Minggu, 29 Desember 2019

Rumah Raden Saleh

Rumah Raden Saleh yang kemudian menjadi bagian dari RS Cikini


Lukisan karya Raden Saleh Sjarif Boestaman yang paling terkenal berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro. Seperti kita ketahui, Pangeran Diponegoro diundang oleh Belanda ke Magelang untuk sebuah perundingan. Belanda sudah mengalami banyak kehilangan jiwa dan bangkrut dalam menghadapi pemberontakan Pangeran Diponegoro yang dikenal sebagai perang Jawa. Belanda kemudian mengundang Pangeran Diponegoro untuk berunding. Tetapi ternyata Belanda menipunya. Pangeran Diponegoro bukan diajak berunding, melainkan ditangkap. Itu sebuah tipuan yang licik dan memalukan.
Ada dua lukisan peristiwa bersejarah itu, yaitu versi Raden Saleh dan versi pelukis Belanda Nicolaas Pieneman. Raden Saleh memberi judul karyanya Penangkapan Pangeran Diponegoro sedangkan Pieneman memberi judul karyanya Penyerahan Diri Pangeran Diponegoro. Raden Saleh menggambarkan Diponegoro dengan raut tegas, menahan marah, kepala tegak dan mata menatap penuh kebencian kepada Jenderal Hendrik Mercus de Kock di depannya. Sedangkan Pieneman menggambarkan Diponegoro dengan wajah pasrah, tidak menatap Jenderal de Kock.
Lukisan Penyerahan Diri Pangeran Diponegoro karya Nicolaas Pienemann

Raden Saleh melukis tokoh Belanda di lukisannya dengan kepala yang sedikit terlalu besar agar tampak lebih mengerikan. Para pengikut Diponegoro digambarkan mengenakan kain batik dan blangkon dan tanpa membawa senjata karena mereka datang tidak untuk berperang, melainkan dengan niat untuk berunding. Pangeran Diponegoro pun tidak digambarkan membawa keris.
Banyak karya lain dari Raden Saleh yang terkenal di Eropa. Sekembalinya Raden Saleh dari  Eropa setelah ia 20 tahun bermukim di sana, ia mendirikan rumah di Cikini, Jakarta. Rumah megah itu didirikan di atas tanah milik istrinya. Mereka tinggal di rumah itu hingga 1852 sampai 1867, kemudian pindah ke Bogor. Raden Saleh meninggal pada 23 April 1884 dan dimakamkan di Bogor.
Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh

Rumah di Cikini itu memiliki kebun yang sangat luas, sebagian menjadi kebun binatang. Pada era Gubernur Ali Sadikin kebun binatang dipindah ke Ragunan dan di lahan bekas kebun binatang itu dibangun Taman Ismail Marzuki untuk para seniman.
Pada 12 Januari 1895 rumah itu dibeli oleh sepasang suami istri Dominee Cornelis de Graaf dan isterinya Adriana J de Graaf Kooman dengan harga 100 ribu gulden. Dana untuk membelinya dari sumbangan Ratu Emma (Ratu Belanda) pada waktu itu. Rumah itu digunakan untuk  merawat para pasien dan dinamakan Koningen Emma Ziekenhuis (Rumah Sakit Ratu Emma).

Rabu, 27 November 2019

Gubernur Ali Sadikin dan Para Seniman




Gubernur Ali Sadikin menceritakan sejarah TIM dan DKJ dalam biografinya yang ditulis oleh  Ramadhan K.H:

Pada suatu pagi datang Ilen Surianegara.  Istrinya, Tating, kenalan baik istri saya. Ilen datang bersama dua seniman lainnya, Ajip Rosidi dan Ramadhan K.H. yang baru saya kenal. Mereka membawa gulungan kertas. Ternyata kertas itu mencantumkan satu bagan mengenai apa yang dicita-citakan oleh para seniman. Kata mereka, itu konsep dari pelukis Oesman Effendi. Saya bertanya ke mana seniman-seniman yang dulu suka berkumpul di Senen.
“Mereka sudah tidak berkumpul lagi,” jawab Ajip. Padahal kesempatan berkumpul itu mereka butuhkan. Tapi bagaimana? Di mana?

Kami lalu membicarakan mengenai kebutuhan untuk menghidupkan kesenian di tengah kesibukan ibu kota yang mulai gemuruh dengan pembangunan, industri, perdagangan, pariwisata. Saya bisa memahami kebutuhan seniman. Di luar negeri pun kesenian diberi kesempatan untuk hidup dan berkembang. Tidak baik sebuah kota jika hanya diliputi kesibukan kehidupan industri, perdagangan, dan jasa. Kehidupan kota akan gersang  jika rohani tidak dikembangkan. Kesenian mesti hidup, tumbuh, dan berkembang.

Saya mengajak para seniman Jakarta untuk berkumpul dan berbicara. Terserah para seniman untuk membentuk satu lembaga jika memang mereka menginginkannya. Saya cuma akan memberi jalan kepada mereka. Artinya, Gubernur akan memberikan fasilitas, akan memberikan bantuan biaya. Tapi Gubernur tidak akan ikut campur dalam masalah keseniannya. Soal artistik, biarlah seniman membereskan dan menilainya sendiri. Pemerintah tidak boleh ikut campur menentukan. Biarlah para seniman itu bebas. Biar mereka merdeka mencipta. Biar mereka berkembang dengan segala khayal dan angan-angannya.

Para seniman kemudian membentuk formatur, antara lain Mochtar Lubis, Asrul Sani, Usmar Ismail, Gayus Siagian, Jayakusuma, Pirngadi, Zulharmans, untuk menyusun Dewan Kesenian Jakarta. Pada 7 Juni 1968 saya melantik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) terdiri atas 25 orang. Ketuanya Trisno Sumardjo.  Para seniman sendiri yang memilih para anggota DKJ. Saya tidak ikut campur.  Saya tantang para seniman itu. Saya cambuk mereka. Saya dorong mereka untuk mengisi kebebasan mereka. Sampai akhir jabatan saya, saya konsekuen, pemerintah tidak ikut campur soal konsep kesenian. Pemerintah hanya menyediakan dana. Di luar itu para seniman sendiri yang harus mengatur dan mengisi kegiatan kesenian itu. Saya suka berdebat dengan seniman, seperti dengan Wahyu Sihombing atau Ajip Rosidi, tapi saya tak pernah memaksakan kehendak saya.

Menurut saya, tidak semua kegiatan mesti menghasilkan uang melainkan ada juga kegiatan atau lembaga yang memang  tidak akan bisa menghasilkan uang tapi penting untuk dibina dan diberi dana. Prinsipnya, pihak yang bisa menghasilkan uang agar membina lembaga atau kegiatan yang tidak bisa menghasilkan uang tapi penting untuk dibina. Di dalam kehidupan masyarakat tidak semua sektor harus bisa menghasilkan uang. Ada sektor-sektor yang tidak bisa menghasilkan uang tapi penting untuk dibina, karena nyata merupakan kebutuhan dalam masyarakat. Seni perlu dibangun untuk memajukan bangsa. Kemajuan bangsa tidak cukup hanya dengan segi fisiknya, melainkan juga cukup dengan segi rohaniahnya, termasuk seni.

