Minggu, 24 Februari 2019

Museum Pustaka Peranakan Tionghoa




Peristiwa 12 - 14 Mei 1998 ketika banyak pertokoan Tionghoa dibakar dan ratusan orang tewas terpanggang menyentuh hati Ir.Azmi Abubakar. Pemuda asal Aceh ini lalu mengumpulkan buku, dokumen, koran, foto, dan segala benda bertema Tionghoa. Ia ingin bangsa Indonesia mengetahui peran dan jasa besar etnis Tionghoa di Indonesia. “Etnis Tionghoa adalah saudara kita. Mereka juga memiliki kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan kita. Tapi suara mereka dibungkam selama masa Orde Baru. Semua yang terkait dengan budaya etnis Tionghoa dilarang. Saya tidak ingin ada rasisme dan diskriminasi di negara kita. Kita setara,” kata Azmi.

Ir. Azmi Abubakar
Padahal pada masa penjajahan Belanda pemimpin perang terbesar (1740 – 1743) di pulau Jawa adalah Tionghoa bernama Kapiten Sepanjang. Laksamana John Lie adalah pahlawan nasional asal etnis Tionghoa. THHK (Tiong Hoa Hwee Kwan) adalah sekolah modern pertama di Indonesia yang berdiri pada 1901. Sekarang dikenal dengan sebutan Pahoa.  Etnis Tionghoa berperan dalam mendirikan ITB dan Undip yang selama ini tak pernah diberitakan.  Surat kabar Sin Po yang menyiarkan lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman ketika tak ada satu pun media yang berani memuat lagu kebangsaan itu. W.R. Supratman adalah wartawan Sin Po.  Ada beberapa anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang berasal dari etnis Tionghoa.

Ir. Azmi Abubakar memiliki sekitar 35 ribu bacaan mengenai etnis Tionghoa yang dikumpulkannya sejak 1998. Ia kemudian mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa pada pertengahan November 2011. Melalui museum ini Azmi ingin memberikan pengetahuan kepada generasi tua dan muda mengenai sejarah Indonesia. Museum itu berupa ruko dua lantai di CBD Plaza di BSD City, Tangerang. Ia membiayai sendiri semua perawatan dan penambahan jumlah koleksi museumnya. Museumnya kini menjadi tempat untuk mencari referensi oleh para pelajar dan mahasiswa dari luar kota dan luar negeri.

Semasa kuliah di Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Indonesia ia aktif di berbagai organisasi mahasiswa. Pada 1999 Ir. Azmi menjadi  pimpinan tertinggi Komite Mahasiswa Pemuda Aceh Nusantara  yang memiliki banyak cabang di berbagai daerah di Indonesia. Ia memprakarsai terciptanya perdamaian di Aceh yang pada waktu itu sedang konflik bersenjata yang berkepanjangan. Kini ia menjadi pengusaha properti, memiliki sejumlah toko buku di antaranya di Kuala Lumpur, dan menjadi caleg Partai Solidaritas Indonesia di dapil Tangerang. Bila menjadi anggota legislatif, ia  antara lain ingin pelajaran sejarah berisi kontribusi semua etnis bagi perjuangan dan kemajuan negara kita.

Jakarta, 30 Januari 2019

Sabtu, 09 Februari 2019

Tionghoa dan Betawi


Pada abad ke-16 VOC mendatangkan orang-orang Bugis, Bali, Ambon, Banda, dan terutama Tionghoa ke Batavia untuk menjadi tenaga kerja mereka. Di Batavia kemudian terbentuk kampung Bugis, kampung Ambon, kampung Bali, kampung Makassar, dan sebagainya. India Muslim dan Arab tinggal di kampung Pekojan. Pergaulan antar etnis di Batavia membuat budaya mereka saling memengaruhi.

