Minggu, 29 September 2019

Sepuluh Falsafah Jawa



Leluhur orang Jawa mengajarkan sepuluh falsafah hidup agar manusia dapat bermanfaat di dunia dan selamat di akhirat:

1.Urip Iku Urup. Hidup itu nyala. Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita. Semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik.

2. Memayu Hayuning Buwana, Ambarasta Dur Hangkara. Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan serta memberantas sifat angkara murka, serakah, dan tamak.

3. Sura Dira Jaya Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti. Segala sifat keras hati, picik, dan angkara murka hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar.

4. Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-aji, Sugih Tanpa Bandha. Berjuang tanpa perlu membawa massa. Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan. Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan, kekayaan, atau keturunan. Kaya tanpa didasari kebendaan.

5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan. Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri. Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu.

6. Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman. Jangan mudah terheran-heran,  Jangan mudah kecewa, Jangan mudah terkejut-kejut, Jangan manja.

7. Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman. Janganlah terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan, dan kepuasan duniawi.

8. Aja Keminter Mandak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka. Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah, Jangan berbuat curang agar tidak celaka.

9. Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo. Jangan tergiur oleh hal-hal yang kelihatan mewah dan bagus. Jangan berpikir mendua agar tidak hilang niat dan patah semangat, harus fokus.

10. Aja Adigang, Adigung, Adiguna. Jangan sok kuasa, sok besar, dan sok sakti



Tan Malaka



Tan Malaka menghasilkan 26 buku, memiliki 23 nama samaran di berbagai negara, pernah memasuki 13 penjara. Buku-bukunya yang sangat terkenal diantaranya adalah Massa Aksi, Dari Penjara ke Penjara, dan Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika).  Ia menguasai delapan bahasa (Minang, Indonesia, Belanda, Rusia, Jerman, Inggris, Mandarin, Tagalog). “Ingatlah, dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi.” Itu salah satu ucapan Tan Malaka yang terkenal. Ucapan itu terbukti benar. Salah seorang ‘penyambung lidahnya’ adalah Harry A.Poeze, sejarawan berkebangsaan Belanda.  Sejarawan ini meneliti sosok Tan Malaka selama 40 tahun.  “Tan Malaka adalah Che Guevara Asia,” kata Poeze.

Saya berdiskusi dnegan Prof. Harry Poeze

Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia pada Juni 1927. Melalui buku Madilog (1942) ia berupaya mencerdaskan bangsa, menyiapkan Indonesia merdeka. Pada 14 Agustus 1945 ia mendorong para pemuda untuk secepatnya meminta Bung Karno dan Bung Hatta agar memproklamasikan kemerdekaan. Usia Tan Malaka 48 tahun pada waktu itu. Para pemuda berusia 30an seperti Wikana, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, Sudiro  dan beberapa yang lain kemudian datang ke rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi) pada 15 Agustus 1945. Mereka mendesak Bung Karno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.
Saya bersama Prof. Zulhasril Nasir

Pada 16 Agustus 1945 dini hari mereka membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, Karawang,  untuk merumuskan naskah proklamasi. Rengasdengklok relatif aman dibandingkan Jakarta yang penuh tentara Jepang. Rapat di  Rengasdengklok dilanjutkan pada  16 Agustus malam sampai 17 Agustus dini hari di rumah Laksamana Tadashi Maeda (di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta). Di rumah Maeda naskah proklamasi berhasil dirumuskan pada 17 Agustus 1945 dini hari, bulan Ramadhan. Pada pukul 10 naskah itu dibacakan Bung Karno di halaman rumahnya di Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Meski proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan, kekuasaan Jepang masih ada, larangan-larangan masih berlaku. Masuknya pasukan Angkatan Laut Sektutu melalui Tanjung Priok pada 9 September 1945 membuat situasi tidak menentu, seolah-olah negara kita masih milik Sekutu. Negara Indonesia belum menjadi negara berdaulat meski Kabinet sudah dibentuk.

Tan Malaka menggerakkan pemuda untuk memaksa Presiden Soekarno berpidato di lapangan IKADA (di timur Monumen Nasional). Rapat raksasa pada 19 September 1945 ini penting  untuk legitimasi politik, menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia telah merdeka. Para pemuda pejuang  dan semua elemen masyarakat bertekad maju dengan risiko apa pun. Mereka datang ke lapangan IKADA dari Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Banten dengan para pemimpin masing-masing. Meski hanya dengan bambu runcing, golok, dan keris ribuan rakyat bersatu di lapangan IKADA bersiap menghadapi para tentara Jepang yang siap dengan bayonet terhunus. Peran Laskar Rakyat Jakarta, Pemuda Menteng 31 (kini Gedung Joang), dan pemuda Prapatan 10 sangat penting untuk menggerakkan massa ke lapangan IKADA.  Presiden Soekarno kemudian muncul, hanya berpidato lima menit: meminta massa untuk kembali ke tempat masing-masing. Meski demikian, rapat akbar ini sudah menunjukkan bahwa rakyat menghormati kepemimpinan revolusi nasional, rakyat setia pada pemimpinnya, dan massa aksi merupakan alat revolusi yang penting.


Sebelas hari setelah peristiwa IKADA, 30 September 1945, Presiden Soekarno memberikan Testamen Politik kepada Tan Malaka sebagai ahli waris revolusi bila terjadi sesuatu pada Soekarno-Hatta. Testamen Politik ini diberikan karena Presiden Soekarno mengakui kepiawaian Tan Malaka, sebaliknya Tan Malaka juga mengakui kepemimpinan Presiden Soekarno.

Poeze datang dari Belanda untuk menjadi pembicara pada acara Dialog Kebangsaan di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, pada 18 September 2016.  Prof. Zulhasril Nasir, dosen FISIP UI,  yang menulis buku ‘Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan Singapura’ juga menjadi pembicara pada acara itu. 

Jakarta, September 2019.