Saya kemudian membangun Pusat Kesenian Jakarta yang kemudian dinamakan Taman Ismail Marzuki untuk penghargaan kepada almarhum Ismail Marzuki, putra Betawi, komponis, dan pejuang kemerdekaan. Tempatnya di areal seluas delapan hektare bekas kebun binatang di Jl. Cikini Raya, Jakarta. Kendaraan umum dari berbagai arah banyak lewat di sana. Itu sebabnya saya pilih tempat itu agar bisa dicapai dan memudahkan banyak orang. Saya ingin menghidupkan TIM dengan DKJ-nya dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini menjadi IKJ).  

Pada waktu saya mendirikan bangunan-bangunan untuk pameran dan pertunjukan di TIM itu, sudah ada bangunan Planetarium sejak 1966. Planetarium terbengkalai karena Pemerintah Pusat tidak ada dana untuk melanjutkan pembangunannya. Saya lanjutkan pembangunan Planetarium.

TIM diresmikan pada 10 November 1968 dengan pertunjukan kesenian yang dinamakan Pesta Seni Jakarta. Pesta kesenian berlangsung tujuh hari, diisi dengan acara drama, gending karesmen Sunda, pameran dokumentasi kesusastraan Indonesia, pameran lukisan anak-anak, konser dengan solis Irawati Sudiarso dan Rudy Laban oleh Orkes Simfoni Jakarta di bawah pimpinan Adidharma. Ada tari balet, ada pantomim dari Jerman, ada diskusi soal bahasa Indonesia, ada lenong Nyai Dasima, dan tarian Tapanuli.

Sumber: buku biografi Bang Ali Demi Jakarta 1966 – 1977 oleh Ramadhan KH





Senin, 18 November 2019

Museum Jenderal Ahmad Yani


Di atas pintu museum ini dipasang tulisan: "Sampai Liang Kubur Kupertahankan Pancasila"


Museum Jenderal Ahmad Yani  di Jalan Lembang D 58, Jakarta, sebelumnya adalah rumah tinggal pribadi Sang Jenderal. Tempat ini diresmikan sebagai museum oleh Letjen Soeharto pada 30 September 1966 dengan nama Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Ahmad Yani. Beberapa tahun kemudian diubah namanya menjadi Museum Jenderal Ahmad Yani. Rumah ini dijadikan museum agar semangat mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 dapat diwariskan kepada generasi muda penerus bangsa. Di atas pintu masuk museum tercantum tulisan: "Sampai Liang Kubur Kupertahankan Pancasila".

Jenderal Ahmad Yani dilahirkan pada 19 Juni 1922 di kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pada 1940 ia masuk ke Dinas Topografi Militer. Setelah menyandang pangkat Sersan, ia ikut dalam pertempuran di Ciater, Lembang, ketika Jepang masuk ke Bandung. Ia ditawan Jepang  di Cimahi selama beberapa bulan lalu kembali ke Purworejo. Pada 1943 ia mengikuti pendidikan militer di Magelang.

Jepang menyerah kepada tentara Sekutu pada 14 Agustus 1945 dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Meski Indonesia sudah merdeka tapi pertempuran masih terjadi. Pada 25 September 1945 batalyon Yani berhasil melucuti senjata para tentara Jepang di Magelang.

Dengan adanya Dekrit 5 Oktober 1945 maka satuan pimpinan Ahmad Yani diresmikan menjadi Batalyon Yani dengan Mayor Ahmad Yani sebagai Komandannya. Pada 30 Oktober 1945 batalyon Yani terlibat pertempuran sengit dengan tentara Sekutu di Magelang. Batalyon Yani berhasil memukul mundur tentara Inggris  dari Magelang pada 21 November 1945. Batalyon itu terus bertempur sampai ke Ambarawa dan berhasil menguasai Ambarawa  pada 15 Desember 1945. 

Ahmad Yani juga membentuk pasukan khusus untuk menumpas pemberontakan DI/TII  (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Pasukan itu bernama Banteng Raiders. Wilayah-wilayah yang dikuasai DI/TII kembali dapat dikuasai oleh pasukan itu. Ahmad Yani juga berhasil menumpas pemberontakan PRRI/Permesta  (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta). PRRI/Permesta yang semula menentang kebijakan pusat dapat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Tentara menembak Jend. Yani yang berada
sekitar dua meter di balik pintu kaca.
Jenderal  Ahmad Yani, salah satu dari tujuh orang yang dibunuh oleh pasukan Cakrabirawa pada 1 Oktober 1965 dinihari. Jenazah mereka ditemukan pada 3 Oktober 1965 di sumur di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Oleh karena kendala teknis, baru pada 4 Oktober 1965 semua jenazah berhasil dievakuasi dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Pada 5 Oktober 1965 Pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Revolusi kepada mereka. Ketika ditembak oleh tentara, Jenderal Ahmad Yani menjabat sebagai Menteri/Panglima TNI AD.  Ia gugur pada usia 43 tahun.

Rabu, 06 November 2019

Pastor Van Lith


Orang Jawa suka berbohong. Stereotype itu menjadi salah satu pembicaraan dalam Kongres Kebudayaan (Javaans Cultuur Congres) di Solo pada 1918. Tapi stereotype itu dibantah justru bukan oleh orang Jawa, melainkan oleh Pastor van Lith yang terkenal sebagai ahli bahasa dan filsafat orang Jawa. “Orang Jawa bukan suka berbohong, melainkan tidak suka berterus terang karena tak ingin menyakiti hati orang. Orang Barat tidak dapat menyelami tabiat orang Jawa dalam pergaulan masyarakat. Di Barat kanak-kanak sampai dewasa dididik dan diberi anjuran lieg niet, artinya jangan berbohong. Sedangkan anak Jawa sejak kecil diberi doktrin grief niet, artinya jangan menyakiti hati. Misalnya, ada orang yang keringatnya berbau maka orang Jawa akan mengatakan: ‘Sebaiknya kau minum air kencur atau mengoleskan kapur sirih di badanmu. Ramuan itu bisa membuatmu lebih segar.’ Orang Jawa tidak akan berterus terang mengatakan: 'Kamu jangan dekat saya. Badanmu bau.’ Pada dasarnya manusia tidak senang bila mendengar dari orang lain mengenai kekurangan atau keburukannya. Tapi bila disampaikan dengan cara yang tidak menyakiti hati, maka saran yang baik akan diterima dengan rasa terima kasih.”

