semua kesalahannya ya, Allah. Berilah ia kasih sayangMu sebanyak pasir di lautan, sebanyak bintang di langit. Amin."

 

Senin, 20 Juli 2020

Al Fatihah dan Amsal



Meski beragama Islam saya suka membaca berbagai kitab suci. Sebab Allah Yang Maha Pengasih memberi pengetahuan dan kebajikan dari berbagai sumber. Ia Maha Mengetahui isi hati setiap manusia,  yang terucap maupun tak terucap. Saya membaca pesan dari surat Al Fatihah dalam Al Quran  melalui  terjemahan sebab saya tak bisa membaca huruf Arab. Tapi saya yakin Allah Yang Maha Tahu dapat memahami apa pun yang tersimpan di dalam kalbu setiap manusia.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam
Yang Maha Pengasih  dan Maha Penyayang
Yang merajai hari pembalasan
Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan
Tunjukilah kami jalan yang lurus
yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang dibenci dan bukan jalan orang-orang yang sesat.

Selain dari Al Fatihah, saya mendapat pesan kebajikan dari surat Amsal dalam  kitab Injil:
Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur
Menjadi perisai bagi orang yang tak bercela lakunya
Sambil menjaga jalan keadilan dan memelihara jalan orang-orang yang setia
Maka engkau akan mengerti tentang kebenaran, keadilan, dan kejujuran,
bahkan setiap jalan yang baik
Sebab  hikmat akan masuk ke dalam hatimu dan pengetahuan akan menyenangkan jiwamu
Kebijaksanaan akan memelihara engkau
Kepandaian akan menjaga engkau
Supaya engkau terlepas dari jalan yang jahat,
dari orang yang mengucap tipu muslihat
dari mereka yang meninggalkan jalan yang lurus dan menempuh jalan yang gelap
yang bersuka cita melakukan kejahatan
bersorak-sorak karena tipu muslihat yang  jahat...
tempuhlah jalan orang baik
dan peliharalah jalan orang-orang benar

Feodal dan Aristokrasi


Feodal dan aristokrasi. Kedua kata ini seringkali dicampur aduk dalam arti orang feodal adalah aristokrat dan seorang aristokrat adalah feodal. Arti aristokrasi sebenarnya menunjukkan kepribadian manusia  dalam cara hidup, tingkah laku dalam pergaulan, prinsip dalam menghadapi kesukaran, dan sebagainya.  Dalam filsafat Jawa disebut ksatria. Seorang aristokrat tidak selalu dari golongan bangsawan, bisa dari kampung dan keluarga miskin. Sebaliknya orang dari golongan bangsawan tidak selalu mempunyai jiwa aristokrasi, bahkan seringkali sebaliknya. Ada juga sebutan plutokrasi  yaitu geld aristocratie yaitu orang yang bisa menguasai dunia dengan uangnya.
Pujangga Alexander Dumas menulis novel De drie Musketiers yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Novel tentang tiga prajurit yang gagah berani ini berlatar belakang rezim Lodewijk XIV.
Cerita singkatnya:
Di suatu daerah Prancis Selatan  ada keluarga bangsawan yang sangat miskin. Keluarga ini mempunyai anak lelaki yang sudah dewasa bernama D’Artagnan. Ia meminta izin kepada ayahnya untuk mengabdi pada Raja Lodewijk XIV dan bergabung pada Drie Musketiers. Ayahnya merestui dan berpesan: “Anakku yang tercinta, silakan pergi dan melakukan kewajibanmu sebagai seorang bangsawan. Kau tahu, ayahmu hanya orang yang miskin. Saya tidak dapat memberi bekal apa pun, hanya seekor kuda tua dan sepatah kata yang harus selalu menjadi pegangan hidupmu yaitu noblesse oblige. Itu artinya seorang bangsawan sejati mempunyai tanggung jawab yang luhur terhadap diri sendiri dan sesama manusia.”