Etnis Betawi  cukup banyak dipengaruhi budaya Tionghoa, sebaliknya Tionghoa peranakan dipengaruhi budaya Betawi. Begitu dekatnya interaksi budaya kedua etnis ini  sampai muncul selorohan orang Betawi: “Betawi amé Ciné ubungannyé kayé gigi amé bibir ajé.” Orang Betawi  belajar silat dari Tionghoa. Cara orang Betawi memperkenalkan diri mirip Tionghoa, cara mereka duduk dan bercakap-cakap juga sama dengan Tionghoa yaitu duduk di kursi dan memakai meja, bukan duduk di hamparan tikar.

 Ada beberapa istilah yang memakai bahasa Tionghoa Hokkian selatan, seperti: gua, lu, seceng (seribu), cabo (perempuan), kongko (mengobrol), teko, kuaci, dipan, kemoceng, anglo, mangkok, dan sebagainya. Di bidang kuliner juga ada yang berasal dari Tionghoa seperti kecap (dari kata ke-chiap), mie, bihun, kuetiau, somay, bakso, capcay, tahu, toge, tauco, kucai, juhi, ebi, tepung hunkue, lokio, lumpia,dan sebagainya.

Pengaruh budaya Tionghoa terasa pula dalam pernikahan tradisi Betawi. Di wilayah Jabodetabek suatau pernikahan ala Betawi kurang lengkap bila tanpa bunyi serangkai petasan pada waktu pengantin pria berangkat dari rumah orangtuanya. Bunyi petasan ini merupakan pengaruh budaya Tionghoa. Begitu pula pesilat berseragam yang membawa senjata khas Tionghoa berupa tongkat panjang. Para pesilat ini bertugas mengarak pengantin.

Pakaian perempuan Betawi sama seperti pakaian pengantin perempuan tradisi Tionghoa peranakan. Aksesori pengantin ala Putri Cina terdiri atas serangkaian tusuk konde berornamen bunga dan dapat bergoyang mengikuti gerakan kepala pengantin sehingga dikenal dengan sebutan Kembang Goyang.  Diantaranya terdapat empat batang tusuk konde yang panjang yang dinamakan tusuk konde Burung Hong. Ada penutup wajah pengantin perempuan yang disebut Siangko. Baju pengantin berpotongan Mancu disebut baju Tuaki dan bagian bawahnya berupa rok lipit disebut Kun. Di bagian punggung, bahu, dan dada pengantin perempuan terdapat aksesori yang disebut terate.

Kalau datang ke perkawinan para tamu akan memberikan angpau yaitu amplop bergaris merah berisi uang kepada tuan atau nyonya rumah. Para pria Betawi biasanya memakai baju koko dengan padanan celana batik dan sarung yang diselempangkan di leher.  Para perempuan memakai kebaya nyonya.  Kebaya ini merupakan pengaruh tidak langsung orang Tionghoa peranakan terhadap kaum Betawi, meski asalnya dari kaum Belanda peranakan (Indo). Kebaya ini kemudian diadaptasi dan dimodifikasi kaum Tionghoa peranakan (Nyonya).

Jika kebaya kaum Indo hanya berwarna putih dengan pinggiran berenda indah, maka kebaya perempuan Tionghoa peranakan lama kelamaan tidak lagi berwarna putih dan berenda namun diberi bordir (sulaman) benang warna-warni. Bermacam motif dekoratif disulamkan di sini, mulai dari aneka flora, kupu-kupu, burung, dan lain-lain.

Jika kebaya Indo memiliki ujung rata, kebaya nyonya dibuat menjadi sonday (meruncing). Ujung sonday inilah yang kemudian menjadi ciri khas kebaya nyonya peranakan yang kemudian popular dengan sebutan kebaya encim. Selanjutnya kebaya encim  dikenakan perempuan Betawi dan menjadi dress code dalam berbagai event bernuansa budaya Betawi. Tapi kebaya nyonya yang diadopsi orang Betawi sama sekali tidak menampilkan bentuk hiasan seperti udang, ikan, rusa, kupu-kupu, dan burung.


