Senin, 28 Mei 2018

Pram



Setiap Kamis saya datang ke rumah Pramoedya Ananta Toer pada waktu ia masih tinggal di Utan Kayu, Jakarta. Itu sekitar tahun 1997. Saya datang untuk mewawancarai penulis kelas dunia itu setiap  pukul 14 – 16, setelah ia tidur siang. Pak Pram yang lahir di Blora pada 6 Februari 1925 rutin tidur siang.  

Pak Pram menjawab semua pertanyaan saya dengan baik, fokus, dan mendalam. Kegiatan interview ini saya lakukan untuk membantu teman saya, Sanjay Perera, yang sedang mengambil program doktoralnya di National University of Singapore (NUS). Sanjay mengirim pertanyaan-pertanyaan melalui email kepada saya dan saya mengajukan semua pertanyaannya kepada Pak Pram. Semua jawaban Pak Pram kemudian saya kirim melalui email kepada Sanjay, mantan jurnalis The Straits Times. Sayangnya ketika interview baru  dilakukan delapan kali, Pak Pram pindah rumah ke Bogor. Saya tak punya kemauan untuk mewawancarainya di Bogor.

Saya mengenal Sanjay pada September 1996 ketika kami sama-sama diundang oleh Colombo Hilton Srilanka untuk meliput berbagai destinasi wisata di negara itu. Ia adalah pria keturunan India yang tinggal di Singapura dan sangat mengagumi Pak Pram. “Pak Pram is my hero,” katanya. Baginya, Pak Pram adalah tokoh pejuang yang melawan kediktatoran pemerintah Orde Baru. Untuk menyiapkan disertasinya Sanjay membaca karya-karya  Pramoedya, antara lain yang diterjemahkan oleh John McGlynn, pria Amerika yang menjadi salah satu pendiri Yayasan Lontar di Indonesia. McGlynn yang memiliki nama pena Willem Samuels sudah menerjemahkan beberapa karya penulis Indonesia. 

Karya-karya Pramoedya diterjemahkan ke dalam 40 bahasa. Ia menulis novel-novelnya pada waktu ia ditahan di pulau Buru pada 1969  sampai 1979. Sebelumnya ia ditahan di penjara Salemba (13 Oktober 1965 – Juli 1969) dan di pulau Nusakambangan (Juli 1969 - 16 Agustus 1969). Dari semua novel Pramoedya Ananta Toer, Sanjay paling suka yang berjudul The Mute’s Soliloquy (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu). Novel itu menceritakan pengalaman memilukan Pak Pram dan para tahanan politik lainnya di Pulau Buru. Banyak di antara mereka yang mati kelaparan, menderita penyakit beri-beri, diperintah kerja paksa menanam pohon dan mengolah sawah, disuruh menggali makamnya sendiri sebelum ditembak di tepi liang kuburnya. Yang sangat menyedihkan, banyak diantara para tapol yang dituduh sebagai anggota PKI tanpa dibuktikan di pengadilan apakah benar mereka adalah PKI.

Novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langka, dan Rumah Kaca adalah tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer yang dilarang beredar pada zaman Orde Baru. Sanjay geram pada pemerintah Orba yang melarang peredaran buku-buku itu. Ketika mendengar berita bahwa Presiden Suharto lengser pada 21 Mei 1998, ia segera menelpon saya untuk mengucapkan selamat karena Indonesia punya Presiden baru. 

Saya pernah membaca novel Bumi Manusia, tapi yang paling mengesankan bagi saya adalah Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Sejak alinea pertama Nyanyi Sunyi sungguh menyentuh. Pak Pram menceritakan bagaimana ia harus berpisah dengan anak perempuannya, sebab ia dipindah dari penjara Salemba ke pulau Nusakambangan. Ini sedikit cuplikan tulisan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang ditujukan Pak Pram kepada anaknya: 
 

“Tentu saja kau tahu, tak ada keberatan padaku kau memilih seorang suami untuk dirimu sendiri. Juga aku percaya, kau akan tetap ingat pesanku pada calon suamimu sebelum kau menikah di depanku: Anak ini, anakku yang pertama, anak yang aku sayangi. Dahulu neneknya berharap ia jadi dokter, ternyata ia akan menjabat jadi istrimu. Jadi setelah nanti sebentar kalian menikah, jangan sekali-sekali anakku dilarang atau dihalangi kalau ia mau meneruskan pelajarannya. Kedua, tidak aku izinkan anakku dipukul atau disakiti. Ketiga, anak ini kau pinta padaku untuk diperistri secara baik-baik, kalau karena sesuatu hal kau tidak menyukainya lagi, kembalikan pula ia secara baik-baik padaku...”