Sumpah Pemuda Keturunan Arab



Pada  4 -5 Oktober 1934 para pemuda keturunan Arab di Nusantara melakukan kongres di Semarang. Dalam kongres ini mereka sepakat mengakui Indonesia sebagai tanah air mereka. Sebelumnya kalangan keturunan Arab berangapan bahwa tanah air mereka adalah negeri-negeri Arab dan senantiasa berorientasi ke Arab. Kongres pemuda keturunan Arab ini jarang diketahui masyarakat karena tidak diajarkan dalam mata pelajaran sejarah di Indonesia.
Pemerintah Kolonial Belanda membagi tiga strata masyarakat di Nusantara. Kelas satu adalah warga kulit putih (Eropa, Amerika, Jepang), kelas dua adalah warga Timur Asing (Arab, India, China) dan kelas tiga adalah pribumi Indonesia. Orang-orang Arab yang hijrah ke Indonesia mayoritas berasal dari Hadramauth, Yaman Selatan. Seluruh orang Arab itu laki-laki,  karena kendala jarak dan karena tradisi Arab (wanita tidak ikut bepergian). Mereka datang tanpa membawa istri atau saudara wanita. Orang-orang Arab itu menikah dengan wanita pribumi. Orang Eropa menyebut pribumi dengan istilah inlander (bangsa kuli),  sementara keturunan Arab menyebut pribumi dengan istilah ahwal yang artinya saudara ibu. Sebab memang seluruh keturunan Arab pasti ibunya pribumi.
Gubernur Jakarta Anies Baswedan, cucu dari Abdurrahman Baswedan
Pada 1 Agustus 1934  harian Matahari Semarang memuat tulisan Abdurrahman Baswedan tentang orang-orang Arab. A.R. Baswedan adalah peranakan Arab asal Ampel Surabaya. Pada artikel itu terpampang foto A.R.Baswedan mengenakan blangkon. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya, menganut asas kewarganegaraan ius soli: di mana saya lahir, di situlah tanah airku. Artikel  Peranakan Arab dan Totoknya berisi anjurannya tentang pengakuan Indonesia sebagai tanah air.
Artikel itu juga memuat pokok-pokok pikirannya: Tanah air Arab peranakan adalah Indonesia; Kultur Arab peranakan adalah kultur Indonesia – Islam; Arab peranakan wajib bekerja untuk tanah air dan masyarakat Indonesia; Perlu didirikan organisasi politik khusus untuk Arab peranakan; Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan dalam masyarakat Arab; Jauhi kehidupan menyendiri dan sesuaikan dengan keadaan zaman dan masyarakat Indonesia. Artikel A.R.Baswedan ini dipilih oleh Majalah Tempo edisi Mei 2008 sebagai salah satu dari 100 tulisan paling berpengaruh dalam sejarah bangsa Indonesia.
Artikel yang menggemparkan itu ditulis A.R.Baswedan pada waktu ia  berusia 26 tahun.  A.R.Baswedan melalui harian Matahari secara rutin melontarkan pemikiran-pemikiran tentang pentingnya integrasi, persatuan orang Arab di Indonesia, untuk bersama-sama bangsa Indonesia yang lain memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. A.R.Baswedan juga aktif menyerukan pada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Untuk itu, A.R.Baswedan berkeliling ke berbagai kota untuk berpidato dan menyebarkan pandangannya pada kalangan keturunan Arab.

Konferensi Pemuda Keturunan Arab

Dalam konferensi di Semarang itu A.R.Baswedan pertama-tama mengajukan pertanyaan di mana tanah airnya. Para pemuda yang menghadiri kongres itu mempunyai cita-cita bahwa bangsa Arab Indonesia harus disatukan untuk kemudian berintegrasi penuh ke dalam bangsa Indonesia. Dalam konferensi itu para pemuda Indonesia keturunan Arab membuat Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab, yaitu:
  1. Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia.
  2. Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri)
  3. Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah-air dan bangsa Indonesia.
Menurut A.R.Baswedan persatuan adalah modal utama bagi Arab peranakan untuk kemudian bersama-sama kaum pergerakan nasional bersatu melawan penjajah. Sebelum kongres itu seluruh keturunan Arab - biarpun mereka cerdas dan terkemuka - tidak ada yang mengakui Indonesia sebagai tanah air mereka. Mereka berpendapat, tanah air mereka di negeri Arab, bukan Indonesia. A.R.Baswedan menjadi pelopor bangkitnya nasionalisme kaum Arab yang awalnya enggan mengakui Indonesia sebagai tanah air.

Sejak kongres pada 4 Oktober 1934 itu keturunan Arab bersatu meninggalkan identitas keAraban. Semangat keAraban menjadi semangat keIndonesiaan dalam pergerakan nasional.

