Minggu, 27 Desember 2020

Kekejian Pemerintahan Orde Baru

Di Flores ketika umat sudah memenuhi gereja seorang pastur menunjuk satu-persatu umatnya yang sudah menjadi simpatisan Barisan Tani Indonesia, organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Mereka memperoleh pembagian tanah dari Barisan Tani Indonesia yang telah memperjuangkan tanah bagi mereka yang tak bertanah. Mereka tak terlibat dalam pembunuhan para Jenderal di Jakarta.

Mereka dibawa keluar gereja menuju tanah kosong dan diperintahkan menggali lubang. Kemudian kedua ibu jari mereka diikat ke belakang. Mereka ditembak, tumbang ke dalam lubang yang mereka gali sendiri. Kalau ternyata masih hidup, ada yang turun ke liang lahat dengan parang, memancung leher sampai tubuh korban benar-benar sudah tidak bergerak. Tanah pulau Flores merah. Siapa yang punya bedil kalau bukan tentara. Yang membawa parang adalah penduduk yang ingin selamat, sehingga terpaksa berpihak pada para penyandang senapan.


Mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur, Dokter Ben Mboi, mengutuk kekejian itu. Menurutnya, negara harus bertanggung jawab terhadap pembantaian manusia pasca G30S. Penerima Magsaysay Award ini menceritakan dalam memoarnya bahwa suasana kekerasan di luar batas pada waktu itu.  “Benar-benar merupakan the blackest and the blackest months of my life. Sampa hari ini pun bayangan bulan-bulan itu masih terpatri dalam ingatan, seperti baru terjadi kemarin.”

Ben Mboi bersama istrinya, Dokter Nafsiah Mboi, naik kapal dari Tanjung Perak ke Ende, untuk menjadi petugas kesehatan di Nusa Tenggara Timur, seminggu setelah bencana politik G30S pada 1965 di Jakarta. Ben menulis: “Pada suatu hari ada dua guru yang dipenggal dan diarak massa keliling kota Ende, lalu dipamerkan di suatu tugu di tengah kota. Istri saya memanggil Kepala Seksi Satu Kodim: ‘Sersan, kalau semua wanita dan anak-anak di kota Ende, termasuk anak-istri Sersan, histeria karena menonton dua kepala orang tanpa badan itu, siapa yang akan menangani dan bertanggung jawab? Apa hebatnya membunuh orang dan memamerkan kepalanya di tengah kota?’ Akhirnya dua kepala itu dikuburkan! Ada orang PKI yang disiksa lalu ditembak, ada yang disiksa sambil berjalan sampai mati, ada yang dibakar hidup-hidup!”

Sumber: buku memoar Martin Aleida Romantisme Tahun Kekerasan.

Selasa, 22 Desember 2020

Stereotype

Ada muslim yang baik dan ada yang jahat
Ada nonmuslim yang baik dan ada yang jahat

Ada orang kaya yang baik dan ada yang jahat
Ada orang miskin yang baik dan ada yang jahat

Ada orang kulit hitam yang baik dan ada yang jahat
Ada orang kulit putih yang baik dan ada yang jahat

Ada orang berpendidikan tinggi yang baik dan ada yang jahat
Ada orang berpendidikan rendah yang baik 
dan ada yang jahat

Ada etnis Tionghoa yang baik dan ada yang jahat
Ada etnis Jawa yang baik dan ada yang jahat

Untuk menjadi orang baik tidak tergantung pada agama, status, warna kulit, pandangan politik atau kebudayaan. Menjadi orang baik tergantung pada bagaimana caramu memperlakukan orang lain.

Minggu, 20 Desember 2020

Tanya Jawab Diri Sendiri Ajip Rosidi

T: Menurutmu apa yang penting dalam berIslam?

J: Melaksanakan keadilan. Kata adil itu tak aku temukan padanannya dalam bahasa Melayu atau bahasa Sunda. Entah dalam bahasa ibu yang lain yang ada di Indonesia. Kata adil sendiri berasal dari bahasa Arab yang niscaya dipungut setelah Islam masuk ke sini. Apakah tidak adanya padanan kata adil itu menunjukkan bahwa dahulu sebelum kedatangan Islam, dalam masyarakat kita tak dikenal konsep keadilan? Ataukah karena dipungutnya kata adil dari bahasa Arab lantas kata padanannya yang asal menjadi lenyap? Masih harus diteliti.