Menjelang Sincia (tahun baru Imlek) di kalangan peranakan di Jakarta ada kebiasaan turun temurun mengantarkan ikan bandeng dan kue keranjang untuk mertua atau calon mertua. Ini diangap tindakan yang tahu adat.Tak jarang ikatan pertunangan dinyatakan  putus karena sang calon menantu tidak tahu adat, tidak mengerti kewajibannya mengantar ikan bandeng dan kue keranjang kepada calon mertua. Kebiasaan ini masih dilakukan di kalangan Betawi dengan membelinya di pasar ikan bandeng di Rawabelong, Jakarta Barat, yang ramai menjelang Sincia.

Sumber: buku Tionghoa dalam Keindonesiaan Jilid II




Biografi B.N.Wahju

Ratih Poeradisastrra dan Bambang Haryanto

Biografi Beni Nurtjahja Wahju yang saya tulis bersama Bambang Haryanto diluncurkan  pada 21 Januari 2019 di hotel Ritz Carlton, Jakarta. Para narasumber yang saya wawancarai seperti Prof. Emil Salim (mantan Menteri Lingkungan Hidup), Prof. DR. Kuntoro Mangkusubroto (mantan Menteri Pertambangan dan Energi), Erry Riyana Hardjapamekas (mantan Komisaris Bank BNI), Ir. Kosim Gandataruna (mantan Dirjen Pertambangan Umum), Tony Wenas (CEO PT Freeport Indonesia), pengusaha Shanti Soedarpo, Nico Kanter (Presiden Direktur PT Vale Indonesia Tbk), Prof. DR. R.P. Koesoemadinata (dosen ITB), dan lain-lain menghadiri acara ini.

 Sorowako pada 1960an adalah daerah terpencil di Sulawesi Selatan yang belum dialiri listrik, belum ada jalan beraspal, belum ada sekolah, belum ada saluran air bersih, belum ada pasar yang ramai, belum ada rumah sakit. Sorowako mulai menjadi kota yang ‘hidup’ setelah perusahaan tambang nikel asal Kanada hadir di sana pada 1968. INCO (International Nickel Company) menandatangani Kontrak Karya dengan pemerintah RI pada 27 Juli 1968.  Perusahaan itu membuat jalan, lapangan terbang, pembangkit listrik, saluran air, perumahan, klinik, dan pelabuhan di Sulawesi Selatan. Beni Wahju bekerja di sana sebagai geologist sejak awal berdirinya PT INCO di Indonesia (kini menjadi PT Vale Indonesia Tbk) sampai masa pensiunnya sebagai Presiden Direktur.

Di kalangan dunia pertambangan nama Beni Wahju sangat dikenal. Bukan saja karena ia adalah pelopor geologi eksplorasi, melainkan ia aktif melakukan community development (kini disebut CSR) melalui INCO. Ia memberi kesempatan kepada masyarakat di Sorowako untuk menempuh pendidikan di sekolah yang didirikan  INCO. Melalui Yayasan Pendidikan Sorowako yang didirikannya ia membuka kesempatan kepada murid-murid bangsa kita untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Di Sorowako ia juga mengadakan kegiatan Pramuka dan mengirim mereka ke Jambore Nasional di Cibubur. Ia juga merekrut para pegawai lokal untuk bekerja di INCO dan sebagian adalah mantan pemberontak DI/TII. Dengan memberi kesempatan kerja, ekonomi mereka menjadi lebih sejahtera, dan mereka tidak tertarik lagi untuk aktif di DI/TII. Perusahaan ini juga melakukan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat setempat.
Mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup Prof. DR. Emil Salim,
Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Prof. DR. Kuntoro Mangkusubroto,
dan Ratih Poeradisastra

Yang menarik adalah meski bekerja di perusahaan tambang.  Beni sangat aktif menjaga kelestarian lingkungan hidup. Prinsipnya:  geologiwan seharusnya juga menjadi pencinta lingkungan, karena keduanya menjalankan  prinsip yang sama yaitu pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Nama Beni diabadikan pada spesies ikan Telmatherina wahjui dalam kazanah zoologi dunia karena ia membantu penelitian mengenai ikan yang hidup di danau-danau di Sulawesi. Penelitian itu dilakukan oleh ahli zoologi Maurice Kottelat asal Swiss.
 
