Jumat, 07 Oktober 2016

Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945

“Sekarang, Bung. Sekarang! Malam ini  juga!” kata Chaerul Saleh kepada  Bung Karno. Kita  harus segera merebut  kekuasaan!” tukas Sukarni Kartodiwirjo berapi-api. Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami!” seru para pemuda di rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Para pemuda, termasuk Wikana, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro datang ke rumah Bung Karno pada 15 Agustus 1945 pukul 22. Mereka  mendesak Soekarno agar segera merumuskan naskah proklamasi begitu Jepang dikalahkan Sekutu pada 14 Agustus 1945. Tapi Bung Karno menolak keinginan mereka. Ia dan Bung Hatta ingin proklamasi dilakukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di mana Bung Karno menjadi Ketua. Para pemuda bersikeras agar  Bung Karno segera memproklamasikan kemerdekaan. Menurut mereka, PPKI buatan Jepang. Mereka tidak ingin Bung Karno dan Bung Hatta terpengaruh Jepang dan tidak ingin kemerdekaan RI seolah-olah hadiah dari Jepang. 

Mereka lalu membawa  Bung Karno dan Bung Hatta ke rumah Djiaw Kie Siong, seorang tentara PETA, di Rengasdengklok, Karawang, pada 16 Agustus 1945 pukul 3 dinihari, untuk merumuskan naskah proklamasi. Rengasdengklok dinilai aman, sedangkan di Jakarta para tentara Jepang bersiaga penuh. Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra yang masih bayi ikut ke Rengasdengklok. Mereka dijemput Sukarni dan Winoto Danuasmoro dengan mobil Fiat hitam kecil. Di dalam mobil sudah ada Bung Hatta.

Pada 16 Agustus 1945 tengah malam Ahmad Soebardjo menjemput Bung Karno dan Bung Hatta di Rengasdengklok. Sesampainya di Jakarta mereka disediakan tempat berkumpul di Jalan Meiji Dori (kini Jalan Imam Bonjol Nomor 1), di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. Hubungan para nasionalis dekat dengan Maeda, Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang. Ada 29 orang yang berkumpul di rumah Maeda pada malam itu. Mereka adalah Ir.Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantoro (Mas Suwardi Soerjaningrat), Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr. Teuku Mohammad Hassan, Otto Iskandar Dinata, R.Soepomo, B.M. Diah, Sukarni, Chaerul Saleh, dan beberapa tokoh lainnya.  

Selama mereka berunding merumuskan naskah proklamasi, Maeda naik ke lantai atas rumahnya. Usai menulis naskah proklamasi bersama Mohammad Hatta dan Achmad Soebardjo, Soekarno membacakannya di hadapan para peserta rapat yang berkumpul di ruang tamu. Rapat baru selesai pada  17 Agustus 1945 pukul 3.00 dini hari, tanggal 9 Ramadhan.

Setelah mendapat persetujuan dari semua hadirin, Bung Karno segera meminta Mohamad Ibnoe Sajoeti Melik mengetik naskah proklamasi. Sajoeti mengetik naskah ditemani wartawan Boerhanoeddin Mohammad  Diah. Tiga kata dari konsep naskah proklamasi yang ditulis tangan oleh Bung Karno diketik Sajoeti dengan beberapa perubahan kata. Kata ‘tempoh’ diubah menjadi ‘tempo’,  kata ‘Wakil-wakil bangsa Indonesia’ diubah menjadi ‘Atas nama bangsa Indonesia’. Begitu pula dalam penulisan  '17-8-'05' menjadi 'hari 17 boelan 8 tahoen 05'. Tulisan tangan asli Bung Karno kemudian dibuang di tempat sampah oleh Sajoeti tapi dipungut oleh B.M. Diah, penyiar radio Hosokyoku yang juga wartawan Asia Raja. 

Begitu naskah proklamasi selesai diketik, Soekarno dan Mohammad Hatta  segera menandatanganinya di atas piano. Bung Hatta  berpesan kepada para  pemuda yang bekerja di kantor-kantor berita agar menyebarkan berita kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. 

Hari Jumat, pukul 05.00 pagi, pada 17 Agustus 1945, mereka keluar dari rumah Maeda dengan bangga karena teks Proklamasi selesai ditulis.   Bung Karno pulang ke Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi). Istri dan anaknya sudah pulang lebih dulu. Bung Karno sedang sakit malaria. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun naskah proklamasi. 

Pukul 8, dua jam sebelum upacara pembacaan teks Proklamasi, Bung Karno masih berbaring di kamarnya. Ia minum obat kemudian tidur lagi. Pukul 9 ia terbangun. “Saya greges (tak enak badan),” katanya. Ia kemudian berpakaian rapi, memakai kemeja dan celana putih. Bung Hatta dan beberapa orang sudah menunggunya. Fatmawati sudah menyiapkan bendera merah putih.