T: Tapi keadilan kan adanya hanya di tataran pemegang kekuasaan saja...

J: Tidak. Keadilan yang aku maksudkan ialah keadilan yang harus dipunyai oleh setiap muslim ketika memperlakukan orang-orang lain di sekitarnya, baik yang sama-sama memeluk Islam maupun yang tidak. Dan ukurannya sederhana saja: Kita harus memperlakukan orang lain seperti kita ingin orang lain memperlakukan kita. Tentu saja agar berlaku adil, kita harus jujur, artinya kita harus menilai orang lain seperti kita menilai diri sendiri. Keadilan dan kejujuran adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan. Kalau semua orang sudah terbiasa jujur dan bersikap adil, aku yakin masyarakat kita akan benar-benar Islami.

T: Sejak belasan tahun lalu kau bukan saja taat melaksanakan ibadah wajib sehari-hari, tetapi juga melaksanakan salat sunat tahajud dan salat duha di samping puasa Nabi Daud. Apakah kau punya kehendak yang ingin dikabulkan Tuhan?

J: Aku tidak berniat jual beli dengan Tuhan: melakukan ibadah agar ditukar dengan sesuatu yang kuinginkan. Aku melaksanakan semua ibadah, baik yang wajib maupun yang sunat, hanya karena ingin melakukan ibadah sebaik mungkin seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah.

T: Apakah kau tidak pernah meminta sesuatu kepada Allah?

J: Tentu saja dalam berdoa aku banyak meminta. Tetapi aku serahkan kepada-Nya apakah akan dikabulkan atau tidak. Karena itu merupakan hak-Nya yang mutlak. Aku hanya berusaha agar aku selalu dapat menerima dengan dan sabar apa pun yang ditentukan-Nya buatku dalam hidup. Aku tidak mempertukarkan ibadahku dengan sesuatu yang kuingini.

Menjelang Proklamasi

17 Agustus 1945 pagi, menjelang upacara proklamasi kemerdekaan, Abdul Latif Hendraningrat mengatur acara. Perwira Tentara Pembela Tanah Air (PETA) itu meminta kepada semua hadirin untuk tertib, berdiri tegak dan teratur, harus memandang ke arah tempat berdiri Soekarno dan Muhammad Hatta. “Rakyat negara merdeka harus tahu mengatur dirinya, harus tahu menghormati Presiden dan Wakil Presidennya.”

Presiden Soekarno berpidato antara lain, “Kita hanya ingin melihat naiknya Sang Merah Putih, tidak suka melihat turunnya Sang Merah Putih. Mari kita bersumpah sekalian untuk menjaga serta memelihara, supaya bendera kebangsaan kita berkibar sampai akhir zaman.”

Ternyata peristiwa proklamasi kemerdekaan negara kita tidak dapat disiarkan melalui surat kabar, karena ada larangan dari pemerintah bala tentara Jepang. Keesokan harinya juga tidak dapat diumumkan nama-nama menteri yang baru ditentukan. Hanya satu surat kabar di Jakarta yang berjasa dalam hal ini, yaitu harian Kung Yung Pao yang memuat semua nama menteri Republik Indonesia.

Sumber: buku Kisah-kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan karya Rosihan Anwar.

Senin, 14 Desember 2020

Humor Gus Dur tentang Orde Baru

Dalam suatu sayembara menebak usia mumi di Giza, Mesir, puluhan negara diundang oleh pemerintah Mesir. Masing-masing negara mengirimkan tim ahli paleoantropologi terbaiknya. Sedangkan Indonesia yang masih dalam masa pemerintahan Orba hanya mengirimkan satu komandan intel.

Tim Prancis tampil pertama. Mereka membawa peralatan mutakhir, ukur sana ukur sini, catat ini dan itu, tapi kemudian menyatakan tidak sanggup memperkirakan usia mumi. Pakar Amerika perlu waktu lama tapi taksirannya keliru. Tim Jerman menyatakan, usia mumi lebih dari 3.200 tahun. Ternyata salah. Tim Jepang juga menyebut di sekitar angka itu, tapi juga salah.

Lalu tiba giliran peserta dari Indonesia. Komandan intel bertanya kepada panitia apakah ia boleh memeriksa mumi di ruangan tertutup.

“Silakan,” jawab panitia. 

Lima belas menit kemudian Komandan itu keluar. “Usia mumi ini 5.124 tahun 3 bulan 7 hari,” katanya dengan mantap kepada juri.

