Kamis, 26 Juli 2018

Monumen Pembebasan Irian Barat






Meski sudah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, kedaulatan Republik Indonesia baru diakui pada 1949 setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Delegasi Indonesia ke KMB dipimpin oleh Drs.Mohammad Hatta pada 23 Agustus - 2 November 1949. Tapi Belanda mengulur-ulur waktu untuk menyerahkan Irian Barat (kini Papua) ke pangkuan Republik Indonesia. Untuk merebut Irian Barat dari penjajah Belanda Presiden Soekarno membentuk Komando Trikora (Tri Komando Rakyat). Pada 1962 Irian Barat berhasil dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi. Komodor Josaphat Soedarso gugur dalam usia 36 tahun pada peristiwa merebut Irian Barat dari Belanda.


Monumen Pembebasan Irian Barat didirikan untuk mengenang para pejuang Trikora dan masyarakat Irian Barat yang memilih menjadi bagian dari NKRI. Irian singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederland. Patung di atas tugu itu setinggi sembilan meter, kedua tangannya ke atas dengan mulut terbuka seolah-olah berteriak: “Merdeka!” Borgol rantai di kedua tangan dan kakinya terlepas sebagai lambang kemerdekaan. Berat patung perunggu ini sekitar delapan ton. Ide membuat patung ini datang dari Presiden Soekarno, sktesanya dibuat oleh Henk Ngantung, dan dikerjakan oleh pematung Edhi Sunarso.
Monumen Pembebasan Irian Barat didirikan tepat di tengah lapangan Banteng, di seberang gedung Kementerian Keuangan, Jakarta. Pada zaman kolonial Belanda gedung Kemenkeu ini berfungsi sebagai istana Daendels pada permulaan abad ke-19. Gedung yang dicat serba putih ini dikenal dengan nama Witte Huis atau White House.
 
Berita Repulika co.id pada 10 Agustus 2017 menyebutkan, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama merencanakan revitalisasi kawasan lapangan Banteng ini dengan dana CSR dari PT Rekso Nasional Food.Tapi sebelum rencananya terwujud, ia dipenjara di Mako Brimob, Depok, pada 9 Mei 2017. Pada 14 Oktober 2017 para pendukungnya berkumpul di lapangan Banteng untuk mengenang jasa-jasanya selama menjadi pelayan warga Jakarta.
 

Minggu, 22 Juli 2018

Rumah Cimanggis dalam Kenangan




Kakek buyut Eng Swie Tan pernah menjadi pemilik rumah Cimanggis, Depok. “Rumah itu dibangun pada 1775 dan berganti-ganti pemiliknya. Salah satu pemiliknya yang membeli rumah itu dari orang Belanda adalah Tan Goan-Piauw, kakek buyut saya, Saya ingat, pada waktu saya masih kecil kerap diajak Ayah ke rumah di Cimanggis. Rumah itu dirawat oleh paman dan tante saya. Saya masih ingat bagaimana arsitektur bangunannya, dari luar seperti gaya rumah Jawa dan di dalam bergaya rumah Belanda. Rumah ini didesain oleh Johannes Smith. Saya juga masih ingat bingkai jendelanya yang diukir, pintu, ruang makan, dan mebelnya. Ada sepuluh tiang berbentuk silinder besar di beranda yang luas, roof-nya tinggi, ” cerita Eng Swie Tan kepada saya. Ia tinggal di Belanda dan pada Juli tahun ini ia sedang berlibur di Jakarta. “Pada waktu saya masih kanak-kanak saya sering dibawa orangtua saya mengunjungi rumah di Cimanggis. Rumah orangtua saya di Teluk Pucung. Dengan mobil kami ke Rumah Cimanggis menelusuri tepi sungai Ciliwung. Kami melalui perkebunan karet untuk sampai ke rumah itu. Awalnya rumah itu dibeli kakek buyut saya dari orang Belanda untuk menyimpan beras yang sangat banyak. Ia membeli rumah sekaligus halamannya seluas 3,992 hektare yang kemudian dijadikan perkebunan karet,” lanjut Eng Swie Tan.


Menurut ceritanya, Tan Goan-Piauw adalah Kapitein der Chinezen (Kapten Tionghoa) di Bogor pada 1878 – 1883 dan menjadi Kapitein-titulair pada 1883 -1890, status sosial yang tinggi pada zaman itu. Jabatan itu diberikan oleh Gubernur Jendral van der Parra. Tan Goan Piauw memiliki perkebunan karet di Cimanggis serta memiliki tanah Tegal Waru, Kandang Sapi, Sumadangan, dan Ciampel di wilayah Karawang yang total luasnya 61.098 hektare. Ia dikenal sebagai tuan tanah di sana. Selanjutnya rumah itu beralih kepemilikannya ke pemerintah Hindia Belanda dan Indonesia.