(dari berbagai sumber)

Mengenakan Jubah Jabatan


Pesan dari Prof. Komaruddin Hidayat untuk para pejabat:

Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan
Jabatan bagi seseorang adalah amanah yang senantiasa harus dipertanggungjawabkan kepada Yang Maha Kuasa. Sebagai amanah atau titipan tentu harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Bila tidak dijalankan sebaik-baiknya, jabatan itu akan menjadi bumerang bagi diri kita, keluarga, masyarakat, bahkan bangsa dan negara.
Menerima jabatan seharusnya jangan dilihat pada aspek prestisius atau tidak, basah atau kering. Jabatan seperti pakaian yang bisa kita kenakan setelah kita mengetahui ukurannya. Bila pakaian ukuran besar dikenakan orang yang bertubuh kecil, tentu akan terbayang hasilnya. Begitu pula sebaliknya. Bila pakaian berukuran kecil dikenakan  orang bertubuh besar tentu akan dirasakan sulit, bahkan menyiksa. Maka carilah pakaian yang pas dan sesuai dengan tubuh kita. Dengan demikian pakaian itu bisa menentramkan dan membahagiakan.
Jabatan bagai pakaian. Jika tidak cocok ukurannya, jangan dipaksakan. Karena tidak akan nyaman bagi pemakainya dan tidak enak bagi yang melihatnya.

Sumber: buku 250 Wisdoms.Membuka Mata, Menangkap Makna karya Prof. Komaruddin Hidayat

Rabu, 08 Juli 2020

Rezeki Halal


Ini tulisan menarik dari Prof. Komaruddin Hidayat mengenai rezeki halal:
Zumi Zola, Gubernur Jambi, yang terkena OTT (operasi tangkap tangan)
 oleh KPK  karena menerima suap.

Seorang kawan pernah bertanya, kenapa anak-anak menjadi nakal? Padahal secara materi anak-anak itu mendapat cukup fasilitas, pendidikan tinggi, kendaraan yang bagus, hingga uang jajan yang lebih dari cukup. Saya tidak mampu menjawab, tetapi kawan saya itu kemudian melanjutkan sendiri dengan gumam yang diiringi desah napas panjang. “Apakah semua ini karena harta yang aku berikan berasal dari jalan yang haram?”

Apakah susu dari hasil mencuri nilai gizinya dapat berkurang? Apakah vitamin yang ada dalam sesendok madu akan hilang karena mencuri? Pertanyaan ini mungkin memerlukan diskusi panjang. Saya meyakini bahwa gizi atau vitamin dan semacamnya adalah sebagian keberkahan. Bila keberkahan (blessing) dapat disebut sebagai suatu energi, energi itu dapat menjadi bentuk kekuatan dan kesehatan, semacam vitamin dan kandungan gizi. Mungkin susu halal dan haram yang diminum anak kita memiliki kandungan gizi yang sama. Tetapi hanya susu halal yang diperoleh dengan jalan halal yang mengandung keberkahan. Dari keberkahan itu lahirlah keselamatan dan kesalehan.

Perihal keberkahan dan api neraka yang menarik untuk dikaji adalah doa menjelang makan: “Ya Allah, berkahilah rezeki yang engkau berikan pada kami dan lindungilah kami dari api neraka.”
Bawalah selalu rezeki halal dan berkah untuk keluarga agar engkau tidak membawa api neraka ke dalam rumah.

Sumber: buku 250 Wisdoms. Membuka Mata, Menangkap Makna karya Prof. Komaruddin Hidayat

Kamis, 02 Juli 2020

Berbeda, Satu Tujuan


Kebenaran sejati ibarat cahaya yang tertangkap dan tersalur lewat lampu kristal. Mata menangkap cahaya itu penuh warna-warni karena perbedaan sudut pandang dan spektrum. Masing-masing mendapatkan warna cahaya tertentu dengan kesan tertentu. Padahal, hakikat cahaya itu satu, namun berada di balik keragaman warna.

Tuhan Maha Mutlak. Dia Tidak Terbatas! Bila Tuhan Mutlak dan Tidak Terbatas, tentu akan menampung segalanya. Termasuk perbedaan hamba-hambaNya yang sangat beragam ini. Aneh bila ada seorang yang sudah mencapai tingkatan tertinggi dalam wilayah spiritual lalu mengatakan bahwa hanya dirinya yang benar dan yang lain keliru, bahkan sesat. Bila dirinya mengaku – setidaknya – apa yang ia yakini sebagai yang paling benar, dirinya telah memproklamasikan menjadi Yang Mutlak. Bukankah ini kesombongan yang nyata?
Kebenaran seperti gelas yang utuh. Dan masing-masing kita hanya memiliki pecahan-pecahan dari gelas itu. Betapa indah bila masing-masing kita saling berpadu, mengumpulkan bersama puing-puing dan pecahan-pecahan gelas yang berserakan itu menjadi satu kebenaran yang utuh. Dan sekali lagi, Tuhan tetap Tak Terbatas, sejak dulu, kini hingga kapan pun.

Sumber: buku 250 Wisdoms. Membuka Mata, Menangkap Makna karya Prof. Komaruddin Hidayat dalam