Seluruh tim juri terbelalak, saling berpandangan, dan sangat kagum.  Hanya dalam waktu sangat singkat, Komandan bisa menyebutkan usia mumi dengan akurat. Hadiah diberikan. Ucapan selamat dari para peserta, pemerintah Mesir, perwakilan negara-negara asing, dan sebagainya datang bertubi-tubi. “Luar biasa,” kata mereka. Pemerintah Indonesia sangat bangga.

Menjelang pulang ke Indonesia sang Komandan dikerubungi wartawan dari dalam dan luar negeri di lobi hotel. “Anda hebat. Bagaimana caranya bisa menebak usia mumi dalam waktu singkat?”

“Saya gebuki saja. Ngaku dia.” 


Sumber: Tertawa Bersama Gus Dur. Humornya Kiai Indonesia karya Muhammad Zikra.

Sabtu, 05 Desember 2020

Presiden Theodore Roosevelt

Presiden Amerika Serikat ke-26 Theodore Roosevelt (TR) adalah anak ke-dua dari empat bersaudara dari keluarga kaya raya. Ayahnya adalah bankir dan saudagar kaya, sementara ibunya adalah keturunan Raja Skotlandia, Robert III. Sejak dilahirkan di New York City pada 27 Oktober 1858 TR berpenyakit asma bronkial. Meski banyak oksigen gratis di udara tapi ia sulit mendapatkannya bila penyakitnya kambuh. Gangguan emosional, debu, kelelahan, atau cuaca dingin membuatnya sulit bernapas. Ia sering tak bisa tidur karena terengah-engah disertai bunyi mendesis yang keluar dari hidungnya. Pernapasannya menjadi lega bila ayahnya memeluknya.

Pada waktu ia berusia sebelas tahun ayahnya membawanya ke Prancis, Austria, Italia, dan Jerman, dengan harapan udara di sana memberi dampak positif bagi kesehatannya. Mereka juga pergi ke kawasan spa di Mesir agar TR bisa menjalani terapi di sana. Selain berpenyakit asma, TR juga kerap mengalami gangguan pencernaan sehingga perkembangan fisiknya terhambat. Ia kurus dan kecil.

Ayah TR membangun gimnasium pribadi di rumahnya dan mendatangkan instruktur untuk melatih fisik Teddy agar selalu sehat. Ia juga mendatangkan guru privat untuk mengajar Teddy di rumah. “Kalau kamu tidak sehat percuma sekolah,” katanya. Setelah berolah raga rutin selama beberapa tahun otot-otot TR mulai berkembang. Ia juga dilatih olah raga menembak oleh ayahnya. Dengan dorongan ayahnya TR berolah raga tinju, gulat, mendayung, berkuda, dan mendaki gunung. Tubuhnya tak lagi kerempeng. Untuk menutupi giginya yang menonjol ia memelihara kumis.
Teddy diterima kuliah di Harvard kemudian di Columbia Law School. Ia terpilih sebagai anggota Majelis Negara Bagian New York, menjadi komisaris di Kepolisian Kota New York, kemudian menjadi Asisten Sekretaris Angkatan Laut. Ia bergabung dengan resimen kavaleri dalam perang Spanyol- Amerika di Kuba dan mendapat gelar pahlawan nasional. Pada November 1898 ia terpilih sebagai Gubernur New York State. Pada 4 Maret 1901 ia menjadi wakil presiden sementara William McKinley menjadi presiden. Pada tahun yang sama TR menjadi presiden dalam usia 42 tahun, presiden termuda di AS. Ia menggantikan Presiden McKinley yang dibunuh oleh seorang anarkis, Leon Czolgosz.
Pada waktu TR menjadi presiden ia membangun terusan Panama dan dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian. Ia menjadi presiden dua periode sejak 1901 - 1909 dan wafat pada pada 6 Januari 1919 dalam usia 61 tahun.

Pada 1940 didirikan patungnya di depan pintu masuk Museum of Natural History di New York. Namun sejak kematian pria kulit hitam George Floyd pada Mei 2020 dalam kerusuhan rasial di AS patung itu direncanakan diturunkan oleh pihak museum. Patung TR menunggang kuda diapit pria lndian dan keturunan Afrika dianggap sebagai simbol diskriminasi rasial.

