Jumat, 08 Juni 2018

Gubernur Ali Sadikin Memaki-maki Wardiman Djojonegoro



“Tugas Gubernur adalah peduli kepada para warganya sejak mereka lahir sampai meninggal,” kata Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966 – 1977). Langkah pertama yang ditempuhnya antara lain memperbaiki hubungan kerja antara legislatif dan eksekutif serta merombak susunan organisasi pemerintahan. Ia blusukan masuk ke kampung-kampung kumuh untuk melihat langsung keadaan Jakarta. Ia mengadakan rapat setiap Senin pada pukul 7.00. Tak ada pejabat yang berani datang terlambat apalagi mangkir mengikuti rapat. Para staf diminta blusukan setiap Sabtu dan Minggu untuk dilaporkan setiap Senin.

Pada 1969 sekitar 60% penduduk Jakarta hidup di pemukiman kumuh. Pada 1975-1976 jumlah kampung yang diperbaikinya meliputi 4.694 hektare. Ketika Ali Sadikin datang menyaksikan proyek perbaikan kampung, seorang perempuan tua mengucapkan: “Bapak Gubernur, semoga amal Bapak diterima Tuhan.” Selama proyek berjalan sambutan masyarakat baik sekali, penduduk suka rela memberikan tanah yang terkena proyek tanpa minta ganti rugi. Proyek perbaikan kampung mendapat penghargaan dari PBB.

Untuk melancarkan lalu lintas di Glodok yang setiap hari macet, Ali Sadikin ingin melebarkan Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk. Tetapi stafnya mengingatkan: “Pak, jika kita melebarkan jalan, maka kita harus memberikan ganti rugi tanah dan bangunan.” Ali Sadikin menggebrak meja. “Kita akan melebarkan jalan tanpa ganti rugi!” Melihat Ali Sadikin bersuara keras, tak ada lagi yang berani bicara.

Ali Sadikin meminta para aparat, dari camat sampai lurah, dibantu ketua RT untuk mensosialisasikan rencana pelebaran jalan. Para penghuni dapat menerima gagasan ini. Proyek pelebaran jalan berlangsung mulus tanpa ganti rugi kepada pemilik lahan dan bangunan yang terkena pelebaran jalan. Para pemilik lahan tak ada yang protes. Usai pelebaran jalan, mereka diundang pada acara ‘Malam Terima Kasih’ di kediaman Gubernur dengan hidangan sate dan lontong.”Pelebaran jalan saya bayar dengan sate dan lontong,” ucap Ali Sadikin.

Ali Sadikin juga berhasil menjadikan atlet DKI Jakarta mendapatkan medali terbanyak di Pekan Olahraga Nasional ke-VII di Surabaya. Di PON Surabaya Ali Sadikin juga menggebrak meja, karena ia ingin Panitia mengumumkan kemenangan berdasarkan perolehan medali di setiap cabang olahraga, bukan dengan hanya menyebutkan: “Propinsi A mendapatkan sekian medali.”

Para atlet DKI Jakarta yang memperoleh medali diberi liburan gratis oleh Ali Sadikin ke Singapura dan Thailand. “Saya ditugaskan menyiapkan keberangkatan mereka ke Thailand. Namun saya lupa memberitahukan Dubes RI di Bangkok tentang kedatangan mereka. Akhirnya saya dimarahi Ali Sadikin dan keluarlah nama-nama penghuni kebun binatang,” tulis Wardiman Djojonegoro dalam biografinya ‘Sepanjang Jalan Kenangan’. Wardiman pernah menjadi pimpinan Biro Kepala Daerah Pemprov DKI Jakarta sebelum menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada era Orde Baru.

Wardiman sekali lagi dimaki Ali Sadikin soal atlet. Gubernur ini menghormati para atlet, terutama yang menjadi juara. Ketika kontingen DKI Jakarta pulang dengan kapal dari Lampung setelah memenangkan pertandingan, Ali Sadikin meneleponnya: “Man, siapkan korps musik untuk menyambut mereka.” Wardiman menempatkan korps musik di depan tenda tamu. Itu membuat Ali Sadikin marah. “Korps musik untuk para pemenang. Jadi ditempatkan di dermaga, di tempat kapal merapat!”

