Sabtu, 18 Februari 2023

Suka Duka Buya Hamka

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Buya Hamka tak pernah duduk di bangku sekolah. Juga tak tamat mengaji di surau Parabek. Pada waktu baru membina rumah tangga sampai pindah ke Jakarta pada 1950 ia dan keluarganya hidup miskin. Ia dan istrinya hanya memiliki sehelai kain untuk salat yang mereka pakai bergantian.

Tahun-tahun awal revolusi, setelah pindah dari Medan ke Padang Panjang, beliau tak punya penghasilan tetap. Beliau bukan pedagang, juga bukan pegawai kantor. Orang mengenalnya sebagai ‘orang siak’.  Ia mengarang tiga buku: Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, dan  Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Ketiga buku itu diterbitkan keponakannya, Anwar Rasyid (almarhum).

Sebagai Konsul Muhammadiyah Sumatra Barat, ia berkeliling mengunjungi cabang atau ranting Muhammadiyah di sekitar Minangkabau. Ia membawa sekeranjang buku-buku itu. Setelah berpidato buku-buku itu dijual ke hadirin. Uangnya diserahkan seluruhnya kepada istrinya. Mayoritas tema pidatonya pada waktu itu tentang kemerdekaan dan perjuangan mempertahankan proklamasi 1945.

Setelah pengakuan kedaulatan RI pada 1949,  tulisan-tulisannya yang berjudul Tasawuf Modern, Falsafah Hidup, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah diterbitkan di Medan. Beberapa penerbit di Jakarta, antara lain penerbit Wijaya, Tintamas, dan Pustaka Antara mencetak ulang buku-bukunya. Dengan honor dari beberapa penerbit ia pergi sendiri ke Jakarta, setelah perundingan Roem Royen dan saling tembak Indonesia dan Belanda berhenti.

Pada awal 1950 ia pulang ke Bukittingi menjemput keluarga untuk bersama-sama ke Jakarta. Ia membawa naskah Ayahku. Naskah itu berisi tentang riwayat ayahandanya Dr. Abdul Karim Amrullah.  Ia juga membawa naskah Sejarah Kebangkitan Islam di Minangkabau. Buku ini kemudian diterbitkan oleh penerbit Wijaya. Penerbit ini juga menerbitkan bukunya Falsafah Ideologi Islam dan Keadilan Sosial dalam Islam.

Ia menghidupi delapan anaknya dengan honor buku-bukunya. Ia juga mengirimkan banyak tulisan-tulisan pendek ke beberapa surat kabar dan majalah. Surat kabar yang sering memuat tulisannya ialah Harian Merdeka dan Pemandangan, serta majalah Mimbar Indonesia pimpinan H.B. Jassin. Kemudian ia menjadi pegawai tetap Harian Abadi dan Majalah Hikmah. Rubrik yang diasuhnya di surat kabar Abadi edisi mingguan adalah Dari Perbendaharaan Lama, berisi kisah-kisah sejarah Nusantara.

Pada awal 1951 ia menjadi Pegawai Tinggi golongan F di Kementerian Agama. Ia sangat bersyukur, meski tak berpendidikan tinggi namun bisa menjadi Pegawai Tinggi. Pada 1955 ia mendapat mobil dinas merk Zephyr Sis, kemudian diganti dengan mobil lebih kecil bermerk Standart. Pada waktu menjadi pegawai di Kementerian itu ia berdinas empat bulan di Amerika. Pengalamannya ditulis menjadi buku Empat Bulan di Amerika yang diterbitkan oleh penerbit Tintamas, Jakarta.

Ia diangkat menjadi anggota Majelis Haji. Juga menjadi dosen di  Universitas Islam Jakarta, Perguruan Tinggi Agama Islam Nasional Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Padang Panjang, dan Universi
tas Muslim Ujung Pandang (kini Makassar).

Selesai menunaikan ibadah haji pada 1950 ia berkeliling di beberapa negara Arab atas biaya penerbit Gapura yang dipimpin Anjar Asmara (almarhum). Dari perjalanannya itu terbitlah buku-buku Mandi Cahaya di Tanah SuciDi Tepi Sungai Dajlah, dan Dari Lembah Sungai Nil.

Ia kemudian menjadi anggota partai Masyumi dan Lembaga Kebudayaan Nasional. Sebagai anggota Partai Masyumi ia terpilih menjadi anggota Konstituante dalam Pemilihan Umum 1955. Pada waktu itu ada peraturan pegawai golongan F dilarang aktif di partai politik. Ia memilih aktif di partai dan berhenti menjadi pegawai negeri.