Selasa, 01 Desember 2020

Kami Tetap Anti-Soeharto

I Ketut Putera tiba di Sofia, ibu kota Bulgaria, pada 1963. Ia memenuhi seruan Presiden Soekarno agar menimba ilmu di luar negeri dan pulang untuk membangun tanah air dengan bekal pengetahuan. Tapi ternyata Pemimpin Besar Revolusi itu kehilangan kekuasaannya sejak peristiwa G30S pada 1965. Putra Bali itu memilih lebih baik kehilangan Indonesia daripada tunduk pada Soeharto.


Lima tahun kemudian ia menikah dengan gadis Bulgaria, teman kuliahnya. Ia membiarkan KBRI memberangus paspornya dan memilih menjadi warga negara Bulgaria. Ia bekerja selama 23 tahun di Kementerian Perdagangan Luar Negeri Bulgaria. Kini ia berusia 80 tahun. “Saya pendukung Jokowi,” katanya. Pada 2006 Jokowi sebagai Wali Kota Solo berkunjung ke Montana, Bulgaria, untuk menandatangani kesepakatan bersama antarkota Montana-Solo.
I Ketut Putera menjadi penerjemah untuk Jokowi di sana. "Saya belajar bahasa Bulgaria terlebih dahulu selama setahun sebelum belajar ekonomi. Yang mengajarkan bahasa Bulgaria ketika itu tidak menguasai bahasa Inggris. Jadi agak susah mengajarnya. Orang-orang di sini kurang menguasai bahasa asing," ceritanya kepada Martin Aleida yang menulis kisah delapan belas eksil dalam buku Tanah Air yang Hilang.
Pada waktu I Ketut Putera berusia 20 tahun ia pindah dari Bali ke Jakarta untuk bekerja sambil belajar karena orang tua tak sanggup membiayai pendidikannya. Ia bekerja di Garuda Indonesian Airways sambil belajar di Akademi Perniagaan Indonesia. Pada awal 1960-an Presiden Soekarno memberinya kesempatan untuk belajar di luar negeri, menimba ilmu di sana untuk dibawa pulang ke tanah air. Pada waktu itu terbuka kesempatan untuk belajar di negara-negara sosialis. Pada 1963 ia lulus tes dan terpilih untuk belajar selama lima tahun di Bulgaria. Tapi ternyata pada Oktober 1965 terjadi gejolak politik di Indonesia. Presiden Soekarno digulingkan padahal I Ketut Putera ditugaskan belajar oleh pemerintahan Soekarno. Ketika itu ia baru duduk di tingkat dua Fakultas Ekonomi di Sofia.
“Saya setia kepada amanat yang diberikan Presiden Soekarno untuk menunaikan tugas belajar. Di bawah pemerintahan Soeharto terjadi perubahan sikap politik. Saya dan beberapa teman tidak setuju dengan Soeharto dan bersikap setia kepada Presiden Soekarno. Jadi paspor saya dicabut KBRI pada awal 1967, saya stateless, tak punya kewarganegaraan. Pihak kedutaan berusaha memancing-mancing kami untuk pulang dengan janji akan diberikan surat keterangan pro-Soeharto. Namun kami tetap anti-Soeharto. Mahasiswa yang pro-Soeharto mendapat bantuan, studi mereka bisa jalan terus. Para mahasiswa anti dan pro-Soeharto menjadi terpecah di mana-mana,” ceritanya.

Presiden Soekarno pernah berkunjung ke Bulgaria ketika muncul masalah Irian Barat (kini Papua). “Jadi Pemerintah Bulgaria mengerti siapa kami sehingga mereka bekerja sama dengan Palang Merah Internasional untuk membantu kami. Tapi kami tak punya kewarganegaraan karena paspor dicabut KBRI. Padahal kami setia dan cinta tanah air dan ingin pulang ke Indonesia untuk menyumbangkan kemampuan kami bagi kemajuan Indonesia. Terpilihnya Jokowi bagi saya merupakan tonggak sejarah. Pada perayaan 17 Agustus 2015 Duta Besar RI memberikan tumpeng kepada saya sebagai orang tertua, usia saya 75 tahun pada waktu itu. Pada zaman Soeharto saya tidak pernah diikutkan pada acara 17 Agustus, saya dicap sebagai pecahan Indonesia. Begitulah jalan hidup saya. Wong cilik dari Bali yang belajar dan ingin memberikan sumbangan kepada pembangunan Indonesia, ternyata menemukan kenyataan hidup yang lain.”