Selasa, 27 Februari 2018

Toko Merah



Toko Merah adalah rumah tinggal Gustaaf Willem Baron van Imhoff yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal VOC (1743 – 1750). Bangunan di tepi barat Kali Besar, Kota Tua Jakarta, ini dibangun pada 1730 dan beberapa kali ganti kepemilikannya. Pada 1743 -1755 pernah dijadikan kampus asrama Academie de Marine (Akademi Angkatan Laut). Juga pernah menjadi hotel bagi para pejabat pada 1786 -1808. Kemudian menjadi tempat tinggal Anthony Nacaro pada 1809 – 1813.
Selama 1813 - 1851 masih beberapa kali berganti pemilik.Yang paling lama memiliki bangunan ini adalah Oey Liauw Kong pada pertengahan abad ke-19 dan difungsikan sebagai toko. Dari beberapa situs yang saya telusuri tak disebutkan berapa lama Oey Lieauw Kong tinggal di toko ini.
Bangunan ini pernah menjadi Gedung Dinas Kesehatan Tentara Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Toko Merah juga beberapa kali berpindah tangan. Salah satunya adalah PT. Satya Niaga pada 1964. Kemudian pada 1977 berubah menjadi PT Dharma Niaga (Ltd) dan Toko Merah tetap digunakan sebagai kantor.
Toko Merah terdiri atas tiga gedung, berdiri di lahan 2.455 meter persegi. Tidak dibuka untuk umum, harus minta izin dari pengelola gedung untuk dapat masuk ke sini. Toko Merah disewakan sebagai tempat penyelenggarakan acara.

Senin, 26 Februari 2018

Imlek

Kata Imlek terdiri dari kata Im yang berarti Bulan dan Lek yang berarti Penanggalan. Perayaan tahun baru Imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama menurut penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada tanggal ke-lima belas, pada saat bulan purnama. Perayaan Tahun Baru Imlek juga dikenal sebagai Festival Musim Semi atau Spring Festival atau sin cia.
Tahun Baru Imlek dirayakan di berbagai negara dimana terdapat orang Tionghoa atau keturunan Tionghoa. Hampir di setiap negara terdapat komunitas Tionghoa. Acara perayaan Imlek biasanya berupa persembahyangan sebagai wujud syukur dan doa agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak untuk menjamu leluhur.
Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting bagi masyarakat Tionghoa.
Imlek merupakan momen pertemuan seluruh anggota keluarga sekali setahun dan silaturahmi dengan kerabat dan tetangga.

Di Indonesia perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum sejak 1968. Rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto melarang segala hal yang berbau Tionghoa. Jadi masyarakat etnis Tionghoa merayakan hari besar keagamaan mereka secara diam-diam di lingkungan keluarga saja.
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan Imlek pada tahun 2000 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Mereka dapat mengekspresikan keyakinan, agama, budaya, dan bahasa mereka. Tradisi Imlek menambah kaya kebudayaan Indonesia. Tetapi pada era Presiden Abdurrahman Wahid hari libur Imlek hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya. Kemudian pada 2003 Presiden Megawati mengumumkan Imlek sebagai hari libur nasional.

Jumat, 23 Februari 2018

Flag Incident

Berkibarlah benderaku lambang suci gagah perwira
Di seluruh Indonesia kau tetap pujaan bangsa
Siapa berani menurunkan engkau serentak rakyatmu membela
Sang Merah Putih yang perwira berkibarlah selama-lamanya
 