Franciscus Georgius Josephus Van Lith adalah misionaris dari Belanda. Pertama kali pastor ini datang ke Semarang  pada 1896, ditempatkan di Muntilan, Jawa Tengah,  sejak 1897 dan menetap di desa Semampir di tepi Kali Lamat. Ia kemudian belajar budaya dan adat Jawa. Ia memperjuangkan status pendidikan orang pribumi dengan mendirikan sekolah dan asrama guru untuk masyarakat di Muntilan yang kini bernama SMA Pangudi Luhur Van Lith.  Ia mampu menyelaraskan ajaran Katolik Roma dengan tradisi Jawa sehingga agamanya bisa diterima oleh masyarakat Jawa dan Tionghoa Indonesia.

Pada 14 Desember 1904 Van Lith membaptis 171 orang desa dari daerah Kalibawang di Sendangsono, Kulonprogo. Mereka adalah pribumi pertama yang memeluk agama Katolik. Peristiwa ini dipandang sebagai lahirnya Gereja di kalangan orang Jawa. Lokasi pembaptisan ini sekarang menjadi tempat ziarah Sendangsono.

Frans van Lith lahir pada 17 Mei 1863 di Belanda dan meninggal pada 9 Januari 1926 pada usia 62 tahun. Pada 2016 ia dianugerahi Satyalancana Kebudayaan oleh pemerintah Republik Indonesia.

Selasa, 01 Oktober 2019

Prof.DR.Ing.H. B.J.Habibie, Seorang Muslim yang Rahmatan Lil Alamin

Presiden RI ke-7, Ir.H.Joko Widodo, dan Presiden RI ke-3, Prof.DR.Ing.H. Bacharuddin Jusuf Habibie

Presiden RI ke-tiga, Prof. DR.Ing.H.Bacharuddin Jusuf Habibie, adalah contoh muslim yang baik: cinta ilmu pengetahuan, cinta agama, cinta tanah air, cinta keluarga, cinta sesama manusia, rendah hati, taat beribadah, dan toleran terhadap agama lain. Seperti pesawat yang harus seimbang, beliau menjaga keseimbangan kehidupan dunia dan akhiratnya dengan baik. “Di Eropa hampir tidak ada masjid, jadi saya salat di gereja,” katanya dalam sebuah wawancara. Ia rutin berpuasa Senin dan Kamis.

Meski sudah sukses di Jerman, Prof. Dr.Ing. H.Bacharuddin Jusuf Habibie mau kembali ke tanah airnya untuk membangun negerinya. Sebelum berusia 40 tahun Habibie sudah menjadi orang terpandang di Jerman. Ia menjadi Kepala Penelitian dan Pengembangan Analisis Struktur Pesawat Terbang di Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB) Hamburg sejak 1965. Pengetahuan dan keahliannya membawa Habibie menjadi direktur teknologi sekaligus penasehat senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB sejak 1969 sampai 1973. Selama berkarier di MBB Hamburg, Habibie banyak menyumbangkan hasil penelitian serta ide teori di bidang termodinamika, konstruksi, serta aerodinamika. Beberapa rumusan teorinya yang amat terkenal dalam dunia desain dan konstruksi pesawat terbang adalah Habibie Factor, Habibie Method, dan Habibie Theorem

Ia lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936 dan kuliah di Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule Jerman di bidang desain dan konstruksi pesawat terbang. Pada 1968 ia mengundang sejumlah insinyur dari Indonesia untuk bekerja di industri pesawat terbang Jerman. Sekitar 40 insinyur dapat bekerja di MBB atas rekomendasinya. Diharapkan mereka dapat memiliki pengalaman dan keahlian untuk membuat produk industri dirgantara di Indonesia.

Presiden Soeharto memanggilnya pulang ke tanah airnya pada 1973. Ia menjadi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada 1974. Pada 26 April 1976 ia mendirikan PT Industri Pesawat Tebang Nurtanio. Ia kemudian menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak 1978 – 1998 dan memimpin berbagai industri strategis di Indonesia seperti PINDAD, PAL, dan IPTN (Industri Pesawat Tebang Nusantara yang menggantikan nama Industri Pesawat Terbang Nurtanio). Pesawat hasil karya bangsa kita adalah pesawat N-250 yang diluncurkan pada 1995. Ini prestasi yang membanggakan bagi negara kita. Sebelumnya IPTN memproduksi pesawat CN-235 yang merupakan kerjasama dengan perusahaan CASSA Spanyol.

Pada 11 Maret 1998 Habibie diangkat sebagai Wakil Presiden. Dua bulan tujuh hari menjabat sebagai Wakil Presiden, Habibie kemudian menjadi Presiden ke-tiga pada 21 Mei 1998. Habibie menjadi Presiden hanya satu tahun empat bulan, karena pertanggungjawabannya ditolak MPR.  Namun selama masa kepemimpinannya yang singkat Presiden Habibie berhasil memberikan landasan kokoh bagi Indonesia. Pada masa itu lahir UU Anti Monopoli atau UU Persaingan Sehat, perubahan UU Partai Politik, dan UU Otonomi Daerah.

Dengan adanya UU Otonomi Daerah ini gejolak disintegrasi yang diwarisi sejak era Orde Baru berhasil diredam. Presiden Habibie juga memberi kebebasan kepada rakyat untuk menyalurkan aspirasinya sehingga muncul sekitar 40 partai politik. Pada zaman Orba hanya ada tiga partai politik.
Presiden Habibie membebaskan narapidana politik seperti Sri Bintang Pamungkas (mantan anggota DPR yang dibui karena mengritik Presiden Soeharto) dan Muchtar Pakpahan (pemimpin buruh yang dihukum karena dituduh memicu kerusuhan di Medan pada era Orba).

Pada era Presiden Habibie tidak diperlukan lagi Surat Izin Usaha Penebitan Pers sehingga bermunculan berbagai nama majalah dan koran bagaikan jamur di musim hujan. Tak ada lagi pembredelan perusahaan pers pada era reformasi. Presiden Habibie juga mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independen.

Presiden BJ Habibie mengeluarkan dua kebijakan terkait etnik Tionghoa, yaitu Inpres No 26/1998 yang menghapuskan istilah pribumi dan nonpribumi, serta mengarahkan agar semua pejabat pemerintahan memberikan layanan yang sama terhadap setiap warga negara, dan Inpres No 4/1999 yang menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI).
Menjelang akhir hayatnya mantan Presiden Habibie dijenguk oleh
mantan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao

Dalam masa kepeimpinannya yang sangat singkat lahir tiga undang-undang yang demokratis:  UU tentang Partai Politik, UU  tentang Susunan Kedudukan DPR/MPR, dan  UU tentang Pemilu. Lembaga pemilu berada di bawah Menteri Dalam Negeri pada zaman Presiden Suharto diubah menjadi lembaga yang independen pada zaman Presiden Habibie.  Juga dalam masa kepemimpinan Habibie dilakukan referendum di Timor Timur. Hasilnya: rakyat di provinsi itu memilih ke luar dari Indonesia. Timor Timur kemudian menjadi negara Timor Leste. “Timor Timur seperti batu di dalam sepatu kita sehingga sulit bagi kita untuk melangkah maju,” kata Habibie ketika Timor Timur lepas dari NKRI.