Pada 17 Agustus 1945 pukul 10 Bung Karno, Bung Hatta, dan para pemuda berkumpul di halaman depan rumah Bung Karno. Latief Hendraningrat menjadi pemimpin upacara bendera. Mereka mendengarkan Bung Karno membaca teks proklamasi dengan hikmad, terharu, dan bangga. Beberapa orang menangis terharu. Lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman dinyanyikan dengan semangat meski tanpa iringan musik. Sang Saka Merah putih dinaikkan untuk pertama kalinya, di tiang bambu. Setelah upacara yang singkat itu Bung Karno kembali ke kamar tidurnya. Tubuhnya masih demam. Tapi ia sangat bangga. Sebuah negara baru telah dilahirkan. Pagi itu Indonesia merdeka. Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!

 17/8/2016

Antara Persepsi dan Realitas Purwakarta

Kabupaten Purwakarta tak jauh dari Jakarta, tapi proses pembangunan tak banyak terasa di desa Cisarua dan Pesanggrahan. Sebelum tahun 2001di desa Cisarua guru hanya satu orang dan kepala Sekolah Dasar hanya satu orang untuk 260 murid dari kelas satu sampai enam. Tukang kebun ikut membantu mengajar. Papan tulis dibelah-belah. Bangunan sekolah hampir ambruk, bocor di sana-sini, dan banjir. Jalan-jalan hanya berupa jalan setapak yang belum di aspal. Tidak ada dokter, bidan pun tidak ada. Rumah sakit tidak ada. Banyak ibu hamil yang keguguran karena jalan dibuat dari pecahan batu. Juga masih ada jalan tanah yang becek dan licin bila hujan. Penduduk harus naik sampan kayu di waduk Jatiluhur untuk pergi ke kota. Banyak anak dilahirkan dalam kondisi tempurung kepala tidak menutup sempurna karena kekurangan gizi. Tidak ada toilet. Jadi ada istilah ‘dolbon’ (modol di kebun). Tidak ada air yang bisa langsung diambil di dekat rumah. Para remaja puteri yang baru masuk usia remaja dinikahkan oleh orangtua mereka tanpa sempat mengenyam pendidikan tinggi. Bila melahirkan, mereka hanya menggunakan jasa paraji (dukun persalinan). Banyak perempuan yang puting dan vaginanya berkoreng karena pakaian dalam hanya diganti tiga hari sekali.

Kebun buah naga di Cisarua

Imam B. Prasodjo datang ke desa Cisarua pada 2001 dan terpanggil untuk memperbaiki taraf hidup penduduk di sana. Sosiolog dari FISIP UI ini mengajak Iis, satu-satunya guru di desa itu, untuk menceritakan kondisi desanya kepada para pendengar radio Delta. Imam rutin mengisi acara di radio itu. Ternyata banyak pendengar radio yang menyumbang uang. Uang sejumlah lima juta rupiah hasil sumbangan pendengar radio Delta lalu digunakan Imam untuk membeli tanah untuk mendirikan sekolah. Ia mendatangi bank Mandiri dan mendapat dana Rp 300 juta untuk membangun sekolah. Penduduk di desa itu gotong royong membangun sekolah. Pemilik toko material juga ikut menyumbang bahan-bahan yang dibutuhkan. Imam melibatkan masyarakat setempat untuk membangun desa mereka. Ia juga membangun beberapa sekolah di sekitar desa itu sehingga di kabupaten Purwakarta ada SD, SMP, dan SMA.
Imam mencari guru-guru untuk mengajar di desa. Juga mengupayakan agar mereka bisa diangkat sebagai PNS oleh Kemendikbud. Ia juga mengusahakan agar para guru mendapat pelatihan sehingga bisa sampai jenjang pendidikan D3. Beberapa murid di sana diberi kesempatan kuliah sampai sarjana. Ia mendirikan Rumah Ilmu di mana para mahasiswa yang melakukan penelitian dapat menginap di sana. Murid-murid sekolah, rekan-rekan Imam dari Yayasan Nurani Dunia, para guru yang membuat Yayasan Pena Hijau, para pejabat yang datang meninjau juga dapat berkumpul di sana.
Imam B.Prasodjo di waduk Jatiluhur


Imam juga membangun Rumah Sehat di mana para ibu hamil mendapat penyuluhan tentang gizi, kesehatan, dan melakukan senam kehamilan. Dengan berbagai sponsor dari perusahaan swasta dan bantuan pemerintah ia membuat jalan aspal, waduk air, perpustakaan, mengadakan dua bus desa, membuat kapal yang dapat digunakan untuk berbaring bagi pasien yang akan dibawa ke RS melalui bendungan Jatiluhur, memberi bantuan pakaian dalam bagi para perempuan di desa ini, memberi bantuan susu formula bagi bayi yang tidak mendapat ASI, membuat perkebunan buah naga, kolam ikan, memberi bibit sayuran kepada penduduk agar mereka bisa mandiri di bidang makanan, membuat biogas, bank sampah, mendatangkan ahli gizi dan psikolog, membuat lapangan sepakbola, dan sebagainya. “Setelah ada lapangan bola dan hadiah bola dari pemerintah dan Andy Noya, banyak kesebelasan sepak bola tumbuh di sini,” kata Imam.
Negara kita membutuhkan banyak orang seperti Imam dan Anda yang mencintai Indonesia.


Guru-guru di Rumah Ilmu
Hanya dua bidan yang melayani masyarakat Cisarua dan Pesanggrahan







 1/10/16