Oranje Hotel yang kini menjadi hotel Majapahit di Surabaya

Bendera adalah simbol persatuan dan kebanggaan nasional.Sejak proklamasi kemerdekaan rakyat bertekad Sang Saka Merah Putih menjadi satu-satunya bendera yang mencerminkan kemerdekaan Indonesia. Bendera Jepang sudah diturunkan para pemuda Indonesia dan digantikan Sang Saka Merah Putih. Jepang sudah menyerah kepada Sekutu. Indonesia sudah merdeka. Meski demikian masih banyak tentara Jepang memegang senjata dan berada di Indonesia. Setelah proklamasi Belanda juga kembali ke Indonesia dan sebagian mereka mendapatkan senjata dari tentara Jepang itu.
Pada 19 September 1945 pagi para pemuda mendengar berita bahwa bendera Belanda dikibarkan di hotel Yamato (pada zaman Belanda disebut Oranje Hotel) di Jalan Tunjungan, Surabaya. Berita ini sangat menghebohkan dan mengganggu kebanggaan para pemuda Indonesia sebagai bangsa merdeka. Mereka sepakat menurunkan bendera merah-putih-biru. Mereka berteriak-teriak di jalan menyebarkan berita: “Bendera Belanda dikibarkan di Tunjungan!!!” Berita ini juga disebarkan lewat jaringan Gabungan Pemuda Kantor, organisasi pegawai dari berbagai perusahaan.
Pada hari itu para tawanan Belanda terdiri atas perempuan dan laki-laki yang akan dikembalikan ke negaranya berada di Oranje Hotel. Sekelompok tawanan ini di bawah pimpinan Ploegman mengibarkan bendera Belanda di atas menara hotel. Ploegman adalah bekas kapten tentara Belanda yang secara sembunyi ditunjuk sebagai Wali Kota Surabaya oleh pemerintah NICA.
Di hotel itu banyak orang asing termasuk para perwira Inggris. Sekitar 40 pemuda Indonesia masuk ke halaman hotel dan berteriak-teriak. “Put the flag down. Put the flag down!!!” Tapi teriakan para pemuda tidak dihiraukan. Semakin lama semakin banyak pemuda dan rakyat berkumpul. Jumlahnya mencapai ratusan dan semakin lama semakin banyak. Di antara pemuda ada yang membawa senjata bambu runcing dan golok.
Dari dalam hotel ke luar Ploegman yang tinggi besar seperti raksasa. Ia bagaikan Samson membawa sepotong kayu besar yang diayun-ayunkan ke arah para pemuda sambil memaki-maki dengan kasar. Para pemuda Indonesia yang tanpa senjata jatuh terjengkang kemudian lari. Tapi mereka maju kembali. Pada saat itu seorang pemuda nekad mendekati Ploegman, menusuknya dengan pisau bertubi-tubi. Ploegman rebah bersimbah darah.
Menyabung nyawa untuk mengibarkan bendera 

Teriakan untuk menurunkan bendera semakin membahana. Sejumlah pemuda sudah membawa tangga untuk naik ke atap hotel. Ada sekitar sepuluh pemuda yang naik ke puncak hotel. Dari atap ada seorang yang naik tiang bendera diiringi teriakan histeris rakyat yang memberi semangat untuk menurunkan bendera Belanda. Bendera itu disobek warna birunya lalu dicampakkan. Bendera tiga warna menjadi Sang Saka Merah Putih, dikibarkan di menara hotel dengan perasaan sangat bangga. Tepuk tangan bergemuruh. Ketika itu jumlah massa yang berkumpul sudah mencapai ribuan orang.

Tiba-tiba terdengar tembakan dari dalam hotel. Banyak rakyat Indonesia tewas ditembak. Itulah sebagian dari banyak pengorbanan untuk mengibarkan Sang Saka Merah Putih di negara kita.





Bendera Merah Putih berkibarlah selama-lamanya



Sumber: Soemarsono Pemimpin Perlawanan Rakyat Surabaya 1945 yang Dilupakan

Jumat, 16 Februari 2018

Museum Multatuli






Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker pada novelnya yang berjudul Max Havelaar. Ia lahir di Amsterdam dan menjadi Asisten Residen di Lebak pada Januari sampai April 1856. Novel itu berkisah tentang kekejaman pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat jajahannya. Ia mengamati penderitaan rakyat Lebak dalam masa tanam paksa (cultuurstelsel). 