Di bawah kepemimpinan Presiden Habibie keluar Tap MPR No. XIII/MPR/1998, tentang Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal hanya dua periode. Meski tak lagi menjadi Presiden ia tetap dihargai sebagai bapak dan guru bangsa. Indonesia. Nama Prof. DR. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie diabadikan sebagai nama universitas di Gorontalo menggantikan nama Universitas Negeri Gorontalo.
Ainun dan Habibie

Habibie meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, pada 11 September 2019, menyusul istri tercintanya, Hasri Ainun Bestari, yang dipanggil Allah pada 22 Mei 2010. “Dulu saya takut mati. Tapi sekarang tidak lagi karena saya tahu Ainun telah menunggu saya di sana,” katanya dalam wawancara di televisi. Habibie sangat mencintai istrinya. Ainun juga sangat mencintai suaminya. Sebagai seorang istri, ia berprinsip the big you and the small I. Ia rela melepas kariernya sebagai dokter anak dan memilih berperan di belakang layar, menjadi ibu rumah tangga tak lama sesudah menikah dengan Habibie pada 12 Mei 1962. Pasangan ini dikaruniai dua anak, Ilham Akbar dan Thareq Kemal.

Selama Ainun dirawat di rumah sakit sampai akhir hidupnya di Muenchen, Jerman, ia selalu didampingi oleh Habibie. Setiap Jumat pagi Habibie datang ke makam istrinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata dan membaca surat Yasin. Kisah kasih pasangan harmonis ini diabadikan dalam film Ainun dan Habibie yang ditayangkan di bioskop pada Desember 2012. Film ini diangkat dari memoar yang ditulis Habibie berjudul Ainun dan Habibie.


Minggu, 29 September 2019

Sepuluh Falsafah Jawa



Leluhur orang Jawa mengajarkan sepuluh falsafah hidup agar manusia dapat bermanfaat di dunia dan selamat di akhirat:

1.Urip Iku Urup. Hidup itu nyala. Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita. Semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik.

2. Memayu Hayuning Buwana, Ambarasta Dur Hangkara. Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan serta memberantas sifat angkara murka, serakah, dan tamak.

3. Sura Dira Jaya Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti. Segala sifat keras hati, picik, dan angkara murka hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar.

4. Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-aji, Sugih Tanpa Bandha. Berjuang tanpa perlu membawa massa. Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan. Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan, kekayaan, atau keturunan. Kaya tanpa didasari kebendaan.

5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan. Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri. Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu.

6. Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman. Jangan mudah terheran-heran,  Jangan mudah kecewa, Jangan mudah terkejut-kejut, Jangan manja.

7. Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman. Janganlah terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan, dan kepuasan duniawi.

8. Aja Keminter Mandak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka. Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah, Jangan berbuat curang agar tidak celaka.

9. Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo. Jangan tergiur oleh hal-hal yang kelihatan mewah dan bagus. Jangan berpikir mendua agar tidak hilang niat dan patah semangat, harus fokus.

10. Aja Adigang, Adigung, Adiguna. Jangan sok kuasa, sok besar, dan sok sakti



Tan Malaka



Tan Malaka menghasilkan 26 buku, memiliki 23 nama samaran di berbagai negara, pernah memasuki 13 penjara. Buku-bukunya yang sangat terkenal diantaranya adalah Massa Aksi, Dari Penjara ke Penjara, dan Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika).  Ia menguasai delapan bahasa (Minang, Indonesia, Belanda, Rusia, Jerman, Inggris, Mandarin, Tagalog). “Ingatlah, dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi.” Itu salah satu ucapan Tan Malaka yang terkenal. Ucapan itu terbukti benar. Salah seorang ‘penyambung lidahnya’ adalah Harry A.Poeze, sejarawan berkebangsaan Belanda.  Sejarawan ini meneliti sosok Tan Malaka selama 40 tahun.  “Tan Malaka adalah Che Guevara Asia,” kata Poeze.

Saya berdiskusi dnegan Prof. Harry Poeze

Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia pada Juni 1927. Melalui buku Madilog (1942) ia berupaya mencerdaskan bangsa, menyiapkan Indonesia merdeka. Pada 14 Agustus 1945 ia mendorong para pemuda untuk secepatnya meminta Bung Karno dan Bung Hatta agar memproklamasikan kemerdekaan. Usia Tan Malaka 48 tahun pada waktu itu. Para pemuda berusia 30an seperti Wikana, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, Sudiro  dan beberapa yang lain kemudian datang ke rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi) pada 15 Agustus 1945. Mereka mendesak Bung Karno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.
Saya bersama Prof. Zulhasril Nasir

Pada 16 Agustus 1945 dini hari mereka membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, Karawang,  untuk merumuskan naskah proklamasi. Rengasdengklok relatif aman dibandingkan Jakarta yang penuh tentara Jepang. Rapat di  Rengasdengklok dilanjutkan pada  16 Agustus malam sampai 17 Agustus dini hari di rumah Laksamana Tadashi Maeda (di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta). Di rumah Maeda naskah proklamasi berhasil dirumuskan pada 17 Agustus 1945 dini hari, bulan Ramadhan. Pada pukul 10 naskah itu dibacakan Bung Karno di halaman rumahnya di Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Meski proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan, kekuasaan Jepang masih ada, larangan-larangan masih berlaku. Masuknya pasukan Angkatan Laut Sektutu melalui Tanjung Priok pada 9 September 1945 membuat situasi tidak menentu, seolah-olah negara kita masih milik Sekutu. Negara Indonesia belum menjadi negara berdaulat meski Kabinet sudah dibentuk.

Tan Malaka menggerakkan pemuda untuk memaksa Presiden Soekarno berpidato di lapangan IKADA (di timur Monumen Nasional). Rapat raksasa pada 19 September 1945 ini penting  untuk legitimasi politik, menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia telah merdeka. Para pemuda pejuang  dan semua elemen masyarakat bertekad maju dengan risiko apa pun. Mereka datang ke lapangan IKADA dari Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Banten dengan para pemimpin masing-masing. Meski hanya dengan bambu runcing, golok, dan keris ribuan rakyat bersatu di lapangan IKADA bersiap menghadapi para tentara Jepang yang siap dengan bayonet terhunus. Peran Laskar Rakyat Jakarta, Pemuda Menteng 31 (kini Gedung Joang), dan pemuda Prapatan 10 sangat penting untuk menggerakkan massa ke lapangan IKADA.  Presiden Soekarno kemudian muncul, hanya berpidato lima menit: meminta massa untuk kembali ke tempat masing-masing. Meski demikian, rapat akbar ini sudah menunjukkan bahwa rakyat menghormati kepemimpinan revolusi nasional, rakyat setia pada pemimpinnya, dan massa aksi merupakan alat revolusi yang penting.