“Ali Sadikin sering mengumpat kalau marah. Banyak pejabat yang menjadi sasaran kemarahannya, termasuk saya. Saya pernah lupa menginstruksikan agar bendera Singapura dikibarkan di  Balai Kota ketika Presiden Singapura Yusuf bin Ishak datang ke Jakarta. Akibatnya Ali Sadikin mengumpat marah kepada saya,” kenang Wardiman.

Meski suka memaki, Ali Sadikin tak pernah lupa janjinya untuk mengayomi rakyatnya. Ia mendirikan puskesmas, sekolah, museum, perpustakaan, gelanggang remaja dan mahasiswa, gedung kesenian dan kantor LBH, Taman Ria Remaja, Taman Ria Monas, Taman Impian Jaya Ancol, kawasan Industri Pulo Gadung, tempat pemakaman umum, mengaktifkan kembali Wayang Orang Barata, mengadakan pemilihan Abang dan None Jakarta, dan mengirim Miss Indonesia Irma Hardisurya ke kontes internasional.


Kamis, 07 Juni 2018

Kerusuhan 13 Mei 1998

Puluhan mahasiswa menduduki atap gedung DPR setiap hari sejak awal Mei 1998. Mereka menuntut Presiden Suharto berhenti sebagai Presiden.

 
Pameran Foto 20 Tahun Reformasi, 13 Mei 1998, di Galeri Antara, Jakarta






Menjelang lengsernya Presiden Suharto, saya dan suami sedang berada di depan supermarket Goro di Jalan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 13 Mei 1998. Tiba-tiba dua bus Metro Mini penuh penumpang pria berhenti di depan kami. Mereka turun dari bus, langsung menyerbu dan menjarah supermarket itu. Sebagian dari mereka berambut sangat pendek dan bersepatu keds.  Sepertinya  mereka sengaja diangkut dan diturunkan dari bus untuk menjarah. Suasana Jakarta sangat mencekam pada waktu itu. 
 
Didampingi putri pertamanya, Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) Presiden Suharto berpidato tentang pengunduran dirinya.
Sebelumnya sudah berhari-hari puluhan ribu mahasiswa demo di gedung DPR meminta Presiden Suharto lengser. Ada empat mahasiswa Universitas Trisakti yang ditembak aparat pada 12 Mei 1998.
Pasaraya Blok M dan Pasaraya Manggarai yang keduanya berlokasi di dekat terminal bus sama sekali tidak disentuh penjarah. Pemilik Pasaraya adalah Menteri Pariwisata Abdul Latief yang mengundurkan diri sebagai Menteri pada 17 Mei 1998. Begitu pula pertokoan di Jalan Panglima Polim Raya, Jakarta Selatan, yang terlihat aman.
Panglima ABRI  Wiranto memecat Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto

Siaran SCTV hampir setiap satu jam sekali menayangkan breaking news tentang peristiwa penjarahan itu. Saya mengikuti terus berita itu dengan cemas.
Dari tayangan televisi terlihat beberapa pertokoan  di Jakarta dibakar dan menewaskan ratusan orang. Mayat-mayat tampak gosong seperti arang. Jakarta lumpuh dan mengerikan pada 12 Mei – 13 Mei 1998.

Alhamdulillah akhirnya Presiden Suharto tumbang pada 21 Mei 1998, setelah 32 tahun berkuasa dan membangun sistem yang korup di negara kita.

Foto kerusuhan Mei 98: koleksi Galeri Antara. 
Foto saya karya Endro S.Markam



Ketua MPR Harmoko yang  pernah  menjadi Ketua Umum Golkar, menjadi Menteri Penerangan yang membredel perusahaan penerbitan Pers berkali-kali, meminta Presiden Suharto mengundurkan diri setelah situasi negeri menjadi sangat kacau.
Seorang ibu yang puteranya tewas ditembak polisi
Ratusan korban yang tewas akibat pertokoan dibakar pada Mei 1998.