Sistem tanam paksa diberlakukan penjajah Belanda pada 1830. Dalam sistem tanam paksa setiap desa wajib menyisihkan tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor. Hasil-hasil pertanian penduduk dipungut Belanda untuk menolong keuangan Belanda. Perang Diponegoro (1825 -1830) menelan banyak biaya sehingga Belanda mengalami defisit keuangan. Kondisi keuangan Belanda makin parah karena Perang Belgia yang membuat Belgia memisahkan diri dari Belanda (1830). Selain itu VOC (perusahaan perdagangan Belanda yang kemudian bangkrut dan diambil alih pemerintah Belanda) meninggalkan banyak utang. Sistem tanam paksa ini memberi keuntungan luar biasa sehingga dapat menutup semua utang VOC dan membuat perekonomian Belanda stabil. 

Raden Adipati Karta Natanagara menjad Bupati Lebak pada 1830 -1865. Makamnya di belakang masjid raya di dekat alun-alun Rangkasbitung, tak jauh dari museum Multatuli. Dalam novel Max Havelaar Bupati ini digambarkan sebagai tokoh feodalistik yang menindas rakyat. Rakyat di Lebak sangat miskin, sedangkan Bupati mereka bergelimang kemewahan. Bahkan menantunya, Demang Raden Wirakusuma, kerap kasar dan memeras warga. Perilaku serakah mereka melebihi penjajah.



Eduard Douwes Dekker marah melihat ketidak adilan di Lebak. Novelnya yang berlatar budaya feodal dan masyarakat miskin di Lebak ini memberi perubahan besar. Di Belanda novel ini memberi kesadaran mengenai tindakan-tindakan pemerintah mereka yang menyengsarakan negeri jajahannya. Akhirnya penjajah Belanda menghapuskan  Cultuurstelsel pada 1870. Nama Multatuli diabadikan menjadi nama jalan raya utama menuju kawasan alun-alun di Rangkasbitung, provinsi Banten.

Patung karya Dolorosa Sinaga

Pada 1899 Van Deventer menulis artikel di De Gids yang berjudul Een Eerschuld (Utang Budi). Ia menilai Belanda berutang budi pada rakyat jajahannya yang telah bekerja keras demi kemakmuran Belanda. Sementara Brooshooft, pemimpin redaksi De Locomotief di Semarang, menyuarakan pentingnya pemerintah kolonial menjalankan kewajiban moral bagi bumiputera di Hindia Belanda. Selanjutnya makin banyak gerakan kaum Etis agar Belanda memberi keadilan bagi rakyat jajahan. Pada Januari 1901 Ratu Wilhelmina mengesahkan politik Etis sebagai kebijakan resmi pemerintah Belanda di Hindia Belanda. 

 Rangksabitung, 11 Feb 2018

Rabu, 07 Februari 2018

Gelanggang Olahraga Bung Karno



Jakarta ditunjuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Asian Games pada 2018. Ibu kota negara kita pertama kali menjadi tuan rumah Asian Games pada 24 Agustus – 4 September 1962.  Untuk itu dipersiapkan  fasilitas olahraga yan memadai dan cukup representatif. Sebelumnya sarana yang ada di Jakarta hanya stadion Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) di lapangan Medan Merdeka (lapangan Monas sekarang). Stadion Ikada sudah ada sejak zaman  kolonial Belanda dan pernah dipakai untuk Pekan Olahraga Nasional  (PON) ke-2 pada 1951. 


Stadion Ikada dianggap kurang memenuhi syarat untuk Asian Games. Presiden Soekarno  mencari lokasi yang cocok untuk membangun stadion. Dengan pesawat helikopter Presiden Soekarno mengelilingi kota Jakarta untuk melihat lokasi yang cocok. Kawasan Senayan kemudian dipilih sebagai tempat untuk membangun stadion. Hampir semua penduduk di kampung Senayan dipindah ke kampung Tebet. Sebagian lainnya dipindahkan ke Patal Senayan. Pengosongan kampung Senayan dimulai pada 1959 dan pembangunan stadion dimulai pada tahun itu. 

Pada waktu itu pembangunan kompleks olahraga di Senayan seluas 270 hektare adalah usaha konstruksi terbesar di Jakarta sejak pembangunan Kebayoran Baru. Begitu juga istora (istana olahraga) yang merupakan gedung olahraga tertutup (indoor ) terbesar di Indonesia. Stadion bisa menampung sekitar 120  ribu penonton. 