Sebelas hari setelah peristiwa IKADA, 30 September 1945, Presiden Soekarno memberikan Testamen Politik kepada Tan Malaka sebagai ahli waris revolusi bila terjadi sesuatu pada Soekarno-Hatta. Testamen Politik ini diberikan karena Presiden Soekarno mengakui kepiawaian Tan Malaka, sebaliknya Tan Malaka juga mengakui kepemimpinan Presiden Soekarno.

Poeze datang dari Belanda untuk menjadi pembicara pada acara Dialog Kebangsaan di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, pada 18 September 2016.  Prof. Zulhasril Nasir, dosen FISIP UI,  yang menulis buku ‘Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan Singapura’ juga menjadi pembicara pada acara itu. 

Jakarta, September 2019.



Rabu, 28 Agustus 2019

Diskriminasi Hukum pada Zaman Kolonial Belanda


Pramoedya Ananta Toer dalam roman Bumi Manusia menggambarkan ketidakadilan hukum bagi pribumi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sebelum proklamasi kemerdekaan Balai Pustaka menerbitkan Salah Asuhan karya Abdoel Moeis yang juga menggambarkan ketidakadilan hukum bagi pribumi. Salah Asuhan berisi kritik sosial tentang hambatan terhadap perkawinan pria pribumi Hanafi dan Corrie, gadis peranakan Eropa. Corrie du Bussée adalah gadis dari ayah Prancis dan ibu Minangkabau dari luar perkawinan, tapi disahkan sebagai anak menurut Undang-undang. Menurut hukum, Corrie berstatus golongan penduduk Eropa.

Orang-orang peranakan Eropa dihina oleh golongan totok seakan-akan sebagai manusia lebih rendah derajatnya. Mereka dijuluki landa godong tela (Belanda daun singkong), landa kopi tubruk, dan lain-lain. Kaum totok tak mempedulikan mereka. Tapi kalau ada pria pribumi berani menikah dengan nonnie Belanda, maka pria itu mesti diberi sanksi sosial! Seorang nonnie yang menikah dengan pria inlander (pribumi) akan dibenci golongan Eropa totok.

Menurut Indische Staatsregeling (semacam UUD kolonial Hindia Belanda) kaum bumiputra lebih rendah hak dan kedudukannya menurut hukum. Kalau seorang bumiputera bersalah ia diadili oleh pengadilan yang lebih rendah (landraad bukan raad van djustitie) serta kurang haknya untuk membela diri dan mendapatkan keadilan. Kalau ia bekerja, gajinya kurang. Pada zaman kolonial seorang kerani (klerk) yang bekerja berat gajinya antara f15,- sampai f35,- sebulan, sedangkan tunjangan yang diterima seorang penganggur Eropa adalah f45,- sebulan.

Di bidang hukum seorang pribumi dapat dibuang ke Digul, meskipun menurut pemeriksaan di depan hakim ia tak bersalah. Sebagai pegawai negeri tingkat universitas seorang pribumi tak dapat memulai jabatannya di kota-kota besar, melainkan di daerah-daerah terpencil. Seorang pria bumiputera yang mengawini perempuan berstatus Eropa berarti ia akan kehilangan hak-hak atas tanah. Karena ia menganggap status kebumiputeraannya merupakan hambatan bagi perkawinannya dengan Corrie, Hanafi menulis surat permohonan kepada Gubernur Jenderal di atas kertas bermeterai f1,50,- (tun poa, menurut bahasa Tionghoa) untuk disamakan haknya menurut hukum Eropa. Permohonan itu dikabulkan Gubernur Jenderal. Jadilah ia seorang staatsblad European (orang Eropa menurut Lembaran Negara kolonial) atau ‘Belanda tun poa’! Seorang Belanda tun poa yang mengawini seorang nonnie akan selalu diawasi oleh golongan Eropa kolonial yang secara sosial tak dapat menerimanya sampai mati! Maka Hanafi dikucilkan dan istrinya yang berstatus Eropa dikucilkan. Begitulah nasib yang menimpa Meneer Han (nama baru Hanafi setelah peng-Eropa-annya) dan Corrie Han-du Bussée dalam roman Salah Asuhan. Roman ini pernah difilmkan oleh sutradara Asrul Sani pada 1970an.

Sumber: Roman sebagai Jenis Tipikal Sastra Indonesia Modern karya Prof. S.I. Poeradisastra

Marilah Bicara atas Dasar Cinta dan Kerja


Marilah bicara atas dasar cinta dan kerja
Tentang Negara Besar yang kita bangun ini
Negara yang kita proklamasikan, negara yang kita menangkan
Dengan segala pengorbanan dan penderitaan

Marilah bicara atas kesucian jutaan jiwa pahlawan
Tentang pembangunan gedung-gedung bertingkat, sekolah-sekolah tinggi
Tentang pembuatan pengairan, perkebunan, dan industri-industri
Akan cita kejayaan bangsa hari depan dan nanti

Adalah satu kebenaran sejarah bahwa kita bangsa yang besar
Yang telah melihat dan mendapat api kebenarannya kembali
Seperti kejayaan Gajah Mada-Majapahit yang disegani
Menyatukan Nusantara di bawah satu panji-panji

Sekali lagi marilah bicara atas dasar cinta dan kerja
Karena kita telah banyak belajar dari revolusi ini
Dari sejak rakyat bangkit, peristiwa Madiun, PRRI, dan Permesta

Revolusi kemanusiaan, revolusi maha besar
Hanyalah oleh bangsa dan jiwa-jiwa besar

*Puisi ini ditulis Jawastin Hasugian pada 1964. Selain menjadi penyair, Jawastin juga penulis novel Jalan Masih Panjang, Dikejar Bayangan, Kembalinya Si Anak Hilang, Langit Cerah di Atas Singasari, dan Pelita Desa Cemara.

Kamis, 15 Agustus 2019

Hasil Polling yang Dianggap Penistaan terhadap Rasulullah


Buku ini salah satu karya Arswendo yang ditulis berdasarkan pengalamannya di penjara. Banyak cerita tentang kehidupan di lembaga pemasyarakatan ditulis di dalam buku ini, tapi yang  saya ingat adalah cerita tentang seorang napi yang memperkosa angsa karena sudah begitu lama memendam kebutuhan seksualnya.