Nico Kanter (CEO PT Vale Indonesia Tbk) dan
Tony Wenas (CEO PT Freeport Indonesia)
Beni  juga mendapat penghargaan Oak Leaf Award dari The Nature Conservancy (TNC), organisasi internasional di bidang lingkungan hidup. Beni adalah Pendiri dan Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pusaka Alam Nusantara (YPAN). YPAN bersama TNC mengelola Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah dan Komodo di Nusa Tenggara Timur,  melakukan konservasi orangutan di  hulu sungai Berau (Kalimantan), serta konservasi keanekaragaman hayati laut di  kepulauan Tukang Besi dan di kepulauan Raja Ampat (Papua). Prinsip Beni adalah setiap perusahaan tambang harus melakukan good mining practices. Perusahaan tambang harus memberi kesejahtraan masyarakat di sekitar daerah pertambangan dan menghijaukan kembali bekas lahan tambang.




Minggu, 03 Februari 2019

Peter Carey

Ratih Poeradisastra dan Peter Carey

Peter Carey adalah sejarawan asal Inggris yang telah lebih dari tiga puluh tahun meneliti mengenai Perang Diponegoro atau dikenal dengan nama Perang Jawa. Ia menulis biografi Sang Pangeran  berjudul ‘Takdir. Riwayat Pangeran Diponegoro’.  Ia penah mengajar di universitas Oxford dan kini mengajar di Fakultas Ilmu Budaya UI.


Saya pertama kali berkenalan dengan Peter Carey di kantor penerbit Kompas Gramedia ketika saya mengurus penerbitan biografi Soetaryo Sigit yang baru selesai saya tulis.  Beberapa hari setelah  pertemuan itu ia mengirim buku-buku karyanya ke rumah saya. Saya bertemu beliau lagi di Galeri Cemara, Jakarta, ketika saya mendengarkan ceramahnya mengenai ‘Korupsi di Indonesia Sejak Zaman Kolonial sampai Reformasi’. Pertemuan berikutnya terjadi pada acara pembukaan Museum Multatuli di Rangkasbitung pada 11 Februari 2018.  Dari pembicaraan selintas dengan beliau dan dari buku-buku karyanya terasa bahwa ia sangat mencintai Indonesia.

Ratih Poeradisastra dan Peter Carey 
pada acara pembukaan museum Multatuli
di Rangkasbitung pada 11 Februari 2018.
Untuk hadiah ulang tahunnya yang ke-70 diterbitkan buku Urip iku Urub yang berisi tulisan-tulisan beberapa orang yang mengenalnya dengan dekat. Pria yang selalu berkemeja batik ini juga menulis sedikit kisah hidupnya di buku itu. Dalam bahasa Jawa Urip iku Urub artinya hidup itu nyala. Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain.

Ini adalah pesan dari Peter Carey untuk kita sebagai bangsa Indonesia dalam buku Urip iku Urub:
“Ada estimasi bahwa 90 persen karya tulis ilmiah tentang Indonesia yang dipublikasikan di luar negeri justru disusun oleh mereka yang tinggal di luar Indonesia yang sebagian besar tentunya adalah orang asing atau orang Indonesia yang sudah lama bermukim di luar negeri dan menjadi WNA (Warga Negara Asing). Jika angka itu benar, maka Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang paling kurang efektif menjelaskan dirinya sendiri kepada dunia luar. Situasi semacam itu tidak baik untuk Indonesia pada masa mendatang. Padahal ramalan ekonomi terkini dari McKinsey Global Institute adalah Indonesia akan bergerak dari kekuatan ekonomi dunia terbesar ke-16 menjadi yang ke-tujuh pada 2030.

Jadi istilah ‘Jasmerah’ (Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah’) yang diungkapkan Presiden Soekarno dalam pidato 17 Agustus 1966  kini semakin memperlihatkan kebenarannya. Tanpa cinta dan penghargaan kepada sejarahnya sendiri, Indonesia akan terpecah dan orang-orang Indonesia akan ditakdirkan hidup terkutuk selamanya di pinggiran dunia yang mengglobal tanpa tahu jati diri mereka yang sebenarnya.”