Kompleks olahraga ini dibangun  oleh arsitek dan kontraktor dari Uni Soviet (Rusia). Pembangunannya didanai dengan kredit lunak dari Uni Soviet sebesar 12,5 juta dollar AS yang kepastiannya diperoleh pada 23 Desember 1958. Dengan dana yang cukup besar itu menjadikan gelanggang olahraga ini sebagai stadion terbesar di Indonesia. Tempat duduknya dibuat dari kayu-kayu jati yang kokoh. Jalan Jenderal Sudirman yang menjadi akses ke daerah Senayan diperlebar dan diperbagus. Pembangunan jalan ini juga dibantu oleh Uni Soviet. Banyak orang muda yang mau menjadi relawan dalam Asian Games. Ada yang  bertugas memanggil nama-nama atlet untuk masuk ke lapangan menjelang pertandingan dimulai, ada yang menjadi penerjemah bagi para atlet asing, dan sebagainya.


 










Pada masa Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Suharto nama stadion ini diubah dari Gelanggang Olahraga Bung Karno menjadi Stadion Utama Senayan. Setelah Presiden Suharto diturunkan rakyat nama stadion ini dikembalikan menjadi namanya semula pada masa Presiden Abdurahman Wahid.

Menjelang Piala Asia 2007 stadion direnovasi yang mengurangi kapasitasnya menjadi 88.083 penonton. Pada 2017 Presiden Ir. Joko Widodo merenovasi kompleks olahraga ini agar stadion negara kita representatif untuk Asian Games. Tempat duduk di stadion yang semula berupa bangku-bangku panjang dari kayu jati yang masih kokoh diubah menjadi kursi-kursi merah dan putih. Kapasitas tribun menjadi 76.127 penonton.  Lampunya  3.500 luks dengan jenis rumput jenis rumput  Zoysia Matrella Linmer. Panjang lapangan sepakbola 110 meter dan lebar 70 meter.  Lintasan atletik dibuat delapan lajur dengan panjang empat ratus meter.

Jumat, 02 Februari 2018

Bajaj Samsuri



Pak Samsuri adalah sopir bajaj langganan saya. Saya sering meneleponnya untuk minta dijemput dan diantar pulang. Ia selalu datang tepat waktu, ramah, dan rajin membersihkan bajaj-nya meski bukan miliknya.Setiap sepuluh hari ia menyetor uang kepada pemilik bajaj sebesar Rp 800.000,-. “Padahal setiap hari penghasilan saya rata-rata hanya 50 ribu. Kadang-kadang gak ada penumpang dalam sehari. Tapi pernah juga dapat 200 ribu sehari. Saya sering utang kepada juragan saya,” katanya. 

Samsuri berusia 61 tahun, pernah menjadi tukang becak pada 1973 sampai 1980. Becaknya biasa mangkal di Jalan Asem, Cipete, Jakarta, dan di Puskesmas Cipete. “Saya harus setor kepada juragan becak Rp 50 sehari. Lama kelamaan naik menjadi Rp 75 sehari. Penghasilan saya narik becak sekitar Rp 200 sampai seribu sehari,” katanya.

Setelah becak dilarang beroperasi di Jakarta,  ia menjadi penjual bakso keliling, penjual soto mie, dan pengebor sumur. Kemudian ia belajar mengemudikan angkot dengan gratis. Tetangga di kampungnya di Tegal yang menjadi sopir angkot di Jakarta mengajarinya menyetir. “Tetangga saya sudah almarhum sekarang. Saya selalu ingat kebaikannya. Saya bisa jadi sopir karena dia,” cerita Samsuri. 

Samsuri menjadi sopir pribadi. Setelah majikannya meninggal, ia menjadi sopir bus Kopaja jurusan Depok – Blok M. Memiliki enam anak, penghasilannya sebagai sopir bus tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Ia kemudian beralih menjadi sopir bajaj pada 1998. 

“Saya gak takut bersaing dengan tukang becak kalau mereka datang ke Jakarta. Mereka dengan sendirinya akan berhenti jadi tukang becak, karena banyak saingan. Jadi sopir bajaj aja susah ngejar uang setoran, apalagi kalau jadi tukang becak.”