Pada zaman Orba Arswendo adalah pemimpin redaksi tabloid hiburan Monitor. Melalu tabloid itu ia membuat polling dengan pertanyaan: “Siapakah orang yang paling Anda kagumi?” Hasil polling ternyata nama Nabi Muhammad tidak berada di urutan pertama sebagai orang yang paling dikagumi. Rasulullah berada di urutan ke-sebelas. Hasil polling itu dimuat di tabloid Monitor edisi 15 Oktober 1990. Timbullah demo besar dari umat Islam. Massa membuat patung Arswendo dari kertas tabloid Monitor yang kemudian dibakar. Puncaknya terjadi pada 22 Oktober 1990. Massa mendatangi kantor Monitor dan memporakporandakan semua yang ada di sana. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang kala itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU berusaha meredakan amarah umat. Gus Dur berkata, wibawa Nabi Muhammad tidak akan berkurang hanya karena polling. Namun massa tetap murka. Akibatnya tabloid Monitor dibredel dan Arswendo dibui. Ia divonis lima tahun penjara.

Pada 19 Juli 2019 Arswendo Atmowiloto kembali kepada Allah yang Maha Adil, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, serta Maha Pemaaf. Rest in Peace, Mas Wendo.

Museum Maritim Indonesia



Nenek moyang kita sejak dulu kala sudah tahu betapa pentingnya infrastruktur berupa pelabuhan. Ada beberapa pelabuhan besar di Nusantara, diantaranya pelabuhan Sunda Kelapa, Cirebon, Tuban, Gresik, Surabaya, Aceh, Indragiri, Kampar, Belawan, Bima, Makassar, Tidore, Ternate, Banjarmasin, dan Balikpapan. Di pelabuhan-pelabuhan itu terjadi perdagangan dengan bangsa Cina, Arab, dan India. Belawan termasuk pelabuhan tua di Indonesia. Dulu dikenal sebagai kota Cina yang berkembang sejak awal Masehi. Pelabuhan ini pernah dikuasai Majapahit pada abad ke-14 kemudian menjadi wilayah Kesultanan Deli.


Kerajaan Mataram Kuno (abad ke-8 sampai abad ke-10) berpusat di pedalaman pulau Jawa tetapi memiliki beberapa pelabuhan di pantai utara, sekitar Pekalongan dan Semarang. Kerajaan yang diperintah dua klan beragama Hindu dan Buddha ini memiliki jaringan yang luas di Asia Tenggara. Klan yang beragama Buddha erat berhubungan dengan Sriwijaya di Sumatra.

Kerajaan Sriwijaya (abad ke-5 sampai ke-13) membangun pelabuhan dan mendirikan pusat pendidikan agama Buddha. Kapal-kapal mereka melayari Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia (kini Samudra Indonesia). Banyak peziarah Cina yang ikut dalam pelayaran mereka.
Perdagangan semakin ramai dengan kedatangan bangsa Eropa sekitar abad ke-16. Pada awalnya perdagangan dengan Cina, Arab, dan India masih menguntungkan pedagang Nusantara. Tapi setelah datang  perusahaan dagang Belanda,VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), kondisi menjadi berubah. Para pedagang Nusantara dipaksa tunduk pada aturan monopoli VOC.



Setelah melakukan monopoli perdagangan selama hampir dua abad, VOC bangkrut karena korupsi, perang dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan bersaing dengan  para pedagang dari negara-negara lain. VOC bangkrut pada 1799 dan  sejak itu Pemerintah Belanda mengambil seluruh aset  dan kuasanya. Lalu dibentuklah pemerintahan Hindia Belanda yang berpusat di Batavia (kini Jakarta).

Rakyat kemudian dipaksa menanam kopi, tebu, tanaman indigo, dan komoditas lain seperti beras, garam, dan terasi. Keuntungannya diambil Belanda. Pelabuhan kemudian menjadi pelabuhan ekspor impor. Pelabuhan  Belawan menjadi sangat penting sebagai pelabuhan ekspor tembakau Deli yang sangat terkenal. Pada 1890 dikembangkan pelabuhan baru yang disebut pelabuhan Gudang Merah. Pelabuhan Belawan termasuk yang terbesar di Hindia Belanda dan hingga kini menjadi pelabuhan andalan di Sumatra.


Sebelumnya, pada 1840, dibangun infrastruktur jalan raya di Jawa yang menghubungkan pelabuhan Cirebon dengan pedalaman. Pada akhir abad ke-19 pelabuhan Cirebon terhubung dengan jalur kereta api. Pelabuhan semakin ramai dan luas. Sejak 1909 – 1918  Cirebon dikunjungi sekitar 500 kapal pertahun. Investasi swasta muncul berupa pabrik rokok BAT (British American Tobacco) dan pabrik gula. Pabrik-pabrik ini menyerap banyak tenaga kerja lokal.





Selasa, 09 Juli 2019

Filosofi Jamu


Bagaimana cara mengetahui apakah penjual jamu gendong masih gadis atau sudah bersuami? Hitunglah berapa jumlah botol jamu yang dibawanya.  Jika botolnya berjumlah ganjil, maka penjual jamu itu masih lajang. Jika botolnya berjumlah genap, itu artinya ia sudah bersuami. Begitu yang ditulis pada sebuah foto jamu gendong yang disimpan di Perpustakaan Nasional.

Menurut Prof. Dr. Moelyono MW dalam buku Etnofarmasi, para pedagang jamu gendong selalu membawa delapan jenis jamu. Ini merupakan representasi dari delapan penjuru angin. Delapan jenis jamu itu adalah: kunir asem, beras kencur, cabe puyang, pahitan, kunci suruh, kudu laos, uyup-uyup (gepyokan), dan sinom.

Kedelapan jenis jamu gendong itu diminum dalam urutan rasa, dimulai dari manis-asam, pedas-hangat, pedas pahit, tawar, kemudian manis kembali. Urutan rasa itu dalam budaya Jawa sarat dengan filosofi kehidupan. Rasa manis adalah representasi dari sebagian rasa yang dialami masa balita. Kemudian rasa asam. Ini  merupakan representasi dari kondisi remaja berumur 11 – 15 tahun, masa ketika manusia melihat samar-samar kehidupan yang sebenarnya.

Fase kehidupan selanjutnya adalah masa pradewasa yang dilambangkan dengan beras kencur. Beras kencur dimaknai sebagai bebering alas tan kena diukur atau luasnya dunia belum bisa dikira-kira. Ini melambangkan fase memasuki gerbang kedewasaan . Ini masa ingin tahu dan egois tanpa memikirkan akibatnya. Rasa beras kencur yang sedikit pedas menggambarkan bahwa manusia baru merasakan sedikit saja rasa kehidupan yang sebenarnya. Pada fase ini dikenal istilah manusia yang masih bau kencur.

Rasa cabe puyang adalah rasa pahit dan pedas yang dialami manusia dalam kehidupan dewasa. Semakin tua semua rasa pahit dan pedas itu hilang dan berubah menjadi tawar. Pada manula semua rasa asam, pedas, dan pahit berubah menjadi manis kembali.