Setahun lalu pada waktu Eng Swie Tan berlibur ke Indonesia, ia mendatangi bekas rumah kakek moyangnya di Cimanggis. “Saya melihat rumah itu sudah tidak terawat, banyak kusen jendela dan pintu yang dicuri, dan ada pemancar radio tidak jauh dari rumah itu. Kabarnya, tempat itu sudah dimiliki oleh RRI,” katanya.
Pada 1978 tempat itu dijadikan rumah dinas 13 keluarga karyawan RRI. Pada 1984 Presiden Soeharto meresmikan tiga pemancar RRI di area itu.Kabar terakhir, di sana akan dibangun Universitas Islam Internasional.
 
Foto-foto koleksi Eng Swie Tan

Jumat, 13 Juli 2018

Oom Pasikom Mengritik dengan Sindiran


Pada zaman Orde Baru tidak ada media massa yang berani mengritik Presiden Suharto. Bahkan tulisan yang isinya kritik halus atau sindiran hampir tidak ada media massa yang berani memuatnya. Kalau tulisan berisi kritik terhadap Pemerintah muncul di majalah dan koran, maka media yang memuatnya akan dicabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers-nya. Kalau SIUPP sudah dicabut atau dibredel, maka semua karyawan di perusahaan pers itu akan kehilangan pekerjaan. 

Pada zaman Orba Menteri Penerangan Harmoko banyak membredel surat kabar dan majalah beroplah besar, di antaranya harian Indonesia Raya, Sinar Harapan, Media Indonesia, majalah Tempo, majalah Editor, tabloid Prioritas, tabloid Detik. Kebebasan Pers hampir tidak ada pada zaman itu. TVRI adalah satu-satunya stasiun televisi dan itu dipakai sebagai corong suara Pemerintah. Setiap kegiatan Presiden Suharto wajib diliput TVRI dan dimuat di halaman pertama koran-koran, termasuk Kompas. Tidak ada media massa yang berani menolak kewajiban meliput acara Presiden Suharto. Kalau menolak akan mendapat peringatan keras dari Departemen Penerangan. 

Harian  Kompas  beroplah terbanyak di Indonesia ini memiliki banyak pegawai yang mata pencahariannya tergantung pada keberlangsungan terbitnya koran ini. Agen dan loper koran pun mendapat keuntungan dari penerbitan harian ini. Ini membuat harian yang lahir pada 28 Juni 1965 ini semakin berhati-hati dalam tulisannya. Tapi bukan berarti koran Kompas bungkam terhadap sepak terjang Pemerintah. Harian ini tetap menyampaikan kritiknya melalui karya-karya karikatur Gerardus Mayola Sudarta berjudul Oom Pasikom yang terbit seminggu sekali. 

Oom Pasikom merupakan pengulangan berkali-kali dari nama surat kabar Kompas: Si Kompas, Si Kompas, hingga ditemukan penggalan Pasikom. Oom Pasikom digambar oleh G.M Sudarta sebagai figur yang selalu berjas dengan tambalan pada bagian sikut, bertopi, dan berwajah bulat. 
Karikatur Oom Pasikom mengritik dengan gambar yang lucu, tapi sindirannya tetap  tajam menyengat. Banyak kritik disampaikan G.M Sudarta melalui Oom Pasikom yang sulit bagi Pemerintah Orba untuk membredel  harian Kompas karena kritiknya berupa sindiran berbentuk gambar yang lucu. “Dengan kartun kita berteriak dalam bisikan bahwa ada yang perlu diperbaiki sebelum kita terlambat.” Itu kutipan Prof Yasuo Yoshitomi, guru besar Kyoto Seiko University yang dianut  G.M Sudarta.  

Karikaturis yang lebih suka disebut kartunis ini bekerja di harian Kompas sejak 1967.  Ia lahir di Klaten pada 20 Septermber 1945 dan meninggal pada 30 Juni 2018. Selain menggambar Oom Pasikom, ia juga melukis dengan cat minyak di atas kanvas. Wanita berambut panjang yang sering dijadikannya model lukisan kemudian dinikahinya. Pasangan ini memperoleh anak kembar. "Istri saya selalu mengeringkan rambut panjangnya dengan asap wangi dari rempah yang dibakar," cerita G.M Sudarta kepada saya pada 1995. Dari istri sebelumnya pria yang selalu berbusana serba hitam ini tidak mendapatkan keturunan.