Berbeda dengan cara tradisional, Acaraki menyajikan jamu dalam cara modern. Bahan-bahan untuk membuat jamu tidak direbus (digodog), melainkan dipanggang atau dimasukkan ke dalam oven, dikeringkan untuk sterilisasi.

Untuk menikmatinya, jamu bisa diseduh langsung dengan air (jamu tubruk), disaring dan ditetes (jamu tetes), espresso, dan sebagainya. Rasanya pun beraneka.  Ada beras kencur yang dicampur dengan susu dan krimer, ada kunyit asam yang dicampur dengan air soda (Golden Sparkling), dan sebagainya. Berasnya pun berbeda-beda. Beras hitam dan beras putih menghasilkan rasa yang berbeda. Anda bisa duduk dengan nyaman sambil menikmati sensasi rasa jamu yang disajikan barista di Acaraki, Gedung Kertaniaga 3, kawasan Kota Tua Jakarta.

Sang Merah Putih


Merah darah menyiram bumi
Jasad moyangku terkapar rebah
Putih kain pembalut diri
beliau syahid berkafan darah

Merah darah sekujur badan
Panas mengalir reda tiada
putih hati muda pahlawan
ke Nusa tetap terikat cinta

Merah rona nirmala petang
memayung alam tumpah darahku
Putih suci melati kembang
Lambang kecantikan Nusantaraku

Merah putih bendera kita
perlambang jaya Nusa berdaulat
Merah gagah campin perwira
Putih suci... Merdeka tetap!!!



* Puisi karya Talsya yang ditulisnya pada 1946. Ia lahir di Aceh pada 23 Juni 1925. Teuku Ali Basyah Talsya mengawali karir sebagai Redaktur Atjeh Sinbun (1942 – 1945) lalu bekerja di media lain termasuk Antara. Ia  menjadi juru bicara Gubernur Aceh (1964 – 1968) dan menjabat Kepala Jawatan Penerangan Daerah Istimewa Aceh. Ia menulis puisi, cerpen,
novel, biografi, dan buku  budaya dan sejarah. Buku sajaknya Lambaian Kekasih dan Musim Badai.



Jumat, 08 Maret 2019

Srimpi


Tari Srimpi adalah tari klasik dari Jawa Tengah yang dipertunjukkan oleh penari wanita yang gerakannya halus, lemah gemulai dari pangkal lengan sampai ujung jari yang lentik. Begitu pula langkah kakinya luwes penuh pesona wanita Jawa. Tari Srimpi muncul pertama kali pada masa kejayaan kerajaan Mataram yang diperintah oleh Sultan Agung (1613-1646). Tari ini hanya dipentaskan di lingkungan keraton sebagai acara ritual kenegaraan sampai peringatan naik takhta Sultan.  

Pada 1775 kerajaan Mataram terpecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Di Kesultanan Yogyakarta tari Srimpi digolongkan menjadi tiga, yaitu Srimpi Babul Layar, Srimpi Dhempel, dan Srimpi Genjung. Di Kasunanan Surakarta tarian Srimpi digolongkan menjadi dua, yaitu Srimpi Anglirmendhung dan Srimpi Bondan.  

Tari Putri China (Srimpi Muncar) adalah tari klasik yang memiliki kekhususan karena para penari mengenakan kostum seperti busana wanita China.  Sementara tari Bedaya Srimpi pernah ditarikan oleh Gusti Nurul, putri Mangkunegoro VII, di istana Noordeinde di Belanda. Tarian itu merupakan hadiah Mangkunegoro VII untuk Ratu Wilhelmina pada acara perkawinan anaknya, Putri Juliana,  dan Pangeran Bernhard pada 7 Januari 1937. Gusti Nurul menari di Den Haag diiringi suara gamelan  yang langsung dipancarkan stasiun radio SRV di Solo. Para penabuh gamelan di Solo secara live  memainkan musik untuk mengiringi Gusti Nurul menari di Belanda.  SRV (Solosche Radio Vereeniging) adalah lembaga penyiaran pertama milik bangsa Indonesia.
Gusti Nurul dan kostum penari Srimpi Muncar (tari Putri China)

Pada umumnya tari Srimpi dipertunjukkan oleh empat penari wanita. Komposisi empat penari merupakan simbol dari empat unsur, yaitu toyo (air), grama (api), angin (udara), dan bumi (tanah). Meski  para wanita menari lemah gemulai, namun pistol dipakai sebagai properti untuk tari Srimpi Padhelori karya Sultan Hamengku Buwana VI dan VII. Pistol  juga melengkapi penampilan para penari Srimpi Merak Kasimpir, tari yang diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana VII. Di balik kelembutan wanita Jawa yang lemah gemulai, mereka memiliki keberanian mengangkat senjata. Begitu pesan yang ingin disampaikan dalam seni tari ini.

Begitu indahnya tari Srimpi sampai jurnalis Rosihan Anwar menulis puisi berjudul Srimpi. Puisi ini dimuat pada harian Merdeka pada 5 Januari 1946.

Mendayu-dayu bunyi gamelan
Ayu-ayu paras perawan
Lentik-lentik jari tangan
Lemah gemulai gerak badan
Di bawah damai cahaya sandelir...

Sunyi bergetar kalbu penyair
Mendalam damba mesra dan rindu

Kukenangkan lagi mimpi dahulu...



Minggu, 24 Februari 2019

Museum Pustaka Peranakan Tionghoa




Peristiwa 12 - 14 Mei 1998 ketika banyak pertokoan Tionghoa dibakar dan ratusan orang tewas terpanggang menyentuh hati Ir.Azmi Abubakar. Pemuda asal Aceh ini lalu mengumpulkan buku, dokumen, koran, foto, dan segala benda bertema Tionghoa. Ia ingin bangsa Indonesia mengetahui peran dan jasa besar etnis Tionghoa di Indonesia. “Etnis Tionghoa adalah saudara kita. Mereka juga memiliki kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan kita. Tapi suara mereka dibungkam selama masa Orde Baru. Semua yang terkait dengan budaya etnis Tionghoa dilarang. Saya tidak ingin ada rasisme dan diskriminasi di negara kita. Kita setara,” kata Azmi.

Ir. Azmi Abubakar
Padahal pada masa penjajahan Belanda pemimpin perang terbesar (1740 – 1743) di pulau Jawa adalah Tionghoa bernama Kapiten Sepanjang. Laksamana John Lie adalah pahlawan nasional asal etnis Tionghoa. THHK (Tiong Hoa Hwee Kwan) adalah sekolah modern pertama di Indonesia yang berdiri pada 1901. Sekarang dikenal dengan sebutan Pahoa.  Etnis Tionghoa berperan dalam mendirikan ITB dan Undip yang selama ini tak pernah diberitakan.  Surat kabar Sin Po yang menyiarkan lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman ketika tak ada satu pun media yang berani memuat lagu kebangsaan itu. W.R. Supratman adalah wartawan Sin Po.  Ada beberapa anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang berasal dari etnis Tionghoa.

Ir. Azmi Abubakar memiliki sekitar 35 ribu bacaan mengenai etnis Tionghoa yang dikumpulkannya sejak 1998. Ia kemudian mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa pada pertengahan November 2011. Melalui museum ini Azmi ingin memberikan pengetahuan kepada generasi tua dan muda mengenai sejarah Indonesia. Museum itu berupa ruko dua lantai di CBD Plaza di BSD City, Tangerang. Ia membiayai sendiri semua perawatan dan penambahan jumlah koleksi museumnya. Museumnya kini menjadi tempat untuk mencari referensi oleh para pelajar dan mahasiswa dari luar kota dan luar negeri.

Semasa kuliah di Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Indonesia ia aktif di berbagai organisasi mahasiswa. Pada 1999 Ir. Azmi menjadi  pimpinan tertinggi Komite Mahasiswa Pemuda Aceh Nusantara  yang memiliki banyak cabang di berbagai daerah di Indonesia. Ia memprakarsai terciptanya perdamaian di Aceh yang pada waktu itu sedang konflik bersenjata yang berkepanjangan. Kini ia menjadi pengusaha properti, memiliki sejumlah toko buku di antaranya di Kuala Lumpur, dan menjadi caleg Partai Solidaritas Indonesia di dapil Tangerang. Bila menjadi anggota legislatif, ia  antara lain ingin pelajaran sejarah berisi kontribusi semua etnis bagi perjuangan dan kemajuan negara kita.

Jakarta, 30 Januari 2019

Sabtu, 09 Februari 2019

Tionghoa dan Betawi


Pada abad ke-16 VOC mendatangkan orang-orang Bugis, Bali, Ambon, Banda, dan terutama Tionghoa ke Batavia untuk menjadi tenaga kerja mereka. Di Batavia kemudian terbentuk kampung Bugis, kampung Ambon, kampung Bali, kampung Makassar, dan sebagainya. India Muslim dan Arab tinggal di kampung Pekojan. Pergaulan antar etnis di Batavia membuat budaya mereka saling memengaruhi.

Etnis Betawi  cukup banyak dipengaruhi budaya Tionghoa, sebaliknya Tionghoa peranakan dipengaruhi budaya Betawi. Begitu dekatnya interaksi budaya kedua etnis ini  sampai muncul selorohan orang Betawi: “Betawi amé Ciné ubungannyé kayé gigi amé bibir ajé.” Orang Betawi  belajar silat dari Tionghoa. Cara orang Betawi memperkenalkan diri mirip Tionghoa, cara mereka duduk dan bercakap-cakap juga sama dengan Tionghoa yaitu duduk di kursi dan memakai meja, bukan duduk di hamparan tikar.

 Ada beberapa istilah yang memakai bahasa Tionghoa Hokkian selatan, seperti: gua, lu, seceng (seribu), cabo (perempuan), kongko (mengobrol), teko, kuaci, dipan, kemoceng, anglo, mangkok, dan sebagainya. Di bidang kuliner juga ada yang berasal dari Tionghoa seperti kecap (dari kata ke-chiap), mie, bihun, kuetiau, somay, bakso, capcay, tahu, toge, tauco, kucai, juhi, ebi, tepung hunkue, lokio, lumpia,dan sebagainya.

Pengaruh budaya Tionghoa terasa pula dalam pernikahan tradisi Betawi. Di wilayah Jabodetabek suatau pernikahan ala Betawi kurang lengkap bila tanpa bunyi serangkai petasan pada waktu pengantin pria berangkat dari rumah orangtuanya. Bunyi petasan ini merupakan pengaruh budaya Tionghoa. Begitu pula pesilat berseragam yang membawa senjata khas Tionghoa berupa tongkat panjang. Para pesilat ini bertugas mengarak pengantin.

Pakaian perempuan Betawi sama seperti pakaian pengantin perempuan tradisi Tionghoa peranakan. Aksesori pengantin ala Putri Cina terdiri atas serangkaian tusuk konde berornamen bunga dan dapat bergoyang mengikuti gerakan kepala pengantin sehingga dikenal dengan sebutan Kembang Goyang.  Diantaranya terdapat empat batang tusuk konde yang panjang yang dinamakan tusuk konde Burung Hong. Ada penutup wajah pengantin perempuan yang disebut Siangko. Baju pengantin berpotongan Mancu disebut baju Tuaki dan bagian bawahnya berupa rok lipit disebut Kun. Di bagian punggung, bahu, dan dada pengantin perempuan terdapat aksesori yang disebut terate.

Kalau datang ke perkawinan para tamu akan memberikan angpau yaitu amplop bergaris merah berisi uang kepada tuan atau nyonya rumah. Para pria Betawi biasanya memakai baju koko dengan padanan celana batik dan sarung yang diselempangkan di leher.  Para perempuan memakai kebaya nyonya.  Kebaya ini merupakan pengaruh tidak langsung orang Tionghoa peranakan terhadap kaum Betawi, meski asalnya dari kaum Belanda peranakan (Indo). Kebaya ini kemudian diadaptasi dan dimodifikasi kaum Tionghoa peranakan (Nyonya).

Jika kebaya kaum Indo hanya berwarna putih dengan pinggiran berenda indah, maka kebaya perempuan Tionghoa peranakan lama kelamaan tidak lagi berwarna putih dan berenda namun diberi bordir (sulaman) benang warna-warni. Bermacam motif dekoratif disulamkan di sini, mulai dari aneka flora, kupu-kupu, burung, dan lain-lain.

Jika kebaya Indo memiliki ujung rata, kebaya nyonya dibuat menjadi sonday (meruncing). Ujung sonday inilah yang kemudian menjadi ciri khas kebaya nyonya peranakan yang kemudian popular dengan sebutan kebaya encim. Selanjutnya kebaya encim  dikenakan perempuan Betawi dan menjadi dress code dalam berbagai event bernuansa budaya Betawi. Tapi kebaya nyonya yang diadopsi orang Betawi sama sekali tidak menampilkan bentuk hiasan seperti udang, ikan, rusa, kupu-kupu, dan burung.


Menjelang Sincia (tahun baru Imlek) di kalangan peranakan di Jakarta ada kebiasaan turun temurun mengantarkan ikan bandeng dan kue keranjang untuk mertua atau calon mertua. Ini diangap tindakan yang tahu adat.Tak jarang ikatan pertunangan dinyatakan  putus karena sang calon menantu tidak tahu adat, tidak mengerti kewajibannya mengantar ikan bandeng dan kue keranjang kepada calon mertua. Kebiasaan ini masih dilakukan di kalangan Betawi dengan membelinya di pasar ikan bandeng di Rawabelong, Jakarta Barat, yang ramai menjelang Sincia.

Sumber: buku Tionghoa dalam Keindonesiaan Jilid II